Mari kita kembali ke beberapa minggu yang lalu, tepatnya saat si kembar tiga kehilangan salah satu barang milik mereka.
Saat si kembar tiga pergi ke kantin. Sam masuk ke kelas mereka. Pertama, ia membuka tas milik Halilintar lalu mengambil botol minumnya, berikutnya tas Taufan, mengambil sepasang baju olahraga, terakhir tas Gempa, mengambil tempat pensilnya.
Tentu saja, sebelum melakukan aksinya itu, Sam lebih dulu pergi ke lab.komputer untuk memutus sambungan CCTV di kelas X.4. Ia juga mengancam murid-murid di sana supaya tutup mulut. Dengan apa? Tentu saja dengan uang.
Setelah memastikan semuanya aman terkendali. Sam pergi ke lab.kimia. Perlu kalian tahu jika lab.kimia adalah ruangan milik Sam pribadi. Sebab dia pernah menyumbang untuk sekolah ini dalam jumlah yang tidak sedikit, kepala sekolah pun membolehkannya untuk menempati lab.kimia sebagai ruangan pribadinya.
Sam tersenyum puas begitu sampai di lab.kimia, dengan buru-buru ia mengeluarkan barang curiannya. Baju olahraga milik Taufan diambil lebih dulu, lalu ia mengendus-endus baju itu seraya mendesah.
Keinginannya untuk mendapatkan putra dari sahabat karibnya–Amato pun semakin besar.
“Ahh.. Keenan. Aku sangat merindukanmu,” ujarnya lirih.
“Keenan.. aku kesepian tanpamu.. sialan, kenapa aku membunuhnya..”
Sam meletakkan baju olahraga itu di dalam tas. Ia lalu mengambil buku berukuran kecil dan sebuah pena. Ia merogoh tas miliknya, mengambil kamera kesayangannya.
Ratusan– bahkan ribuan foto-foto yang ia ambil dalam beberapa tahun ini pun dibuka. Ia mulai mencatat sesuatu di buku kecil itu.
“Halilintar, pernah mendapat juara satu pencak silat tingkat internasional. Ini akan susah, aku yakin sekali,” gumam Sam sembari terus menulis. “Taufan, aku tak pernah lihat anak itu berlatih atau menguasai bela diri. Hmm, mungkin ini bisa. Gempa, dia pernah menghentikan tawuran.. bahkan bisa menjatuhkan preman. Aku rasa ini sedikit susah.”
Tak! Sam melempar pena itu ke meja, ia membaca dengan teliti apa yang ia tulis barusan. Setelah itu senyum mengerikan mengembang di bibirnya.
“Hmm, yang mana, ya..?”
Netra hitam Sam melirik pada beberapa foto yang telah dicetak. Ia mengambil tiga buah. Menatapnya satu persatu dengan perasaan yang amat gembira.
“Merah, biru, cokelat. Semuanya sangat indah, aku tak bisa memilih salah satu dari mereka,” ucapnya dengan nada sedih. “Tapi tak apa, satu saja sudah cukup.”
Sam tertawa keras. Ia tak perlu khawatir suaranya akan terdengar sampai di luar, karena ruangan ini kedap suara jadi ia bisa sepuasnya tertawa atau berteriak keras.
“Amato.. kau memang sahabatku, tapi kau telah merebut cinta pertama dan terakhirku. Kau benar-benar bajingan tua, tunggu saja pembalasanku.”
Lagi-lagi suatu hal terlintas di benaknya, membuatnya semakin bersemangat untuk mendapatkan salah satu dari tiga putra Amato.
“Bahkan Tuhan pun langsung memberiku sebuah rencana yang menyenangkan,” gumam Sam. Ia segera membereskan barang-barang miliknya ke dalam tas.
“Maafkan aku, Solar. Tapi aku harus menggunakanmu supaya rencanaku berjalan lancar.”
.
.
.
Satu hari kemudian.
Sam menatap tak suka pada remaja bernetra hijau yang tengah memohon pada salah satu polisi di sana. Ia memutar otaknya untuk mencari sesuatu yang bisa dilakukannya nanti.
“Pak, aku mohon temukan adikku.. kasihan dia..” ucap Thorn seraya menangis.
Pria yang mengenakan seragam polisi itu mengusap kepala Thorn lembut. “Adik tenang saja, ya. Kami semua pasti akan menemukan adikmu secepatnya.”
“Janji, ya?”
“Ya, janji.” Pria itu menautkan jari kelingkingnya dengan jari kelingking mungil Thorn.
Thorn mengusap pipinya yang basah oleh air mata. Ia lalu tersenyum. “Terima kasih. Saya akan menunggu kabar adikku darimu,” ucapnya sebelum berlari menuju lab.komputer untuk mencari bukti rekaman CCTV, tentu saja ditemani oleh anak dari kepala sekolah, Maripos.
Pria berseragam polisi itu tersenyum. Ia memutar tubuhnya untuk menemui rekan-rekannya. Namun sebelum melangkah, sebuah suara memanggilnya.
“Hey, saya ingin bicara denganmu, berdua saja,” ujar Sam seraya tersenyum ramah, sebelah tangannya berada di belakang tubuhnya menenteng sebuah tas berbentuk persegi yang akan ia gunakan setelah ini.
.
.
.
Tak terasa 2 minggu telah berlalu secepat ini. Sam benar-benar bangga pada dirinya sendiri, tak ada satupun yang melenceng dari rencananya, padahal ia sudah menyiapkan beberapa rencana cadangan jika rencana utama gagal.
“Baguslah, aku tak perlu repot-repot menggunakan rencana itu, toh semuanya sudah berjalan lancar.”
Sam meletakkan kakinya di atas meja, sebelah tangannya menggenggam sebuah foto remaja lelaki yang ia yakin akan segera jatuh ke dalam perangkapnya.
Sam mengingat-ingat kejadian beberapa minggu lalu. Bagaimana ekspresi Solar saat ia memukul wajahnya hingga anak itu tersungkur menabrak rak berisi bola voli. Lalu saat anak itu hendak menyerangnya namun tak cukup tenaga. Dan berakhir Solar dipukuli hingga beberapa bagian tubuhnya terluka, sebelum mengikatnya menggunakan tali yang memang sudah dibawa sejak awal.
Saat teringat itu, Sam selalu tertawa sendiri, ia merasa puas dengan tindakannya.
Sam pun tidak lupa untuk meletakkan cutter di samping lemari tempat ia menyembunyikan Solar. Namun ia meletakkan benda itu tepat setelah ketua klub skateboard–Gentar menyuruh anggotanya yang piket untuk mengambil peralatan di gedung olahraga.
Lalu, sebelum berkumpulnya anggota klub skateboard. Sam juga sempat meletakkan sesuatu pada minuman milik remaja bernetra biru keemasan. Sesuai dugaannya, anak itu pergi ke toilet sebelum sampai di gedung olahraga. Sepertinya anak itu belum sembuh dari diarenya sampai sekarang. Sebab Sam belum melihatnya di sekolah.
Dua hari telah berlalu.
Sam semakin kegirangan. “Dia sudah mulai sekolah, ya.. aku semakin tak sabar,” ucapnya.
Dalam benaknya, Sam sudah membayangkan kejadian dalam beberapa waktu ke depan. Ia sangat yakin, rencananya pasti akan berhasil 100% tanpa ada hambatan.
Sam keluar dari lab.kimia tanpa membawa tas miliknya. Sengaja ia taruh di sana dan membuka resleting tasnya agar terbuka sedikit. Ia pergi menuju rooftop untuk mencari angin sebelum melakukan aksi jahatnya.
Jam sudah menunjukkan pukul 1 siang. Sam melihat ke bawah, murid-muridnya sudah berlarian menuju parkiran dan halte, nampaknya mereka sudah tak sabar ingin tidur siang.
Kini Sam sudah mempersiapkan dirinya untuk pergi ke lab.kimia yang ia yakin sudah ada seseorang di sana untuk mengerjakan ulangan, padahal ia hanya iseng, sejak tadi pagi ia tak masuk ke kelas manapun, tidak memberi materi maupun ulangan harian, hanya tugas mandiri saja.
Ternyata benar, pintu lab.kimia terbuka lebar. Seseorang yang menjadi incarannya–Taufan sudah datang. Sam menutup satu-satunya pintu lalu menguncinya tanpa mengeluarkan suara.
‘Asyik sekali, ya, lihat foto-fotonya,’ gumam Sam dalam hati seraya tersenyum. Ia lalu melangkahkan kakinya, sedikit dihentakkan agar seseorang di depannya ini terkejut.
Setelah itu, ia mengurung pergerakan Taufan dengan meletakkan kedua tangannya di kedua sisi remaja itu. Memberitahu semua rencana jahatnya yang ia lakukan selama ini.
Sam menggeram kesal ketika Taufan terus memberontak ingin kabur. Akhirnya ia mencengkram kedua lengan remaja itu lalu membantingnya sebanyak 3 kali, sebelum menidurinya hingga malam hari.
.
.
.
Sam menarik lengan Taufan untuk duduk lalu memakaikan seragam Taufan yang beberapa kancingnya terlepas karena ulahnya yang tidak sabaran. Tak lupa membersihkan tubuh anak itu yang sedikit basah dan berkeringat menggunakan tisu kering.
Sedari tadi Taufan hanya diam. Bahkan saat Sam bertanya basa-basi pun tidak dijawab, ditatap pun tidak. Hal itu membuat Sam geram.
Sam mengusap pipi Taufan, menghapus air matanya. “Kuharap kau ngga melaporkan hal ini pada siapapun,” ucapnya, lalu mengecup dahi Taufan.
Taufan masih diam, nampaknya Sam harus memancingnya.
“Kalau kau melapor..” Sam mengeluarkan ponselnya. “Aku akan menyebar video ini–”
Lihat? Taufan sudah terpancing, tangan mungilnya berusaha merebut ponsel itu.
“Berikan benda itu padaku..” ucap Taufan lirih sembari meringis menahan sakit di tempat yang tidak seharusnya. Bahkan untuk menggerakkan kakinya pun terasa sakit sekali. Pria ini benar-benar menyiksanya tanpa belas kasihan.
“Hmm? Lalu kau mau menghapusnya? Heh, lakukan saja kalau bisa.” Sam mencengkram pipi Taufan dengan kuat. “Dengar, kau harus bersikap seperti biasa di hadapan saudaramu. Dan aku ingatkan sekali lagi. Kalau kau tak mematuhi perintahku.. aku akan benar-benar menyebar video ini. Mengerti?”
Taufan menepis tangan Sam, ia menangis untuk kesekian kalinya seraya memeluk tubuhnya sendiri yang gemetar hebat. Ia tidak bisa melakukan apa-apa.
Sam menarik tubuh mungil itu ke dalam pelukannya, rasanya ia ingin melakukan 'itu' sekali lagi. Namun ia tak ingin dicurigai oleh dua saudara Taufan karena sudah hampir larut malam, ia tak ingin merusak hubungannya dengan keluarga Amato sebelum rencananya benar-benar berhasil seluruhnya.
Sam mengangkat tubuh Taufan, tak lupa membawa tas biru milik anak itu.
.
.
.
Dua hari telah berlalu. Taufan menghabiskan waktu 48 jam hanya untuk berdiam diri di ujung kamar, menutupi seluruh tubuhnya menggunakan selimut.
Taufan sudah mengganti pakaiannya, seragam yang sudah kotor dan sedikit robek itu dibuang entah ke mana, yang pasti ia tak mau menyentuh pakaian 'kotor' itu lagi.
Taufan mengunci pintu kamarnya, ia tak mempedulikan panggilan dari kedua saudaranya yang seringkali meneriakkan namanya sambil menggedor pintu, menyuruhnya keluar kamar.
Toh, ia tidak bisa melakukan apa-apa selain berdiam diri di bawah ancaman Sam. Taufan sudah sangat hancur harga dirinya dijatuhkan begitu saja, ia tidak ingin menambah malu keluarganya dengan tersebarnya video menjijikan itu. Amit-amit kalau sampai video itu tersebar.
Taufan benar-benar tidak menyangka atas perlakuan Sam yang begitu kejam. Dia membunuh ibu kandungnya, dia juga mencelakai Solar.
“Apa aku berbuat salah..?” gumam Taufan, lagi-lagi air matanya menetes. Ia memegangi perutnya yang terasa nyeri.
“Mama.. aku mau ketemu mama..” setelah mengucap kalimat itu, Taufan tertidur pulas setelah seharian membuka mata.
Tak terasa malam hari telah tiba, Taufan pun terbangun karena dikejutkan dengan suara ponselnya yang berdering.
Sebelah tangannya meraba nakas, mencari-cari ponselnya. Di layar, terdapat nama 'Maripos', lelaki itu terus-menerus meneleponnya sejak kemarin. Namun Taufan tidak pernah menjawabnya. Kali ini pun tidak.
Karena bosan, Taufan mencari jaket berwarna hitam dan topi untuk dikenakan. Malam ini ia akan keluar mencari angin. Tak peduli jika nanti masuk angin, yang penting ia ingin jalan-jalan.
Taufan keluar lewat pintu utama yang ternyata sudah dimatikan lampunya. Nampaknya Halilintar dan Gempa sudah berada di kamar mereka.
Suasana kota di malam hari memang tidak tertandingi. Lampu-lampu jalanan yang berjejer rapi begitu indah, ditambah tumbuhan hijau dan bunga-bunga yang ditanam di pinggir trotoar.
Taufan duduk di salah satu bangku di sana, ia hanya diam sambil menatap kendaraan beroda empat yang berlalu-lalang setiap satu menit sekali. Karena hari sudah malam, tidak banyak kendaraan di sana.
Lagi-lagi ponselnya berdering. Dengan berat hati Taufan membuka kontak bernama 'Maripos' yang telah mengirimnya beberapa bubble chat, kalau diingat-ingat Taufan sama sekali belum membuka sosial media apapun sejak dua hari lalu.
Kak Maripos
08.30
Kau ngga sekolah? Kenapa?
Hey, kakakmu ikut pertandingan? Kau ngga ingin nonton?
