“Siapa yang ingin dijodohkan, Ra?” Aldrick tiba-tiba datang dengan tatapan terkejut dan kening mengernyit saat mendengar kalimat terakhir yang diucapkan Rallin mengenai perjodohan.
Rallin melirik Aldrick dan mengangkat jari telunjuknya, mengisyaratkan agar Aldrick diam, ia khawatir sang Papa akan curiga.
“Kak Lia, kan yang mau dijodohin Pa?” Rallin mengulangi pertanyaannya yang belum sempat dijawab Hitto.
Mendengar hal itu membuat Aldrick seketika menghela nafas lega, perasaan berat yang tiba-tiba menyerangnya spontan menghilang saat mendengar perkataan Rallin. Tak denial, Aldrick tahu perasaan apa yang kini tengah ia rasa.
“Oke Pa, Rara siap-siap pulang ke mansion, nanti Rara coba hubungi Kak Lia juga, mungkin dia sibuk, Papa tahu sendiri jadwal pemotretan kak Lia sedang padat akhir-akhir ini,” balas Rallin setelah mendengar penjelasan Hitto disebrang sana.
“Iya Pa, sampai ketemu nanti malam,” final Rallin kemudian menutup telepon dari Hitto.
Rallin menyisir rambutnya kebelakang dengan jari-jemari dan menyerahkan ponselnya pada Aldrick yang langsung dengan sigap diambil alih oleh lelaki itu.
Melihat Rallin yang nampak mulai tak nyaman dengan rambut yang tergerai, Aldrick pun merogoh saku jas hitam yang ia pakai, lelaki itu mengeluarkan sebuah scrunchie berwarna pink rose dari dalam sana.
“Pakai ini Ra,” ujar Aldrick dengan menyodorkan scrunchie yang tak pernah absen dari saku setelan jasnya. Selain senjata api, barang yang berfungsi untuk mengikat rambut itu tak pernah lupa ia bawa.
Meski terlihat aneh dan konyol bagi sebagian yang melihatnya, namun Aldrick tak peduli, kenyamanan Rallin itu hal yang utama, sekecil apapun hal yang berkemungkinan membuat gadis itu tak nyaman harus Aldrick singkirkan. Termasuk rasa tak nyaman dengan rambut yang tergerai.
Sebesar itu atensi Aldrick untuk Rallin.
“Thanks, Al.” Rallin menjawab sembari menerima scrunchie dari Aldrick.
Rallin mengikat rambutnya sembari melangkah meninggalkan area latihan anggota Red Diamond. “Aku akan bersiap dan pulang ke kediaman Abigail.” gadis itu berucap kepada Aldrick yang mengekor dengan patuh dibelakangnya.
“Tolong Al, siapkan kendaraan yang biasa aku pakai dan perintahkan agar Yena menyiapkan style pakaian ku saat menjadi Abigail. Aku akan mandi dan bersiap.”
“Baik.” Aldrick menjawab perintah yang diberikan Rallin sembari masih terus mengikuti langkah wanita yang paling ia hormati itu.
Punggung kecil namun memiliki langkah yang tegas penuh kepercayaan diri dan aura yang begitu menguar indah. Siapa yang tak akan tertarik dengan wanita seperti Rallin? Wanita itu terlampau indah hingga rasanya untuk memiliki wanita itu hanya terdengar seperti imajinasi tak berkesudahan, sesuatu yang tak mungkin bisa digapai.
“Al, sampaikan juga pada Elang aku akan makan malam di rumah, jadi ia tak perlu menyiapkan menu pada chef untuk makan malamku.” ucapan Rallin membuyarkan pikiran Aldrick. Tak terasa kini mereka sudah berada di depan lift.
“Aku akan naik untuk bersiap. 20 menit kemudian aku akan sampai di halaman markas. Pastikan mobil sudah siap,” tutur Rallin sebelum akhirnya ia menekan tombol lift angka 5 menuju lantai ruang pribadinya berada.
Pintu lift tertutup, meninggalkan Aldrick bersama kesendirian. Dekat namun berjarak, Rallin bagaikan cahaya matahari bagi Aldrick yang sedang basah kuyup diterpa hujan, terasa hangat, nyaman dan menyenangkan, namun ketika ingin ia dekati maka cahaya itu akan membakarnya hingga terlebur.

KAMU SEDANG MEMBACA
Two Side
RomanceArkan dan Rallin bagaikan dua insan yang diselimuti oleh kegelapan, tak ada yang pernah menyangka jika mereka ditakdirkan untuk bersama dalam sebuah ikatan pernikahan. Masing-masing dari mereka menyimpan sejuta rahasia, tak ada yang pernah menyangk...