●●●
Seperti biasanya. Leon insomnia, sulit tidur malam. Badannya menggigil seperti sebelumnya, suhunya sangat tinggi. Setelah ia menimbang berat badannya, ternyata sudah turun 1kg. Ia sangat sulit menaikan berat badan. Terlebih sering meminum kopi maupun susu saat malam hari.
Kini Leon tengah membaca buku. Sebelumnya ia masuk rumah daim-diam agar orang rumah tidak terbangun. Dan berhasil. Dengan secangkir es teh, Leon menatap langit. Berharap segera semuanya tuntas. Ia ingin terbebas dari semuanya yang membuat pikirannya berantakan.
Menjelang pagi, kantuk pun datang. Leon melirik sekitar rumah sebelum tidur. Dan berantakan. Jiwa kebersihannya meronta-ronta. Tangannya selalu gatal jika tidak segera merapihkannya.
Dalam beberapa menit. Semuanya selesai beserta makanan sarapan pagi. Bu Via yang kaget langsung shock hingga pingsan. Di bawa ke rumah sakit. Dengan polosnya Leon bertanya juga keadaan dede bayi di perut maminya. Alahasil Dokter malah bengong. Membuat Leon heran.
Dan ternyata bu Via tidak hamil. Ia hanya berbohong. Kebohongannya membuat Yara pingsan saat itu. Kini ia sudah meminta maaf. Kemudian ia meraih tangan Yara dan Leon, menyatukannya kembali. Pak Rama memberikan cincin mereka yang semlat terlepas. Dan mereka menyuruhnya untuk saling memasangkannya lagi.
Leon dan Yara saling menatap. "Ingat! Perjuangan kalian sampai di titik ini itu tidak mudah. Leon butuh depresiasi buat nikah di usia semuda ini," ucap pak Rama memperingati. "Jangan anggap pernikahan hak sepele!" Mereka sudah bertukar cincin kembali. Seperti waktu itu yang singkat dna terburu-buru. Tidak ada yang menyenangkan, hanya ketegangan akibat di ancam masuk penjara.
Mata Yara sampai berkaca-kaca. Betapa malangnya ia waktu itu, mungkin jika tidak ada Leon. Ia akan menjadi perempuan paling menderita, mental terganggu, dan sangat hina. Di tambah tidak akan yang curiga kalau ia sudah menikah, karena mereka hanya tahu kalau Leon kakak tirinya bukan suaminya. Entah sampai kapan ini bisa menjadi rahasia.
"Yara?" panggil bu Via lirih. Ia menggengam tangan Yara. "Kamu gak mau punya adik, kan?" Yara mengangguk. "Mami punya permintaan buat kamu, janji penuhi?"
Yara tidak mudah mengangguk begitu saja. "Apa dulu permintaannya?"
"Janji dulu," seru bu Via.
Sekarang Yara mengangguk setelah mendapat kode. "Iya janji. Emangnya apa, Mi?"
"Katanya kamu gak mau punya adik, Mami juga gak mungkin punya bayi lagi di usia setua ini. Jadi kamu aja yang punya bayi sama Leon? Mau?" ungkap bu Via. "Kamu udah janji, harus di tepat!"
Tubuh Yara mematung. Ia menyesal telah berjanji terlebih dahulu. Kemudian ia melirik Leon yang acuh tidak peduli. Harus bagaimana ia sekarang? Apakah berubah pikiran. "Yaudah, Mami boleh hamil lagi. Aku rela punya adik lagi gapapa demi Mami gapapa suer deh." Setelahnya ia menelan ludah.
"Gak bisa, kamu udah janji," balas bu Via. Sekarang jalan pikiran Yara sudah buntu. Maju tetap mentok, mundur tetap mentok. Ia menggaruk kepalanya, dan kebingungan hingga menggungang tawa bagi orang tuanya. Bu Via juga terkekeh. "Kok mukanya malu gitu? Kalian pernah itu pasti?"
