抖阴社区

Third

3.1K 567 8
                                        

Pukul delapan malam kuputuskan untuk mengakhiri treatmen panjangku bersama tiffany. Sudah cukup waktu yang kubuang demi ketenangan sesaatku hari ini. Aku lelah dan tiba-tiba ingin segera terlelap dalam hangatnya ranjang.

"mengapa kau baru pulang?"

Langkah berdentumku terhenti ketika baritonnya menggema dalam pekat malam. Ini belum mencapai pertengahan malam tapi seluruh ruangan sudah begitu gelap. Aku baru menyadari banyak hal ketika kutemukan taehyung sudah pulang dan menungguku tenang dibalik sofa maroon ruang tamu.

"oh, oppa.. sudah pulang?"

Taehyung adalah diktator kelas atas. Tekad dan kerja keras yang mengalir dalam darah pebisnis yang turun temurun diwariskan dalam keluarganya membuat lelaki dua puluh enam tahun itu terlihat begitu ambisius.

Meski memegang jabatan tertinggi perusahaan, ia bukan tipe yang mau berkelit dari tugas. Karena itu, sebuah keterkejutan besar menghampiriku ketika menemukannya duduk dalam gelap pada jam-jam rawan seperti ini.

Taehyung terlalu pekerja akut. Ia bisa menghabiskan waktu membaca berlembar-lembar kontrak kerja secara teliti hingga membuatnya harus menginjakkan kaki larut malam.

Pukul sepuluh adalah rekor tercepatnya selama ini. Maka selain memiliki maksud tertentu, aku adalah satu-satunya penghuni rumah besar ini sejauh waktu yang kuhabiskan bersamanya. Dia akan memasuki pintu rumah pada pukul sebelas bahkan hingga pukul empat pagi. Menyisakanku sendiri dalam kelam hingga pagi datang.

Karena itulah aku terbiasa pergi tanpa tau jelas kapan akan kembali. Hanya saat ia berkata jika ia membutuhkanku aku akan berada dirumah ini, memasakkannya makan malam dengan resep yang susah payah kupelajari hanya untuk memuaskan rasa ingin taunya.

Tapi kali ini berbeda. Aku menemukannya pulang terlalu awal. Dia tak memberitauku barang sedikitpun informasi mengenai keinginannya. Aku tak menangkap maksud dalam mata yang ini ia sembunyikan dalam kelopaknya.

Tiba-tiba aku merasa aneh.

"oppa? Apa kau mendengarku?"

Aku mendekatinya perlahan. Tak perduli betapa marahnya taehyung atau seberapa besar api yang bergumul diatas ubun-ubunnya, aku adalah satu-satunya manusia yang tak bisa ia sentuh.

Taehyung akan berhenti tepat disaat ia bahkan baru akan memulai niatnya untuk menghantam tubuhku dengan tamparan kerasnya. Karena itu, sejauh ini, hanya akulah yang dapat meredam emosinya tanpa mengorbankan nyawa manusia lainnya.

"oppa—"

"kemana saja kau seharian ini?"

Kalimat panjang itu, mendengungkan nada kesal. Dan kemudian kedua bola matanya membuka dengan cepat. Menampilkan mata coklat pekat yang tajam. Mata yang menenggelamkanku dalam pesona yang hingga saat dunia berakhirpun tak akan kutemui ujungnya.

Aku menghela nafas lega yang panjang lalu buru-buru maju dan duduk dipangkuannya yang bersandar begitu manly pada sandaran sofa.

"kau tak berkata jika kau membutuhkanku hari ini..."

Kuulas tatapan paling manja milikku menjelang kedua lenganku bergelayut pada leher jenjangnya yang hangat. Terkadang, ada masa dimana ia akan luluh hanya karena nada suaraku yang menurun drastis.

"aku bertanya kemana saja kau seharian ini, jeon jungkook"

Tapi sepertinya itu tidak berhasil untuk kali ini. Aku mendesah kuat-kuat hanya untuk membuatnya sadar jika aku juga akan menggunakan ketidakpedulianku jika itu yang ia butuhkan.

"apa aku harus melaporkannya sekarang? yeri tentu sudah melaporkan seluruh kegiatanku bahkan sebelum aku sempat menginjakkan kakiku dirumah ini, oppa"

Aku mengerlingkan bola mataku malas. Ini yang paling kusesalkan dari kekesalannya. Aku bahkan tak benar-benar tau dimana letak kesalahanku dan ia bersikap dingin seolah aku adalah terpidana mati yang melarikan diri.

"aku bertanya. Bukan memintamu untuk membantah."

"oppa!!"

Aku berdiri cepat.

Aigoo,, keparat ini.

"kau bisa melakukan apapun jika kekesalan begitu menggunung dalam ubun-ubunmu. Tapi merasa kesal karena aku tidak dirumah tak bisa kau jadikan alasan. Aku tidak tau kau akan pulang secepat ini. Aku bahkan—"

"ponselmu mati, jeon jungkook!!

