4 bulan berlalu.
Jeon Jungkook sudah kembali beraktivitas seperti biasa, menjadi murid SMA kelas 3 dan mulai disibukkan dengan kegiatan les ujian masuk universitas. Pertemuan dengan Jimin hampir tidak pernah terpikirkan karena Jungkook diberikan pengalihan besar-besaran oleh sang ibu angkat.
Rencananya, mereka akan pindah ke Seoul setelah Jungkook lulus. Taehyung akan mulai kuliah di angkatan yang sama dengan adiknya setelah sempat cuti selama satu tahun.
Dibalik kesibukannya sebagai siswa tingkat akhir, kadang pikiran tentang mengakhiri kehidupan masih sering muncul dibenak Jungkook. Ia sering berdiam diri dalam kelas, mengamati ketinggian lantai ke dasar, memikirkan cara yang paling halus agar kematiannya tidak di anggap bunuh diri.
Jungkook tidak ingin ibunya dan Taehyung tahu jika selama ini ia tidak bahagia.
Bukan berarti Jungkook tidak mencintai dua orang itu layaknya keluarga. Hanya saja, mereka adalah orang lain dan Jungkook menganggap dirinya adalah beban selama ini.
Bagi Jungkook hal ini rumit untuk dijelaskan karena tidak akan ada orang yang mengerti posisinya.
Jungkook berada di jembatan penyebrangan. Menatap lalu lalang transportasi di bawah dengan dengan sorot kosong. Iris hitamnya berkabut, menyuarakan kekalutan tanpa akhir yang terus menghantui selama bertahun-tahun.
Jungkook selalu teringat betapa kejinya para bandit menghabisi nyawa orang tuanya, para bandit yang hampir merenggut nyawanya juga. Waktu itu Jungkook berlari, menangis keras. Setelah sekian lama kini ia merasa dirinya pengecut.
"Apa yang telah kulakukan?" bisiknya dengan suara bergetar. Jungkook pikir, waktu itu ia sudah sebatang kara. Harusnya ia diam disana dan ikut mati bersama orang tuanya. Daripada mengalami trauma, terus-terusan dihantui rasa bersalah dan flashback mengerikan? Lebih baik dia mati saja.
Pegangan jembatan dicengkram kuat. Jungkook kewalahan dengan bayang-bayang masa lalu yang bermunculan. Peluh dingin membasahi pelipis hingga menetas ke lantai jembatan. Padahal hari ini Busan tidak terlalu panas. Tapi Jungkook merasa dirinya seperti dibakar.
"Maafkan aku... Maafkan aku...."
Akhir-akhir ini Jungkook kesulitan mengatasi emosi, tidak bisa membedakan mana kenyataan dan mimpi buruk, Jungkook sudah lelah berpura-pura. Selama bertahun-tahun diam dan menjadi anak penurut, dilimpahi kasih sayang dan berlagak bahagia. Jungkook melakukannya dengan baik, tapi ada saat dimana ia lelah dan menjadi seperti ini.
Dirinya bisa gila kapan saja. Dan perasaan itu muncul makin sering usai percobaan bunuh diri kemarin.
"Jungkook?"
Jungkook tersentak mendengar namanya disebut. Ia menoleh lambat. Mengarahkan manik obsidian tepat pada sosok pendek yang berdiri agak jauh darinya. Dalam hati bertanya-tanya. Ada banyak orang yang mengetahui nama Jungkook, namun tidak pernah ada yang memanggilnya seolah mereka saling kenal. Kecuali Taehyung dan ibunya.
Lantas Jungkook menyipitkan mata. Merogoh kacamata bundar di dalam parka –dimiliki hampir sebulan lamanya karena belajar membuat mata Jungkook mengalami silinder– Jungkook memasang kacamata, mengenali rupa orang itu.
Senyumnya. Jungkook tahu.
Jimin.
Jimin setengah berlari menghampiri, pipi gembilnya makin kurus usai beberapa waktu mereka berpisah. Jungkook diam saja, wajah stoic pemuda itu seperti tidak dapat disingkirkan meski Jimin telah berjasa untuk mencegahnya mati.
Well, secara harfiah Jimin mencegahnya untuk mendapatkan apa yang ia inginkan.
Jungkook ingin marah, mencaci atau melakukan apa saja yang harusnya ia lakukan pada seseorang seperti Jimin. Namun ia tidak bisa melakukan itu ketika teringat janji mereka di akhir pertemuan kemarin.

KAMU SEDANG MEMBACA
SAVE ME
RandomJungkook berusaha menjauhkan semua orang dari dirinya karena ia telah menganggap hidupnya hancur. Jungkook selalu berpikir ia tidak pantas selamat. Semua karena pembunuhan yang merenggut nyawa kedua orang tuanya. Dunia tidak lagi adil bagi pemuda it...