[?FOLLOW SEBELUM MEMBACA?]
"Ra, cinta itu gak bisa dipaksa. Kalau misalnya gue cinta sama lo gimana?"
"Angga harus belajar dua hal. Belajar untuk mencintai dan melupakan. Nggak semua yang ada di dunia itu abadi, termasuk Lara. Dan belajar untuk memu...
PAGI-pagi sekali Lara terbangun karena panggilan masuk dari Angga. Ia melirik jam di handphone nya malas.
What? Gila nih orang? Ini masih jam 3.25, batin Lara. Dengan berdecak kesal, Lara menjawab telepon dari Angga.
"Apa?!" Ketus Lara memulai obrolan.
"Gue jemput nanti," sambungannya lalu terputus begitu saja. Cuma itu? Nggak penting! Lara lalu melanjutkan tidurnya yang sempat tertunda.
Tepat jam 6 pagi, Yuni mengetuk pintu kamar Lara dan Rian untuk membangunkan mereka.
"Sayang, ayo bangun. Nanti sarapan bareng ya dibawah." ucap Yuni dengan selembut mungkin sambil mengetuk pintu beberapa kali.
"Ngghh.. iya ma." Sahut Lara masih mencoba mengumpulkan nyawanya. Mendengar putrinya itu sudah terbangun dari mimpinya, Yuni beralih ke kamar Rian.
Tak lama, Lara lalu bersiap dan menuju ke dapur untuk sarapan seperti yang dikatakan mamanya. Rian dan papanya sudah duduk manis disana dengan sepotong roti dan segelas susu dihadapan mereka.
"Tumben nggak ngopi, pa?" Tanya Lara menuju ke meja makan.
"Lagi gak selera minum kopi. Kamu sarapan dulu, nanti berangkatnya sama Rian. Papa harus dateng pagi hari ini, ada investor baru kunjungan." jelas Gerald —papa Lara. Mendengar itu, Lara mengangguk paham.
Ehh? Sepertinya ia lupa dengan Angga. Kemarin, maksudnya tadi pagi, ia di telpon dan Angga bilang akan menjemputnya.
"Enggak jadi pa. Lara udah ada yang nganter kok sekolahnya."
"Sama siapa? Dera? Tumben di jemput." tanya papa Lara mengernyit bingung. Pasalnya putrinya tak pernah berangkat sekolah selain dengan Rian, pak Usman atau dirinya.
"Sama pacarnya om," sahut Rian santai. Lara berdecak kesal dan menatap tajam sepupunya itu.
"Loh? Mama mana pa?" Menyadari mamanya tak bersama mereka semenjak tadi, membuat Lara sedikit bingung.
"Ra, ada yang nyariin." teriak mama dari pintu masuk. Jangan-jangan Angga, pikir Lara. Gadis itu lalu buru-buru menelan roti dengan selai kacang miliknya dan meneguk setengah susu hangatnya.
Benar saja, ia mendapati mamanya dan Angga tengah berbincang di ruang tamu.
"Hati-hati dijalan ya kalian." ucap Yuni, lalu ia pergi meninggalkan mereka.
"Lo bilang apa aja sama mama?" Selidik Lara curiga.
"Lo pacar gue." Mendengar itu, Lara langsung memukul punggung pria yang sudah berjalan mendahuluinya itu.
***
Akhirnya mereka sampai di sekolah. Angga mengantarnya sampai di depan kelas Lara.
Hari ini Lara merasa tak ada beban. Pelajaran pertama yang akan berlangsung yaitu, biologi, Lara lumayan suka pelajaran ini.
"Ciee.. bareng your prince ice tea." goda Dera saat Lara memasuki kelas dan duduk disampingnya.
"Hmm. Oh iya, gimana lo sama Farel itu? Chat nya udah dijawab kah?" Tanya Lara antusias.
"Enggak tuh, biasa aja. Kemarin gue ketemu dia, tapi tuh cewek biru ngehalangin gue." mendengar penuturan Dera, Lara mengernyit bingung.
"Cewek biru? Siapa?"
"Fiona. Biasalah. Itu tuh, gengnya rainbow colour itu, terutama ketua gengnya, si Fero itu, buat princess enek."
Oh, gadis rambut biru yang menarik lengan Lara beberapa hari yang lalu. Lara mengangguk paham diikuti Dera yang mengipas tubuhnya menggunakan buku catatan Biologi milik Lara.
"Sama aja tuh semua, Fio, Fero, sekalian aja Fajri, Farhan, Fajar, arrgghhh kesel princess." Lara hanya diam tak menanggapi, tak tau harus bagaimana.
"Katanya ganteng abis, dijamin anda klepek-klepek gagal move on." Mendengar kebisingan yang terjadi perhatian Lara dan Dera teralihkan pada segorombolan gadis-gadis yang sedang ngerumpi di bangku belakang.
"Kalian pada ngomongin who?" Tanya Dera penasaran. Sebelum dapat menjawab pertanyaan Dera, bu Revanka —selaku guru bahasa indonesia sekaligus wali kelas Lara, memasuki kelas dengan seseorang mengekor dibelakangnya.
"Anak-anak hari ini akan ada murid baru disekolah ini dan pindahnya ke kelas ini, mari masuk, nak." ucap bu Revanka padanya. Perlahan ia mulai masuk ke kelas dan semua perempuan di kelas 11 MIPA 3 berteriak histeris. Bagaimana tidak? Dengan rahang tegas dan senyum memukaunya, ia mampu membuat para siswi menggilainya semenjak pertemuan pertama mereka.
Lara dan Dera yang melihat itu mendongak tak percaya. Mata mereka membulat sempurna dan menganga.
"Kenalin, nama gue Eriko Sean Beverly. Gue pindah kesini, karena papa pindah tugas kesini" ucapnya dengan suara beratnya itu yang sekali lagi membuat seisi kelas histeris.
"Kalian bisa panggil gue, Erik."
Iya, itu benar-benar Erik. Erik yang selama ini Lara kagumi dan membuatnya menangis di malam hari. Itu Erik, yang membuatnya jatuh cinta sendirian, kemudian menimbulkan rasa sakit yang begitu parah.
"Silahkan nak Erik. Kamu bisa duduk di bangku belakang Lara sama Dera atau di belakang Gery sama Hendra."
Kini langkah pria itu menjadi penentu hidup Lara. Ia tidak mau lagi terjebak atau terobsesi untuk yang kedua kalinya pada Erik. Lara mengucap segala doa agar pria itu duduk di belakang Gery dan Hendra, bukan dibelakangnya.
Yah, benar saja. Erik lebih memilih duduk dibelakang Lara dan Dera. Lara hanya membenamkan wajahnya di meja dan menghembuskan nafas pasrah. Sementara Dera yang melihat itu langsung mengerti dengan keadaan Lara sekarang.
Mengapa disaat aku memutuskan untuk pergi dan berhenti, kau datang untuk memulai?
*** TANDAINNNTYPOOO :)) . Jangan lupa vote, comment dan share ke temen-temen kalian untuk baca✨❤️
-thank you-
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.