Jam pulang sudah tiba. Rafa bergegas mengemasi barangnya. Lalu dengan cepat melangkahkan kakinya keluar kelas.
"Woi serep!! Mau kemana lo?!" Teriak Farel.
"Tugas negara!!!"
Lelaki itu melangkahkan kakinya menuju kelas IPA 3. Ia tersenyum senang saat melihat gadis yang akan ia temui keluar dari kelas.
"Rey" panggil Rafa.
"Apa?"
"Inget tiga permintaan gue gak?" Tanya Rafa yang diangguki malas oleh gadis itu.
"Permintaan pertama gue, ntar malem ikut gue ke acara keluarga gue"
"Acara keluarga?" Cicit Rey.
"Iya, mau yah? Kalo gak gue bisa mati"
"Lebih baik lo mati"
"Rey pliss" pinta Rafa memohon. Gadis itu menghela nafas pelan.
"Oke"
Lelaki itu tersenyum senang lalu meraih ponsel di sakunya dan di sodorkan kearah Rey. Gadis itu hanya mengangkat satu alisnya.
"No hp lo, buat kasih tau gue dimana gue jemput lo"
Rey hanya memandangi ponsel Rafa yang menggantung di udara. Lalu menatap Rafa penuh selidik. Tangannya akhirnya meraih ponsel itu dan mengetikkan beberapa angka.
Kemudian menyerahkan kembali pada Rafa. Lelaki itu terus tersenyum sembari memandangi wajah Rey. Entah kenapa menurutnya wajah gadis itu sedikit berbeda hari ini.
Rafa memencet tombol panggil di ponselnya dan terhubung dengan ponsel Rey yang sedari tadi gadis itu pegang.
"Ntar gue sharelok"
"Oke"
"Satu lagi, jangan kasih siapa pun nomor hp gue. Apapun alasannya" kata Rey datar.
"Lo bisa percaya sama gue" ucap Rafa.
"Gue gak bisa percaya sembarang orang"
"Tapi gue bukan orang sembarangan"
"Jangan percaya sama siapa pun" ujarnya lalu melangkah pergi meninggalkan Rafa yang termenung.
"Kenapa dia selalu ngomong apa yang gak gue pahami" gumamnya pelan.
《~_~》
Malam hari pun tiba. Seorang perempuan sedang sibuk memoleskan liptin ke bibirnya. Sedari tadi gadis itu merutuki lelaki yang terus mengirimnya pesan dan beberapa kali meneleponnya.
Kini ponselnya kembali berdering. Gadis itu berdecak sebal.
Rafa is calling..
"Apa?! Udah gue bilang sabar!!"
'Lo belum sharelok dimana gue harus jemput lo'
Tut!
Panggilan diputus sepihak olehnya. Lalu ia mengutak atik ponselnya. Setelah selesai di lemparnya begitu saja ke meja rias yang juga merupakan meja belajar.
"Arrgghh.. gue kutuk jadi kodok tau rasa lo!!!"
Sedari tadi Rey tak berhenti mengumpat Rafa. Bagaimana tidak? Karena dirinya harus mengobrak abrik lemari untuk mencari gaun lamanya.
Sementara untuk memoles wajahnya dia hanya mengoleskan liptin dan bedak tipis. Masa bodo bagaimana penampilannya nanti.
Dirinya keluar dari apartemen miliknya. Rey mengenakan gaun berwarna abu abu sementara rambutnya di cepol diatas dan menyisaka beberapa anak rambut dan dia membawa tas kecil dengan warna senada dengan gaunnya. Gadis itu berdiri di lobi apartemen menunggu seseorang yang sedari tadi sangat mengganggunya.
Gadis itu berdecak sebal ketika melihat laki laki yang menggunakan tuxedo dengan warna senada dengannya.
"Ck, lama lo"
Rafa menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "Macet tadi"
Lelaki itu memandang Rey dari bawah hingga atas. Rafa menganga. Sejak kapan gadis di depannya ini cantik?
"Udah liatinnya? Kapan berangkat?" Tanya Rey jengah.
"Bentar, ada yang kurang"
"Hah?"
Rafa mengeluarkan sesuatu dari dalam saku tuxedo miliknya. Dia mengambil sebuah jepit rambut berbentuk bintang lalu menjepitkannya di rambut gadis itu. Rafa tersenyum senang.