Ah iya, Taufan lupa jika hari ini Halilintar melakukan pertandingan basket di gedung olahraga sekolahnya, tempat yang membuatnya tidak ingin lagi pergi ke sana.
Ramai sekali di sini. Kau serius ngga mau ke sini?
Kenapa cuma dibaca? :(
Kau lagi ngga mood, ya? Okedeh.
Nanti malam mau jalan-jalan lagi? Aku siap menemanimu, tuan. Haha.
19.42
Ah, aku jadi malu karena pesanku ngga ada yang dibalas. Yasudah deh, kalau kau sakit, istirahat saja. Bye.
21.00
Hoi, bocah. Kau belum balas pesanku juga? Kau ke mana aja? Aku tadi tanya Gempa malah dicuekin:(
22.04
Kalau kau masih hidup setidaknya balas. ATAU KAU BUNUH DIRI?!?!?!
HOI! BALAS PESANKU BOCAH!
Taufan membaca pesan-pesan itu tanpa ekspresi. Orang aneh, batinnya. Ia menyimpan ponselnya di saku jaket, kemudian melanjutkan berdiam diri.
Bunuh diri, ya..
Taufan menyimpan ponselnya di saku jaket. Ia berniat pergi ke suatu tempat, ingin menikmati suasana malam hari yang begitu sejuk.
Rooftop sekolah menjadi tujuan Taufan. Gerbang sekolah tidak akan ditutup sepenuhnya selain saat jam pelajaran dan hari libur, jadi murid-muridnya bebas ingin memakai gedung sekolah ini sampai jam berapa.
Pintu rooftop berbahan besi itu ditutup rapat oleh Taufan sebelum dirinya melangkah menuju pagar pembatas. Ternyata dari atas sini tempat-tempat di bawah terlihat begitu indah.
Taufan memasang wajah sedih, sedari tadi ia terus teringat wajah cantik Mamanya. Taufan ingin bertemu dengannya. Sekarang. Taufan sangat merindukannya.
Taufan rindu usapan lembutnya, rindu suaranya, rindu kasih sayangnya, semuanya. Taufan ingin merasakannya lagi.
Bolehkah.. aku bertemu Mama sekarang..?
Air mata mengalir dari netra safir yang bercahaya di tengah gelapnya malam. Seakan ada yang membisikkan sesuatu, tiba-tiba saja kedua tangan Taufan berpegangan erat pada pagar pembatas, sebelah kakinya naik melewati pagar tersebut. Hingga dirinya benar-benar berada di pinggir rooftop, hanya terdapat jarak 1 cm dari ujung kaki sampai ujung lantai rooftop.
“Tunggu aku.. Mama.” Taufan melepas pegangannya pada pagar pembatas, netra safirnya memejam erat, membiarkan tubuhnya perlahan jatuh ke bawah.
“BOCAH SIALAN!”
Taufan membuka mata, hal yang pertama kali dilihat adalah wajah Maripos yang menahan amarah, dan sebelah tangannya yang digenggam oleh remaja berambut putih itu.
Dengan sekuat tenaga Maripos menarik tangan yang terasa dingin itu. Membawa tubuh yang lebih kecil darinya ke tengah-tengah rooftop.
“Lepaskan aku!” seru Taufan sembari menarik tangannya yang digenggam erat oleh Maripos. Tiba-tiba saja ingatan kejadian 'itu' terlintas di benaknya, ketika pria bajingan itu mencengkram tangannya.
“Hoi! Apa maksud tindakanmu barusan? Kau ingin mati?! Jawab!” sentak Maripos tanpa melepas genggaman tangannya.
Taufan semakin ketakutan. Saking takutnya, wajah Maripos tergantikan dengan wajah pria bajingan itu. Seolah dirinya kembali ke hari itu.
“LEPASKAN AKU! LEPASKAN!” Taufan menarik-narik tangannya dengan sekuat tenaga. Namun sayang sekali, ia belum makan apa-apa selama 2 hari yang tentu saja membuat tenaganya melemah.
Maripos merasakan suatu keganjilan. “Hey, kau kenapa? Kenapa kau takut begitu?” tanyanya.
Taufan mulai menangis dan berteriak, hal itu membuat Maripos panik. Ia membawa anak itu ke dalam pelukannya. Mengusap-usap punggung kecil yang gemetar.
Maripos ingat betul, saat terakhir kali bertemu Taufan, anak itu hanya terlihat sembab. Namun kali ini, saat ia melihat lebih dekat. Ada sebuah lebam di rahang Taufan dan.. beberapa bercak merah yang sedikit pudar di sekitar lehernya.
Kenapa dia sangat ketakutan? Apa yang terjadi padanya?
Tbc.
Aku akui, Sam adalah best villain. Karena apa? Semua kejahatannya bener-bener direncanain sedetail itu dan ga ada satupun yang melenceng.