"Belum," balas Leon santai. Ia berjalan ke arah kursi dan duduk merasa sangat pusing, padahal sudah memakan obatnya.
"Ah masa cowok tahan sekamar sama cewek berduaan terus lagi?" goda pak Rama.
"Ih Ayah iya, kita gak pernah ngapa-ngalain selama ini. Udah mau genap sebulan, dan kita kayak temenan kok," sambung Yara menbetulkan. "Iyakan, Leon?" tanyanya, namun Leon malah diam. Membuatnya terpojokan.
Setelah percakapan ini, mereka pulang. Dan menghubungi tukang urut untuk mengurut Yara dan Leon. Siang ini juga teman-temannya datang untuk menjengguk beserta guru-guru. Dan meminta maaf atas semua kekacauan ini.
"Iya, tidak apa-apa, Bu, Pak! Sudah saya maklumi, namanya juga hukum alam," ucap bu Via. "Oh iya, silahkan di cicipi makan sama minumannya," ucapnya mempersilahkan.
Dalam hiungan detik, minuman segar itu habis di teguk oleh mereka. Begitu pula dengan cemilan. Sampai hati bu Via berbunga-bunga. Kalau kue buatannya sangat enak. Jadi mereka suka.
"Mmmm Tante, Leon nya mana?" tanya Shakilla antusias.
"Di atas, lagi di urut. Badannya bonyok kayak abis di tinju," ungkap bu Via. "Tunggu aja disini, nanti dia turun kok kalau udah selesai."
Shakilla mendengkus kesal. Bibirnya manyun. "Yaudah kalau gktu tolong fotoin gue sama Tante Via. Calon mama mertua," ucapnya.
Dengan muka tertekan, bu Via bergaya. Meski ia malas. Di tambah Shakilla tang sok akrab dengannya. Padahal tidak sama sekali dekat. Dirinya sekarang bagai boneka yang di atur-atur. "Shakilla stop, Tante lagi males gaya."
"Mami! Aku laper!" teriak Yara dari tangga. Ia hanya mengenakan celana pendek dan baju crop. Langkahnya terhenti saat semua landangan tertuju kepadanya. Ia sampai melangkah mundur seraya menitup tubuhnya, dia juga cengar-cengir karena malu. Dan segera mengganti pakaian. Kemudian menemui teman-teman dan juga gurunya.
"Tante kok cewek itu ada disini?" tanya Shakilla tang tidak terima menaggil calon mama mertuanya dengan sebutan 'Mami'.
Andai ada Nicholas, pasti akan di tambah banyak pertanyaan. Untungnya dia tidak masuk karena malas. Tidak ada yang menyenangkan.
"Hei selamat siang!" sapa Yara dan menyalimi semua guru. "Maaf ya aku udah bikin kalian semua khawatir."
"Heh li ngapain disini?" tanya Shakilla. "Lo numpang idup sama Tante Via?"
"Enggak," balas Yara. "Beliau Mami gue. Emang kenapa?"
Shakilla kaget. "Maksudnya?"
"Leon sama Yara saudara tiri!" balas 1 kelas barengan membuat Shakilla terheran-heran. Karena ia beda kelas. Dan sekarang memaksa ikut ke sini.
Tidak banyak basa-basi. Mereka pun pamit pulang. Setelah kondisi Yara membaik. Besok sudah bisa masuk sekolah dan belajar. Serta heboh lagi.
Setelah menutup gerbang, tiba-tiba ada suara mobil berhenti. Membuat Yara menolah, wajahnya seketika berseri. Dan tawannya bersinar. Ia segera membuka gerbang setelah melihat siapa yang turun.
"KAK ANNETH!" panggil Yara dan langsung memeluk perempuan itu.
"Lepas, pengap ih," decak Anneth. Kakak sepupu Yara yang tinggal di luar negeri. Ia sebatang kara, karena orang tuanya telah meninggal. Dan sekarang baru lulus menjadi dokter kejiwaan. Serta psikolog. Ia bisa mengobati dan mendeteksi seseorang meski tidak selalu tepat.
Yara manarik koper milik Anneth. Dan menarik tangan perempuan itu untuk masuk. "Ayo Kak masuk! Mami lagi ada di dalem, kok!"
"Rumah ibu tiri, kamu?" tanya Anneth bingung.
"Iya! Ayo masuk! Dia baik! Tapi Kakak gak boleh genit sama cowok disini!" ucap Yara sambil menyeret Anneth. "MAMI ADA KAK ANNETH YANG DI CERITAIN AYAH TADI!"
Bu Via dengan tergesa-gesa menggampiri mereka. Tetapi langkahnya mundur, wajahnya mirip dengan perempuan yang hampir menghancurkan pernikahannya dengan mendiang suaminya. "Enggak! Pergi!"
Anneth dan Yara saling lihat karena bingung. "Mami kenapa?"
"Tante kenapa?" tanya Anneth. Ia belum bisa membaca bu Via. Karena ia bukan tulisan yang sekali lihat langsung bisa di baca. "Dudukin aja dulu di kursi, Ra."
Bu Via di beri minum. Kemudian ia memilih pergi dan tidak ingin dulu menemui Anneth. Rasa sakitnya kembali terasa meski sudah 17 tahun berlalu. Semuanya masih membekas sempurna. Ia sulit ia ceritakan. Parahnya, Leon selalu menentangnya perihal ini.
Yara dan Anneth ngobrol untuk melepas rindu sampai lupa waktu. Dan tiba-tiba ja mendapat pesan kalau Malika sakit, Kenzi kritis. Ia segera bersiap pergi ke rumah sakit bersama Leon. Dan meninggalkan Anneth di rumah bersama bu Via.
Anneth mencoba bicara pada bu Via. Namun bu Via belum bisa. Bu Via heran kenapa bisa ada orang yang mirip dengan perempuan selingkuhan suaminya dulu? Apa mungkin dia juga salah satu anaknya? Tidak mungkin. "Semoga Leon tidak akan pernah mendua seperti papinya dulu," batin bu Via.
•••
"Kalau lo masih sakit mending pulang lagi aja deh."
"Enggak, gue udah sehat. Panas dikit wajarlah gue' kan hidup," balas Leon.
Sesampainya di rumah sakit. Ia melihat Kanay tengah makan sendirian. Dengan mata sembab. Ia segera menghampirinya, dna bertanya apa yang telah terjadi. Kanaya mulai bercerita di hadapan Yara dan Leon.
Membuat Leon menepuk dahi Yara. Karena jika ia menepuk dahi Kanaya, untuk apa kakau udah ada Yara tapi malah ke Kanaya? Sudah ia duga kalau Kanaya itu konyol. Melebihi Yara. Hanya saja Kanaya polos, Yara itu tukang nyosor duluan.
"Terus, Malika kenapa?" tanya Yara. Pertanyaan yang Leon tunggu. Semoga naluri hatinya telah salah.
Kanaya menarik tangan Yara dan Leon untuk ke ruangan Malika. "Tuh liat!" Ia menunjuk kepada Malika yang masih di tangani dokter.
"Emangnya, kenapa?" tanya Yara. "Kenapa sih? Gue heran sumpah. Malika biasanya sehat-sehat aja?!"
Kanaya butuh keberanian untuk menberitahu Yara. Ia menghela nafas kemudian mencoba rileks. "Malika...."
"Hm?" Leon dan Yara mengangguk bersama-sama.
"Malika baru selesai di operasi, ngangkat janinnya yang mati dalam kandungan gara-gara ibunya kekurang gizi, jarang makan, kecapean, sama kurang kasih sayang. Bahkan udah di coba buat gugurin namun terus gagal," ungkap Kanaya dalam 1 nafas. Hatinya tidak tenang. Jantungnya berdebar-debar.
Dugaan Leon benar kalau Marvin akan melakukan hal lebih dari waktu itu kepergok olehnya. Dan yang tidak habis pikirnnya adalah mencoba membunuh anaknya sendiri. Sedangkan Yara hanya menutup mulutnya tidak percaya. "Jadi ini penyebab dia ngilang?"
Kanaya nengangguk. "Di tambah Marvin gak mau tanggung jawab. Dia udah pindah ke Rusia dan di jodohin sama cewek anak rekan bisnis papahnya. Sekarang Malika udah di coret dari ahli waris. Di usir segalanya di ambil. Dia sendirian sekarang cuman ada kita."
"Kita kasih semangat!" balas Yara. "Sesama manusia harus tolong menolong dalam kebaikan. Jangan biarin Malika sendiri. Kita buktiin kalau dia gak sendiri, masih ada kita," ucapnya bersemangat. "Iya, kan Leon?" Ia mendongak, Leon tengah memperhatikannya saat ini dengan seulas senyuman. Yara jadi punya ide, ia berbinjit, kemudian mencium bibir Leon di depan Kanaya.
Dahi Kanaya mengkerut bungung. "Anjir apa-apaan lo?"
Yara terkekeh. Leon terbengong. Kemudian Yara menggeleng. Dan membuat Kanaya menebak-nebak ada apa dengan mereka? Ia benar-benar penasaran sekarang.
"Kita itu remaja yang sedang membutuhkan uang dan kasih sayang keluarga bukan pacar!" sindir Kanaya.
"Dia' kan abang gue, Nay. Termasuk keluarga gue," balas Yara membuat hati Kanaya terbakar hangus.
Langkah Kanaya terhenti, ia berbalik dan menghadap Yara. "Awas lo gue bales!" Ia mengacungkan jati tengahnya membuat Leon tertawa tiba-tiba.
"Ayo abang ganteng! Kita jajan. Biarin si jones sendirian," ucap Yara menas-manasi.
"Gak usah manas-manasin! Disini udah panas oi!" balas Kanaya geram.
Sayangnya Leon tidak bisa di ajak kompromi. Ia malah memaksa ingin menemui Kenzi yang masih belum sadar. "Siapa tau kakau udah abis gue jenguk bisa aja siuman?"
"Hah mau ciuman?" beo Yara bercanda.
Leon menjewer telinga Yara. "Heh anak kecil udah nakal! Meresahkan lagi!" Yara malah tertawa sambil meledek. Siapapun akan mengira mereka pacaran tapi seperti musuh. Kadang akur kadang berantem.
"Sut jangan berisik! Nanti Kenzi keganggu!" celetuk Kanaya. Padahal ia iri. "Hua pengen abang! Mama bikinin abang!" teriaknya lebih keras dari Yara. Membuat penghuni sebelah protes kepadanya karena berisik.
3 jari Kenzi mulai bergerak. Dan Leon langsung mencoba memanggil nama Kenzi. Dan tidak lama kemudian mata cowok itu terbuka. Meski masih meremang.
"Ajaran sesat lo dari mana, Nay?"
"Menurut internet," balas Kanaya.
"Sesat banget, itu tuh, Nay. Gak boleh di ulangi lagi!" sambung Leon.
"Gue dimana?" Kenzi bertanya yang masih mencoba sadar. "Leon? Lo selamat?"
"Iya, maunya gue gimana? Modar? Isdet? Rojiun? Heh mau lo itu mah," balas Leon mengeluh. Ia bicara begini untuk mencairkan suasan. "Main yuk, Ken?"
Kenzi hanya tersenyum. Dan Leon malah di tonjok oleh Kanaya, untung hidungnya masih bisa di ajak kompromi.
-To Be Continued-
Tulis pendapat kalian tentang cerita ini! Jawab yaw♡