"Perfect, ayo" katanya sambil menggandeng, lebih tepatnya menyeret Rey.
Selama di dalam mobil, mereka sama sama diam tak ada yang membuka suara. Sampai saatnya mobil Rafa sampai di sebuah hotel mewah. Mereka keluar dari dalam mobil. Mereka berdua memasuki hotel itu.
Satu kata yang menggambarkan nuansa dalam gedung itu. Mewah. Rafa menghampiri seorang wanita yang sudah berumur namun tetap kelihatan cantik dan elegan.
Rey berdecak karena langkah kaki lelaki itu cepat sekali sehingga dirinya tak bisa menyesuaikan karena gaun dan high heels yang menurutnya sungguh merepotkan.
"Hai Oma, Happy Birthday" kata Rafa sembari memeluk wanita yang ia panggil Oma.
"Makasih cucu Oma yang paling ganteng" ucap Oma Laras sembari melepas pelukannya.
"Cucu Oma yang laki laki kan cuma satu yang lain perempuan" kata Rafa yang dibalas kekehan oleh Oma Laras.
Laras Pramesti adalah orang terpandang di kalangan pebisnis. Dirinya memiliki dua anak laki laki yaitu Aditya Dirgantara dimana yang adalah ayah Rafa dan Galih Dirgantara.
"Gimana? Kamu sudah bawa apa yang Oma mau?" Tanya Laras yang dibalas senyuman oleh Rafa. Lalu pandangannya mengalih pada seorang gadis memakai gaun berwarna abu abu yang sedang membelakanginya.
"Rey" panggilnya. Rey pun menoleh dan pandangannya seketika jatuh pada Oma Laras yang tengah menatapnya sembari tersenyum tipis.
'Oma Laras?' Batin Rey.
"Sini" ucap Rafa sambil menarik tangan Rey untuk mendekat dengannya.
"Oma, kenalin ini namanya Rey tapi Rafa gak tahu nama panjangnya karena dia gak pernah pake nametag waktu sekolah" kata Rafa memperkenalkan Rey. Memang Rey tak pernah memakai nametagnya.
"Oh hai, Rey" sapa Oma Laras sambil tersenyum misterius.
"Senyum dikit ngapa" bisik Rafa pada Rey yang hanya menatap Oma Laras datar.
"Oh iya, Rey punya waktu sebentar gak?" Tanya Oma Laras.
'Mati gue, Oma keknya mau introgasi Rey. Gimana kalo dia ngomong macem macem?' Batin Rafa.
"Emm, yaudah kalo gitu Rafa nyamperin Mama sama Papa dulu" pamit Rafa lalu pergi meninggalkan mereka berdua. Rey masih menatap datar Oma Laras.
"Ikut saya" kata Oma Laras lalu melangkahkan kakinya diikuti Rey dibelakangnya.
Mereka menuju sebuah ruangan yabg dimana di pintunya tertulis kata Private. Yang artinya tidak sembarang orang bisa masuk ke dalam ruangan itu.
Oma Laras duduk di salah satu kursi sofa diikuti Rey yang duduk di sofa di depan Oma Laras.
"Kau dekat dengan Rafa?" Tanya Oma Laras.
"Tidak"
"Lalu, apa hubungan diantara kalian?"
"Gak jelas"
Oma Laras terkekeh pelan.
"Masih sama"
Rey menatap Oma Laras dengan tatapan penuh tanya.
"Maksud Oma?"
"Apa kau tidak merindukan dirimu yang dulu? Sama seperti yang lainnya, yang juga merindukan dirimu yang dahulu. Yang selalu tersenyum dan tertawa. Kemana tawa itu? Reyna?"
Deg
Gadis itu mengadahkan kepalanya sambil memejamkan matanya lalu menggeleng pelan.
"Tawa? Aku tak mengenal apa itu tawa, canda, bahagia, atau semacamnya"
"Kamu masih menyimpan dendam dan bencimu itu?"
"Aku hanya mencari keadilan"
Oma Laras kembali terkekeh pelan.
"Bicara soal keadilan, dunia ini terlalu kejam untuk mu"
Gadis itu hanya terdiam sambil menatap lantai dengan tatapan kosong.
"Soal ayahmu, kau masih membencinya?"
"Aku tak pernah membencinya"
"Lalu kenapa kau menjauhinya? Tidakkah itu artinya kau membencinya?"
"Bukan benci yang membuatku jauh darinya. Tapi kecewa"
Kini keadaan di ruangan itu hening. Karena hanya ada mereka berdua di ruangan itu. Tak ada yang membuka suara sampai Oma Laras mengatakan sesuatu yang membuatnya terkejut.
"Kudengar kau sedang menyelidiki kasus kematian mantan kekasihmu satu tahun lalu?"
Rey terdiam memandang Oma Laras dengan tatapan terkejut. Bagaimana dia tau?
"Kau lupa? Aku selalu tahu semua tentang dirimu" ucap Oma Laras seakan mengerti tatapan Rey.
"Kau sudah menemukan pelakunya?" Tanya Oma Laras yang digelengi oleh Rey.
"Entahlah, hanya saja aku masih bingung"
"Lalu kenapa kau tak menyerahkan ini kepada polisi?"
Rey menggeleng pelan.
"Biarkan aku yang mencari petunjuknya sendiri"
"Kau mau tahu satu petunjuk dariku? Tapi itu tidak gratis"
Gadis itu menatap Oma Laras dengan tatapan bertanya.
"Petunjuk?"
"Nanti ku beri tahu apa yang harus kau bayar. Sekarang, aku akan memberimu petunjuk"
"Apa?"
Oma Laras tersenyum penuh arti.
"Seekor singa jantan dewasa memiliki satu ekor anak singa jantan dan dia bertemu seekor singa betina dewasa yang juga memiliki seekor anak singa jantan" ucap Oma Laras menjeda ucapannya.
"Singa jantan dewasa dan singa betina dewasa itu menikah. Tapi anak dari singa berina tak terima pernikahan itu. Karena semenjak mereka menikah, induknya hanya mengasihani anak singa jantan dewasa. Sampai akhirnya mereka menjatuhkan satu sama lain dan berujung bencana besar"
Rey terdiam mencerna setiap perkataan Oma Laras. Apa ini?
Apa Oma Laras sedang memberinya dongeng pengantar tidur?
Mengapa Oma Laras memberinya perumpamaan seperti itu?
Mengapa ini begitu membingungkan?
Dan mengapa harus singa yang jadi perumpamaannya?
"Cermatilah Reyna, saya tahu kamu bisa" Ucap Oma Laras sambil tersenyum sampai dimana keadaan disana kembali hening.
Brak
Suara pintu yang terbuka membuat atensi mereka teralihkan. Seorang wanita setengahbaya yang tadi membuka pintunya tersenyum canggung.
"Maaf bu, aku kira gak ada orang di dalam" ujar wanita itu.
"Biasakanlah ketuk pintu dulu, Tere"
"Iya bu, maaf" kata wanita yang di panggil Tere.
Pandangan Teresa jatuh kepada Rey yang juga sedang menatapnya. Dia membulatkan matanya.
"Reyna? Kamu disini juga?" Tanya Teresa sambil mendekat kearah sofa tempat mereka duduk.
"Iya tante"
Biar aku jelasin. Teresa Sabrina, dia adalah sahabat dari almarhumah ibundanya dan Oma Laras adalah kolega orang tuanya. Hubungan diantara mereka sangat baik. Tak heran jika Oma Laras tahu segalanya tentang Rey.
"Kamu kesini sama siapa?" Tanya Teresa.
"Rafa" jawab Oma Laras.
"Oh iya? Kamu deket sama anak saya?" Tanya Teresa antusias.
"Anak? Rafa anak tante?"
"Iya. Memang dua anak tante itu susah kalo mau diajak pergi kemana mana jadi waktu pemakaman Bunda kamu juga Rafa sama Fara gak ikut" ujar Teresa. Sementara Rey hanya mengangguk mengerti.
"Oma, kalo gak ada yang di bicarain lagi aku pergi dulu" kata Rey lalu bangkit.
"Permisi tante" pamit Rey pada Teresa yang diangguki oleh Teresa.
Selepas kepergian Rey, Teresa hanya tersenyum miris. Rey yang tadi mengobrol dengannya bukanlah Rey yang dulu pernah ia temui. Tak ada senyum yang terukir di wajah gadis itu seperti pertama kali dia bertemu dengan Rey. Hanya luka yang terpancar di mata gadis itu.
"Reyna" lirihnya.
《~_~》
Hai manteman
Jangan lupa vote and komen ya
See you