Aku terperanjat ketika ia berdiri, menyusul tinggi badanku yang hanya menjangkau lehernya. Kedua bola matanya membesar marah dan aku tak bisa menghitung entah ini sudah pertengkaran yang keberapa.

Ia selalu naik pitam karena hal-hal aneh yang bahkan tak sempat kupikirkan.

"i-iya, aku tau. Aku mengantisipasi telepon dari joy siang ini dan lupa mengaktifkannya kembali. Tapi, kau bisa memberitauku lewat yeri atau dua orang yang terus membuntutiku. Atau melalui tiffany yang seharian ini bersamaku. Kenapa harus serepot ini?"

Aku mundur selangkah ketika ia maju dengan rahang mengeras. Salah satu lengannya menarik pinggangku kuat, memangkas jarak diantara kami lalu menatap kedua bola mataku lekat-lekat.

"sialan, aku menginginkanmu hari ini!" desisan itu menggema dan menusuk-nusuk pendengaranku berkali-kali. Ia berbicara seolah jika aku tidak pulang hari ini, maka ia akan mati karena menahan hasratnya yang kepalang mengapung tinggi. "dan keberadaanmu yang terlalu rancu membuatku berpikir jika mungkin kali ini kau tengah menghabiskan malam dengan lelaki lain. Kau tau bagaimana rasanya, kan, ketika aku begitu merindukanmu dan kau tak disini?"

Rengkuhan itu mengeras. Aku semakin tertarik jauh dalam kukungannya yang mencekam. Kedua sisi rahangnya tetap mengeras lalu bergetar seolah menahan ini semua membuat satu-persatu nafasnya mengabur pergi.

"kau menyiksaku, sayang.."

Lalu aku tersentak cepat. Ah,, aku merasakannya! Aku bisa merasakan bukti gairahnya hanya dalam hitungan detik. Astaga, sebegitu tertahankah keinginannya selama aku tak ada? Aku bahkan bisa menebak jika ia hanya satu jam lebih cepat menginjakkan kakinya dirumah ini. Dan selama itu, ia sudah bergairah sebanyak ini?!

"o-oppa.."

"kau tau aku tak terbiasa menghubungi tiffany karna dia akan menahanmu sekuat yang dia mau. Dan aku benci kau berinteraksi dengan pria lain."

Aku menghela nafasku paham. Oke, hasrat tertahan menekan emsoinya dengan cepat. Aku tau benar apa yang tengah ia bicarakan kini. Kukalungkan salah satu lenganku pada lehernya lalu mengecup bibirnya secepat mungkin.

"aku belum menemukan lelaki yang bisa mengajakku untuk tidur bersama kecuali keparat yang kini tengah mengekangku kuat-kuat." Aku tersenyum lalu mengusap pipi kanannya secara bar-bar. "aku tidak bertemu lelaki manapun hari ini, jika itu yang oppa cemaskan. Aku hanya menenangkan diri setelah sesuatu bergemuruh dalam batinku usai membuat yuna menangisi tingkah bodohnya"

Sesuatu tiba-tiba menumbuk leherku secepat kilat. Hangat nafasnya yang mendidihkan sesuatu didalam diriku menyapa tanpa aba-aba. Ia menyembunyikan sisa-sisa kekesalannya dalam ceruk leherku tanpa mau perduli jika kini aku hampir kehabisan nafas menahan diri.

Ia hanya diam. Berusaha menetralkan nafasnya yang memburu cepat. Membuatku berpikir jika mungkin kali ini memang aku bersalah dalam porsi yang lebih besar.

"maaf,, apa aku menyiksamu sebanyak ini?"

Dia menggeram saat tubuh kami kembali bersatu. Tanpa satu senti-pun jarak yang berarti. Salah satu dari banyak hal yang akan mengakhiri pertengkaran kami dengan praktis. Aku tak ingin menjadi terlalu naif, aku memang membutuhkannya untuk hidup karena seluruh penunjang kehidupanku ada disetiap ujung jarinya.

Aku berhenti menggunakan usahaku sendiri, menghidup diriku hanya dengan beberapa fasilitas pemberiannya serta uang bulanan yang masih ia berikan rutin bahkan berlebih. Dia tak berubah, janjinyapun tetap ia pertahankan. Menjamin kebutuhanku semampunya.

"berhenti bermain-main, jeon jungkook" lalu tangannya merengkuh lekukan kakiku dan membuatku melayang sebatas dadanya. "kau harus membayar atas semua ini"

Aku tak lagi ingat akhir dari malam itu. Yang kutau jelas, ia terlihat terlalu terburu-buru dan aku berakhir dengan nafas yang hampir membeku. Tenaganya ribuan kali milikku. Aku tergugu, dalam hangat selimut tebal yang melindungi malamku, kuserahkan mimpiku dalam lelah tak berujung.

Dan malam itu berlalu.

『Unexpected 』v.kTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang