Seminggu berlalu, Lily sedang menyibukkan diri belajar membuat kue. Ia harus melakukan apapun itu agar dirinya sibuk dan tidak memikirkan Chris. Seperti saat ini, dirinya tengah asyik mengaduk adonan di dapur.
Lily meraih sebatang chocolate untuk diparut, namun tiba-tiba saja ia mual mencium aroma chocolate itu. Lily menuju wastafel karena merasa ingin sekali muntah.
Lily mencuci bibirnya dan menghembuskan napas pelan. Tumben sekali dirinya mual mencium aroma itu? Padahal Lily sangat suka sekali dengan chocolate. Ia memutuskan untuk menundanya dan berjalan menuju kamar. Mungkin tubuhnya sedang tidak sesehat biasanya.
Lily membaringkan tubuhnya di ranjang dan memijat pelipisnya, kepalanya terasa sedikit pusing. Ia tidak mengerti padahal saat bangun tidur ia tidak apa-apa dan sangat sehat, mengapa tiba-tiba saja seperti ini?
***
Chris tengah menatap keluar jendela, saat ini ia berada di ruang kerjanya. Ia tidak bisa meninggalkan perusahaannya terlalu lama, ia tidak bisa mempercayakan perusahaannya di tangan karyawannya begitu saja. Namun kini hatinya tetap gelisah. Ia tidak dapat fokus dalam pekerjaannya.
Chris melirik jam tangannya dan langsung bergegas keluar. Ia ingin kembali mencari Lily. Entah ia pun bingung, mengapa ia ingin sekali menemukan gadis itu? Padahal Lily hanya sekedar jalang yang ia beli. Ia juga merasa heran, mengapa jejak Lily sama sekali tidak bisa ditemukan? Seolah-olah gadis itu hilang ditelan bumi.
Kemana perginya gadis itu? Mengapa pelariannya terlihat sangat mulus dan tidak dapat terdeteksi bahkan oleh suruhan Chris? Ini sungguh janggal.
Ia juga sudah memerintahkan orang-orang suruhannya untuk mengecek CCTV tempat dimana biasanya Bibi Sonya berbelanja, namun sayangnya pada hari itu CCTV sedang tidak berfungsi. Sialnya, akses jalan menuju tempat itu juga tidak dilengkapi oleh CCTV.
Bahkan gadis itu pun mengganti nomor teleponnya sehingga Chris tidak dapat melacaknya. Oh Tuhan menyulitkan sekali!
Chris mencoba sekali lagi untuk mengelilingi kota itu, ia sangat yakin Lily masih berada di dalam jangkauannya. Toh, tidak ada penerbangan yang beratas namakan Lily, ia juga sudah mengecek seluruh jalur transportasi namun hasilnya nihil.
Tidak mungkin jika gadis itu memalsukan identitasnya. Hal itu tidak mudah untuk dilakukan oleh sembarang orang. Jika benar seperti itu, siapa yang membantu Lily? Setahu Chris, Lily tidak memiliki kenalan 'orang terpandang' atau pun ahli dalam bidang itu.
Ah ya! Bicara soal itu, Chris sampai lupa untuk membaca pesan dari suruhannya untuk menyelidiki latar belakang Lily dan juga melacak Lukes. Ia sangat berharap pria itu segera ditemukan, ingin sekali Chris menghabisi pria brengsek itu.
Chris melajukan mobilnya untuk kembali mencari gadis itu. Gadis yang mampu membuatnya frustasi, namun Chris masih belum tahu apa penyebab dari perasaan kehilangan yang ada di hatinya ini. Masakah cinta? Mustahil. Bahkan ia masih memiliki status dengan Anna.
Astaga, bahkan Chris sampai melupakan kekasihnya sendiri. Selama satu minggu ini, Chris sering mengabaikan Anna dan tidak menganggap kehadiran gadis itu.
