don’t regret this.
i wont
— —
but i’ll say you’re the best
at the worst thing ever.
BENAR-BENAR ya. Wajah dengan mata yang terpejam itu menampakkan amarahnya sekarang, rambutnya yang berkibar, bertahan dari gempuran angin dan gravitasi. Mulutnya terbuka dan berteriak.
“RAVEN SIALANNNNN!!!!”
Perpustakaan.
Aku suka membaca—walau mempelajari hurufnya sangat susah, aku hampir menyerah—tapi tidak ada bacaan tentang sihir, hahaha. Jadi aku memilih membaca sejarah.
Sejarah itu amat menarik.
Menurutku, kenapa sesuatu yang tertulis di sejarah semuanya hampir tidak ada yang masuk akal? Tapi itu benar-benar terjadi. Walaupun meragukan, aku tak ada pilihan selain memilahnya lalu mempercayainya.
Aku tidak percaya semuanya. Orang-orang banyak melebih-lebihkan sesuatu yang biasa.
“...”
Mungkin masalah yang kuhadapi di setiap kota atau desa hanya satu.
Penampilanku. Kurasa.
Aku sering dikira setan, Raven aneh memang, dia membeli baju yang membuatku terlihat seperti penyihir sungguhan—sebuah jubah yang menyentuh tanah dengan lengan yang lebar dan panjang berwarna putih, mungkin dia memikirkan tanganku yang cacat, jika iya, dia cukup perhatian untuk itu—belum lagi wajahku dengan tanda lahir yang aneh begini, mana rambutku putih pula.
Aku sudah seperti hantu. Tidak ... Jangan jangan aku beneran bukan manusia. Karena tertulis bahwa banyak sekali ras yang tertera di buku. Ada Dwarf, Elf, dan Vampire, bahkan Mermaid. Yang benar saja.
Rambutku putih, dengan warna merah di ujungnya. Rambut yang aneh. Tapi aku tidak membencinya.
“Apa kau pakai topeng saja?” itu pertanyaan Raven suatu hari saat ada anak balita di gendongan ibunya tiba-tiba menangis setelah melihat wajahku.
“Tidak mau, aku suka wajahku,” jawabku datar. Terserah jika orang ketakutan, bukan salahku, aku tak peduli.
“... Kepercayaan diri macam apa itu.”
Penjaga Perpustakaan di kota ini juga—kami berpindah-pindah kota betewe, ini sangat seru.
Dia orang yang sinis. Menganggapku gelandangan—atau rendahan?
Wajar sih.
Yah, untung saja Raven berguna di saat-saat begini. Jika uang tidak mempan—dia punya cara lain—merayu orang dengan wajahnya. Mentang-mentang dia punya wajah ganteng.
Wakakakak—itu sangat konyol, pertama kali aku melihatnya, aku menoleh pada Kakak Roh Penjaga dengan tatapan “Hah!?”
Tapi Kakak Roh Penjaga itu hanya menggelengkan kepalanya dan mengangkatku menjauh—benar juga, ini urusan orang dewasa ya?
Lagipula aku tak tertarik melihatnya lebih lanjut.
Tapi aku senang itu bermanfaat. Berbanding terbalik dengan wajahku yang seperti abis ketiban setrika.
Setidaknya aku berguna untuk menakut-nakuti orang lain.
Orang-orang tidak suka melihatnya. Aneh ... Menurutku luka di wajahku ini—meski menurutku konyol, memang—tapi entah kenapa begitu berkesan.
Dan juga, Raven benar-benar mengajariku sihir. Dengan caranya sendiri yang ekstrim. Apa dia begini pada semua muridnya? Kasar.
Aku ini anak yang lemah padahal. Dia bahkan tidak bersikap baik.
“Ayo pulang. Sudah malam.”
“Nanti, masih seru,” sahut [Name] yang masih membolak-balikan halaman sebuah buku tebal.
Raven menurunkan alisnya. “... Bocah rese.” dia mengangkat [Name] dengan satu tangan. Anak itu sama sekali tak terganggu, masih dengan buku tebal di tangannya. Raven melangkahkan kaki menuruni tangga perpustakaan.
“Hei, Raven.”
“Apa?”
“Lihat ini,” [Name] menunjuk kertas pada buku. Raven dengan wajah lempengnya menjawab. “Aku tak bisa melihat.”
“.... Maaf.”
“Memang itu tentang apa?”
“Pantai pasir kuarsa.” [Name] menjawab, memegang bahu Raven lalu mendorong-dorongnya. “AYO KESANA, AYO AYO KESANA!”
“Ngapain?” Melewati Penjaga Perpustakaan, mereka sampai di luar bangunan. Berjalan di jalan setapak dengan pepohonan tanpa daun di sekitarnya. Gelap.
“Aku mau membakar pantainya.”
“Dimana lokasinya?”
“Timur, paling pinggiran, tempat yang hangat—”
“Tidak.”
“....”
“....”
“KENAPAAAAAAA!?”
“Itu jauh, membutuhkan perjalanan selama 2-3 bulan. Kita sedang ada di selatan. Kau ingat?” Raven membiarkan bocah tantrum itu berseru.
The ril ngasuh bokem.
[Name] tampak bete. Dia menariki rambut Raven. “....”
“Sebaiknya kau belajar terbang terlebih dahulu.”
“Jangan dibahas,” [Name] benar-benar kesal, dia menatap jalanan dibelakang yang gelap. “... Tidak semudah itu mengangkat diri sendiri.”
“Kau takut ketinggian?”
Nada suara yang tenang. Langkahnya mencapai di ujung cahaya. Tempat penginapan. [Name] menurunkan kelopak matanya. “Tidak. Tapi, hanya takut jatuh.”
Raven menolehkan kepalanya perlahan, dia tertawa.
“Berapa usiamu sekarang?”
“10, kenapa?”
“... Kalau begitu seharusnya kau sudah sedikit lebih besar, tapi kenapa rasanya kau tidak tambah tinggi?”
“MEMANGNYA KAU BISA LIHAT!?” amuk [Name] sambil menjambaki rambut Raven. Yang ditarik dengan pandangan kosongnya.
Yah, dia bisa sih, dengan meminjam mata Roh Penjaga tersebut.
Bocil defense : jambak rambut.
“Besok kau latihan belajar terbang.”
“Tidak mau. Mengerikan.”
“... Ha,” murid macam apa ini, yang ambis gurunya.
Terlepas dari segalanya, Raven mendidik [Name] dengan baik. Sihirnya jauh berkembang dibandingkan dulu—itu karena bakatnya besar. Yah, Raven tidak mengatakan apapun, dia hanya menyuruh [Name] berusaha mengendalikan sihirnya. Itu aja.
Dan itu butuh waktu 3 tahun hingga benar-benar berhasil. Sisanya hanya pengembangan kecil-kecilan. Belajar secara autodidak itu tak mudah.
Karena ini sejarah(?)
Manusia sebelumnya belum ada yang bisa menggunakan sihir. Secara alami.
Mungkin dia penyihir manusia pertama.
Ah, sebenarnya [Name] tidak memberitahu Raven tipe sihirnya, tapi karena terus melatihnya—atau tepatnya mengawasi—Raven menyimpulkan sendiri seperti apa tipe sihir [Name] tersebut.
Dan tepat sasaran.
Bayangkan saja ketika Raven menyimpulkan jawaban itu tepat di depan [Name]. Seketika anak itu mematahkan piring dihadapannya karena kesal.
‘Kan asiknya main rahasia. Raven ini gapernah muda atau gimana!?
Yah, begitu.
Dan ini sudah tiga pekan lebih.
Raven berjongkok dengan pedang yang tersampir. Wajahnya yang datar berbanding dengan tumpuan tangannya pada lutut. “... Hei, apa kau mau menyerah begitu saja?”
“... Aku akan belajar apapun selain terbang,” [Name] yang tepar dihadapannya tersengal-sengal. Berkeringat.
Menyerah.
“Kau ini sudah bisa menerbangkan bangunan, membikin angin ribut, bahkan orang lain, sekarang cobalah sihirmu pada dirimu sendiri.”
“Itu butuh konsentrasi yang tidak sederhana, tahu! Tidak ada yang bisa menguasainya dalam waktu singkat!” [Name] mengungkapkan kekesalannya. Membayangkan dia berkonsentrasi penuh pada dirinya sendiri sedangkan dia di ketinggian 600 kaki. Mustahil. Kakinya akan kejang-kejang duluan.
“Mungkin bisa, orang genius sepertimu, kau hanya tidak bersungguh-sungguh saja.” tepat sasaran, lagi-lagi. [Name] sudah terhujam panah fakta beberapa hari ini. Raven dengan wajahnya yang tanpa ekspresi itu sangat menyebalkan. Apalagi yang dia lontarkan jujur semua. Darimana dia belajar kata-kata itu sih?
[Name] tidak bersungguh-sungguh karena tidak tertarik untuk terbang.
Tangan [Name] terulur. Kali ini menjambak Raven sekali lagi.
“Cerewet.”
Raven menghela nafasnya. Cahaya matahari menelisik dibalik dedaunan—ini adalah hutan yang cukup hampa, ia berdiri sambil mengangkat [Name]. “Baiklah, ayo pergi.”
“Kemana?” [Name] dengan wajah loyonya bertanya tanpa mengharapkan jawaban.
“Pantai Pasir Kuarsa.”
“... Kau serius?!”
“....”
“Hei, Raven!”
Yah, Raven juga tidak akan menjawabnya. Tapi dia berjalan dengan tangkas diantara akar dan tanah. Gagak yang mengawasinya bertengger di ranting. Berkoak pelan.
“...” saat cahaya matahari kini sepenuhnya menyilaukan, [Name] membuka mata karena silau. Ia menolehkan kepalanya kedepan. Itu sebuah tebing. Tidak ada bayangan pohon yang melindungi mereka dari cahaya matahari sekarang.
Firasat buruk.
[Name] menatap kembali tebing tersebut, curam, angin bertiup kencang. Dengan danau dibawahnya, itu danau yang unik. Seperti di dunia raksasa, sementara mereka adalah liliput. Pohon cypress berdiri tegak dimana-mana. Menjulang melebihi tebing itu sendiri. Cukup jauh.
“Apa yang—”
“Jika kau tak bisa melakukannya dengan caramu, akan kubantu kau dengan caraku,” Raven memotong ucapan itu tanpa nada. [Name] memegang kerah Raven kuat-kuat—mengetahui apa yang akan pria berambut hitam ini lakukan. “HEI—”
“Ini adalah tiketmu untuk pergi ke belahan dunia manapun. Kau akan berterimakasih padaku.”
Cengkraman pada kerah punggung [Name] oleh Raven menguat, dia menjulurkan tangannya kedepan. Senyuman miringnya terlihat seolah-olah bisa melihat wajah pucat [Name]. “Jangan khawatir, [Name].”
“Aku akan menangkapmu diatas danau.”
“B, bagaimana kau akan menangkapku diatas daAAAAAAAA—” ucapan itu tersambung dengan teriakan.
Raven lebih dulu melempar [Name] dari tebing tersebut, begitu ringan, bahkan dengan senyuman andalannya. Tanpa merasa berdosa, dia berteriak.
“Sampai jumpa diatas danau!”
Tapi yang anak itu jawab hanyalah teriakan amarah yang menggema. “RAVEN SIALAAAAANNNNN!!!!!”
Tawa Raven terdengar.
Dengan langkah ringan, kaki pria tuna netra tersebut menapak pada ruangan kosong, tubuhnya meluncur pada cadas berpasir.
———✧: *✧・
tebak sihir nem. sechapter lagi dan kt hiat ampe manhwanya terbit.ea