***
Lily terbangun dari tidur siangnya karena lagi dan lagi ia merasa mual, namun tidak memuntahkan apapun. Perutnya juga terasa tidak nyaman. Apakah ia harus memanggil dokter? Tetapi menurutnya ini hanya sakit sepele.
Lily memilih untuk bertanya kepada Bibi Sonya terlebih dahulu, barangkali wanita itu memiliki saran. Apalagi wanita itu sudah seperti ibunya sendiri, ia sangat senang ketika Lily menceritakan kebaikan Camella kepadanya.
"Halo Bi, apakah kau sedang di kamar?" tanya Lily saat teleponnya diangkat.
"lya Lily, untung saja kau meneleponku saat aku sedang beristirahat," ucap Bibi Sonya, ia harus mengendap-endap ketika berbincang dengan Lily, was-was jika tuannya itu tahu.
"Syukurlah, aku ingin menanyakan sesuatu Bi,"
"Apa itu sayang?"
"Hari ini tiba-tiba saja aku merasa pusing dan mual, bahkan mencium aroma chocolate pun aku mual, padahal Bibi tahukan aku sangat suka itu." Adu Lily.
Bibi Sonya mengerutkan keningnya, aneh sekali. Jika hal itu dikarenakan Lily makan tidak teratur, tidak mungkin saat ia menghirup aroma sesuatu langsung merasakan mual.
"Apalagi yang kau rasakan?"
"Perutku terasa sangat tidak nyaman,"
"Lebih baik kau panggil dokter Lily, aku tidak ingin sembarang mendiagnosa." Saran Bibi Sonya. Tanda-tanda gadis itu seperti wanita hamil, namun ia tidak ingin langsung mengatakan hal itu, barangkali ia salah.
"Baiklah Bibi,"
"Setelah itu jangan lupa kabari aku ya,"
"Hm ... boleh aku bertanya sesuatu?" tanya Lily, gadis itu tampak ragu untuk berbicara.
"Tentu Lily,"
"B-bagaimana kondisi Chris di sana? A-apakah pria itu baik-baik saja?" tanya Lily.
"Dia sangat tidak baik-baik saja Lily, dia terus mencarimu hingga lupa waktu." Batin Bibi Sonya. Namun ia tidak ingin mengatakan hal itu pada Lily, ia tidak ingin jika gadis itu kembali melemah dan menghentikan persembunyiannya untuk kembali kepada pria itu. Tidak, bukan ia jahat. Hanya saja ia tidak ingin jika Lily-nya kembali tersakiti sedangkan yang ia lihat pria itu masih memiliki hubungan dengan Anna, bahkan gadis itu masih sangat sering menginap di sini.
"A-ah itu, Chris masih seperti biasanya." Ucap Bibi Sonya.
Ada sedikit rasa kecewa di hati Lily. Ternyata benar pria itu sama sekali tidak mencarinya. Mungkin ia hanya kesal sehari lalu kembali menjalani kehidupan bahagianya bersama Anna. Membayangkannya saja mampu membuat hati Lily terasa sangat sakit.
"Baiklah Bibi, nanti kita berbincang lagi. Aku ingin memanggil dokter, nanti akan segera ku kabari," ucap Lily.
Mereka menyelesaikan perbincangan tersebut. Lily menggelengkan kepalanya. Ya, ia harus fokus kepada hidupnya yang sekarang. Chris hanyalah masa lalunya.
Lily memanggil dokter untuk memeriksa dirinya. Tidak butuh waktu lama, seorang dokter wanita datang ke penthouse itu untuk memeriksa Lily. Lily menyampaikan semua keluhannya kepada dokter itu.
Dokter itu mulai memeriksa Lily dan meminta Lily untuk mengisi sebuah wadah kecil dengan urine-nya. Lily sedikit bingung dengan perintah dokter itu, namun tetap ia jalankan. Setelah itu, Lily menyerahkannya dan dokter itu mencelupkan sebuah test pack ke dalamnya.
Setelah selesai, dokter itu tersenyum dan menatap Lily.
"Selamat Nyonya, ada janin di dalam perutmu. Usianya masih sangat kecil, 2 minggu."
Lily membulatkan matanya. Tangannya terulur menutupi mulutnya, ini semua sangat mengejutkan baginya.
"Are you sure?" tanya Lily yang masih setengah tidak percaya.
"lya Nyonya, untuk meyakinkanmu kau boleh datang besok ke rumah sakit untuk melakukan USG." Ucap Dokter itu.
"B-baik Dok, terima kasih." Ucap Lily.
Dokter itu tersenyum dan berpamitan pada Lily. Lily terdiam di ranjangnya. Ia tidak tahu harus bereaksi seperti apa seolah-olah tubuhnya membeku di tempat. Oh tentu saja ia senang karena sebentar lagi hidupnya akan dihadiri oleh sosok anak kecil yang menggemaskan. Namun, ia merasa bingung. Harus apa ia sekarang? Jika memberi tahu Chris, akankah pria itu mau mengakuinya? Padahal ini adalah anak pria itu, Lily bersumpah ia tidak berhubungan dengan siapa pun selain Chris.
Apakah Lily harus menyembunyikannya saja? Ya, sepertinya harus seperti itu. Daripada ia harus menerima sakit lagi karena pria itu tidak ingin mengakui anaknya atau bahkan menuduh Lily tidur dengan pria lain. Tidak, Lily tidak menginginkan itu. Jalan satu-satunya adalah Lily harus merawat anaknya seorang diri. Persetan dengan nanti ketika anaknya bertanya tentang ayahnya.
***
Chris berjalan gontai memasuki sebuah kelab. Ya, ia kembali mengunjungi tempat itu setelah satu minggu sibuk mencari Lily. Ia ingin minum-minum untuk melepaskan penatnya. Ia juga ingin meminta bantuan kepada teman-temannya, tadinya ia tidak ingin melakukan itu karena ia malas untuk menceritakan hubungannya dengan Lily, namun mau tidak mau ia harus melakukannya.
Chris memasuki ruangan tempat dimana ia dan teman-temannya biasa berkumpul. Ia memutar bola matanya malas saat melihat teman-temannya sudah dikelilingi oleh beberapa jalang yang sibuk menggoda mereka.
"Usir mereka." Ucap Chris sambil mendudukkan diri di sebuah sofa.
Jackson memberi isyarat kepada para wanita itu untuk keluar.
"Kau terlihat kacau," ucap Sam.
"Kau selalu memperhatikanku, aku curiga kau menyukaiku." Ucap Chris sambil memandang Sam geli. Sementara Sam menatap pria itu jengkel.
"Jika aku menjadi wanita saja aku tidak akan menyukaimu, tidak ada yang ingin berpacaran dengan kulkas berjalan." Sahut Sam.
"Lalu kau akan menyukai siapa?" tanya George.
"Diriku sendiri, I love my self!" ucap Sam dengan kepercayaan diri. Setelah itu sebuah bantal melayang dan tepat mengenai wajahnya, diduga yang melempar adalah Chris.
"Tapi benar kata Sam, kau terlihat kacau Chris."
"Ada apa?" tanya Jackson.
"Aku ingin meminta bantuan kalian,"
"What?" tanya mereka serempak, kompak sekali. Chris menaikkan sebelah alisnya heran.
"Mencari seorang gadis." Lanjut Chris.
Ketiga temannya tampak terkejut dan saling memandang.
"Seorang gadis? Siapa?" tanya Jackson.
"Lily Queenie,"
"Yang pada saat itu diculik oleh, ah siapa itu namanya?" tanya Sam.
"Lukes," jawab Chris.
"Ah ya, dia orangnya?" tanya Sam.
"Ya."
"Siapa dia sebenarnya? Kekasihmu?" tanya George.
Chris mengerutkan keningnya untuk berpikir sejenak.
"No,"
"Teman lama?" tanya Sam.
"No,"
"Mantan kekasih?" ya, pria itu masih berusaha menebak.
"No,"
"Tetang-"
"Stop! Mengapa kalian jadi tebak-menebak?" jengkel George.
"Aku hanya penasaran, mengapa teman kita sampai ingin mencari gadis itu,"
"Sebaiknya kau ceritakan dahulu kepada kami," ucap George.
"Kalian hanya perlu mencari gadis itu, tidak perlu menanyakan hubungan apa di antara kami!" ucap Chris kesal.
"Tidak, kami tidak akan membantumu sebelum kau menceritakan apa yang terjadi." Ucap Jackson.
"Fuck you." Umpat Chris.
"Tinggal ceritakan saja. Semuanya." Ucap Jackson.
Chris bingung harus menceritakan apa kepada teman-temannya. Pasalnya ia sendiri pun bingung mengapa ia seperti ini kepada gadis itu. Apa teman-temannya akan mentertawainya jika mengetahui Chris sampai membeli gadis itu?
Setelah lama merenung, Chris pun akhirnya memilih untuk menceritakan kepada teman-temannya walaupun dengan bermalas-malasan. Ia menceritakan semuanya tanpa tertinggal sedikit pun.
Setelah selesai bercerita, teman-temannya tampak terdiam tidak berkutik. Sibuk dengan pikirannya masing-masing. Pikiran Ingin mengumpati Chris dengan berbagai kata kasar. Sungguh, temannya itu sangat bodoh!
"Kau sangat pintar mengelola perusahaan, namun sangat bodoh dalam hal ini." Cetus Sama. Hal itu mampu membuat Chris mengangkat kedua alisnya bingung.
"Lihatlah teman bodoh kita yang sedang frustasi karena kehilangan seorang gadis bernama Lily." Ucap Sam lagi.
''Ya, kau bodoh." Ucap Jackson yang sedari tadi terdiam.
"What?! Apa maksud kalian mengatakan aku bodoh?" ucap Chris tidak terima. Kemudian ia menyesap alkoholnya.
"Kau mencintainya, bodoh." Ucap George yang tepat mengenai hati Chris. Pria itu langsung menatap George.
Apakah benar Chris mencintai Lily?
Apakah pria itu bersungguh-sungguh dengan perkataannya? Ya, ia tahu George adalah temannya yang paling waras dan selalu bersungguh-sungguh dengan ucapannya. Namun, apakah kali ini yang dikatakannya benar?
"Maksudmu?"
"Sekarang aku tanya, untuk apa kau mencari Lily?" tanya George.
"Y-ya karena ia sudah kubeli."
"Tidak masuk akal. Jika seperti itu untuk apa kau bersusah payah untuk mencarinya dan tentunya membuang uangmu?" Sahut Sam.
"Ya, padahal sudah ada Anna." Timpal Jackson.
"Itu artinya kau tidak ingin kehilangan gadis itu." Jawab George.
Chris terdiam dan tidak menjawab ucapan teman-temannya. Apakah benar seperti itu?
"Kurangi egomu." Cetus Jackson lalu pria itu meneguk alkoholnya.
"Kalau tahu seperti ini, lebih baik aku mendukung Lily untuk pergi darimu!" ucap Sam kesal.
"Hey hey! Aku ke sini untuk meminta bantuan kalian!" jengkel Chris.
"Jackson, bantu temanmu." Ucap Sam.
"George, temanmu." Lempar Jackson.
"Aku tidak memiliki teman sepertinya." Ucap George.
"Brengsek kalian." Umpat Chris, diakhiri oleh tawa dari teman-temannya.
Meskipun begitu, mereka tetap ingin membantu Chris dan membagi-bagi tugas. Mereka tahu betul pria itu belum menyadari perasaannya, semoga seiring berjalannya waktu pria itu menyadarinya.
Chapter ini agak panjang, smoga ga eneg🤣
Enjoy💖