"Kemarilah nak... Aku tidak akan melukaimu jika kau menurut."
Cassius menatap pintu sel yang terbuka dengan Grindelwald berdiri didepan sana sembari mengulurkan satu tangannya.
Cassius menatapnya dengan tatapan berusaha tenang, pikirannya masih penuh namun dia berusaha keras untuk menahan dirinya agar tidak kelihatan panik.
Tangannya yang sudab terlepas dari borgol itu ia usap beberapa kali, dia mengangguk, memperlihatkan wajah paling tenangnya sembari membungkuk untuk mengambil kunci dan rajutan burung hantu yang sudah tidak memiliki besi sebagai gantungannya.
"Apa itu?"
Cassius mendongkak sembari menyakukan kedua benda itu tanpa menarik tangannya keluar dari saku. Dia menatap Grindelwald sambil terbatuk kecil.
"Ini hanya pemberian seseorang."
"Ah... Barang yang kau gunakan untuk melepas borgol itu."
"Benar sekali... Sir?"
Cassius sedikit mendongkak untuk menatap pria yang lebih tua, pria itu lebih tinggi darinya dan sepertinya sepantaran dengan prof. Dumbledore yang juga lebih tinggi dari Cassius.
Pria itu tampak tersenyum sebelum akhirnya meraih bahu Cassius dan menuntunnya keluar dari sel penjara itu.
Berada didekat seorang penyihir gelap, begini rasanya eh? Cassius merasa dirinya bisa mati jika salah bertindak. Namun sedari tadi dia sudah menahan kekesalan dan rasa ingin marah.
Dia terdiam tiap kali Grindelwald berbicara dengannya mengenai kemampuan Cassius untuk melihat masa depan, pemuda itu mengepalkan tangannya pada kunci, dirinya menatap kearah Grindelwald dari samping.
Dia dirangkul, suara pria yang lebih tinggi itu tenang dan terdengar sangat berwibawa, Cassius sampai merinding, jika dia tidak mengetahui Grindelwald orang seperti apa, dia pasti akan langsung menganggapnya sebagai seorang panutan.
Namun panutan tidak ada yang seharusnya membunuh dan menyakiti manusia lain hanya karena mereka bukanlah penyihir.
Pria ini memiliki kekuatan, dia menggunakannya untuk meraih kekuatan yang lebih...
Ngomong-ngomong soal hal itu, entah kenapa dia jadi memikirkan tentang Tom...
Kepalanya berdenyut nyeri, Cassius baru sadar bahwa tubuhnya masih merasa kelelahan dan getara trauma akibat disiksa oleh mantra tidak termaafkan masih mempengaruhinya.
Dia menatap kesamping, mendongkakkan sedikit kepalanya untuk memperhatikan Grindelwald lagi.
"Kau hanya perlu mengikuti ku ke suatu tempat... Bersama-sama kita akan--"
Gerakan Cassius cepat, refleknya sebagai seorang beater tidak pernah gagal. Dia mengepal dan menggenggam erat kunci yang ia miliki itu dan mengarahkannya ke leher Grindelwald dengan sangat cepat.
Cassius tidak pernah gagal memukul bludger, namun apa artinya bludger jika yang ada didepannya sekarang adalah 2 orang penyihir gelap yang masih menjadi ketakutan banyak orang?
Cassius langsung bisa membaca nasibnya selanjutnya akan seperti apa.
"Petrificus totalus!"
Hah... Sialan! Jadi begini rasanya menjadi seorang squib seperti yang selalu ibunya beri umpatan tiap kali dia marah.
•~•
Tom tidak bisa tertidur, dia sudah merapalkan salah satu mantra sihir gelap untuk melacak keberadaan Cassius.
Dia tidak pernah mempedulikan seseorang, biasanya jam tidurnya pas dan teratur namun akhir-akhir ini dia merasa semuanya kacau dan tidak pada tempatnya.
Sudah dua minggu tidak ada tanda-tanda keberadaan Cassius akan ditemukan. Tom tidak bilang bahwa dia peduli, namun hal tersebut sedikit mengganggunya.
Hal yang membuatnya tidak senang adalah bagaimana Julius bisa melihat jelas kegundahannya mengingat Tom seperti ini karena ada hubungannya dengan Cassius.
"Kau belum sarapan Tom." Julius berkata sembari duduk disampingnya disalah satu bangku panjang di perpustakaan.
"Tidak lihat bahwa aku sedang sibuk?" Tom mendengus sembari membalik halaman buku.
Julius mengintip dan Tom bisa mendengar helaan napasnya ketika pemuda pureblood itu membaca mengenai apa yang tengah Tom baca.
Buku yang ia baca mencakup mantra-mantra kompleks yang berhubungan untuk menyabotase dan bepergian dengan cara yang tidak terdeteksi. Julius menatapnya dengan ekspresi tidak terkejut dan Tom mendelik kearahnha sambil menutup buku itu lumayan kencang.
"Kau tidak berpikir untuk melakukannya kan?" Julius mendengus.
"Bukan urusanmu Lestrange."
Ah... Dipanggil dengan nama belakang, sudah jelas Tom sedang dalam kondisi tidak ingin diganggu sekarang.
Namun pemuda slytherin itu sudah bertingkah seperti ini sejak Cassius menghilang, bahkan setelah dia menjadi Headboy. Dia jadi semakin tegas dan tidak memberikan ampun pada siapapun yang melanggar peraturan.
Julius jelas harus melakukan sesuatu, tidak ada Cassius berarti tidak ada orang yang menahan amarah Tom. Hal ini berbahaya bagi dirinya dan perkumpulan club 'belajar' mereka jika pemimpinnya sedang dalam keadaan seperti ini.
Edgar jelas tidak membantu, meskipun dia yang paling terlihat dekat dan sering sekali bertingkah seperti Cassius kedua bagi Tom, dia jelas tidak bisa menangani Tom seperti Cassius menanganinya.
Tom hanya sedikit tertarik berada didekatnya karena pemuda itu sama-sama memiliki rambut kecoklatan yang mirip dengan Cassius dan mata birunya juga!
Ditambah, kalau tidak salah Rosier juga memiliki keluarga yang berafiliasi dengan si penyihir gelap, karena itulah mungkin Tom tertarik dengannya.
"Para auror tengah mencarinya Tom, bibi dan pamanku juga sudah berusaha mencari. Cassius pasti akan ditemukan."
"Aku tidak mengerti apa maksudmu Julius, apa hubungannya Winston denganku?"
"Oh aku tau betul Tom... Tidak usah berbohong pada dirimu sendiri."
"Julius--"
"Riddle!"
Ucapan Tom terpotong ketika Damian Fawley tiba-tiba menyela dan muncul dihadapan mereka berdua.
Julius merutuk dalam hati, melihat ekspresi penuh motivasi si Fawley entah kenapa membuatnya berpikiran hal yang tidak-tidak.
Dia dengar dari orang-orang bahwa pemuda ini pernah membawa Cassius ke tempat Tom tinggal. Membayangkannya saja Julius merinding.
Hebat sekali Cassius bisa menyembunyikan hal itu dari bibi Reta.
Melihatnya disini sambil menatap Riddle dengan ekspresi semangat jadi membuat Julius merasa bahwa dirinya harus membawa Tom menjauh sebelum dia terhasut untuk melakukan hal nekat yang tidak diinginkan.
"Tom sebaiknya kita kembali--"
Tom mengangkat tangannya kearah Julius, menyuruhnya untuk diam sembari tatapannya fokus pada Fawley.
"Fawley, ada apa?"
"Aku punya sebuah rencana..."
Oh sialan.....!!!!
---
Cassius dilempar kedalam sel tahanan yang berbeda, dia bisa mencium bau pesing dan kotoran didalam sini. Pemuda itu dengan cepat berusaha bangkit meskipun tubuhnya bergetar hebat.
Perutnya merasa tidak enak, dia sudah menangis, berteriak dan muntah lagi setelah menerima hukuman dari wanita gila itu selama seharian penuh setelah percobaannya membunuh si penyihir gelap hanya dengan sebuah kunci.
Cassius menatap kesekitar, mendapati ruangan yang tampak sedikit diterangi oleh cahaya.
Cassius mendapati seseorang... Tidak! Dua orang? diujung sana Cassius bisa melihat seorang anak kecil... Laki-laki? Perempuan? Rambutnya pendek wajahnya kotor dan dia sangat kecil.
Disamping anak itu terdapat orang dewasa, rambutnya panjang... Menunduk diatas lutut yang dinaikkan didepan dada. Wanita? Dia tidak bergerak dan anak kecil disampingnya tampak menatap Cassius dengan ekspresi ketakutan, menarik-narik wanita disampingnya dengan suara tercekat.
Cassius melirik lagi kesekitar, menemukan diujung dekat dirinya terdapat sebuah ranjang kotor dan dinodai...? Apa itu?! Kotoran?
Cassius rasanya ingin kembali muntah, dia menjauh dari ranjang itu, merangkak cepat ke dekat jeruji sel untuk mendapatkan udara lain.
Dia tidak mendekati anak kecil yang kelihatan ketakutan itu. Dia menatap anak itu dengan ekspresi yang lelah, meskipun dirinya memiliki banyak pertanyaan sekaligus ketakutan, dia saat ini hanya berpikir untuk tidur.
Maka dari itu setelahnya dia menutup matanya.
---
Angin ribut seolah mengikuti apa yang terjadi, orang sekitar terdampak oleh hal tersebut.
Mantra demi mantra di lontarkan. Cuaca mendung dan semakin memperlihatkan bagaimana kuatnya mereka berdua.
Tidak ada yang akan melupakan hal ini. Semua orang akan tahu, semua orang akan bersorak penuh kemenangan atas kekalahannya.
---
Cassius terperanjat bangun dengan napas memburu, dia bersandar pada sel, namun dia mendapati seorang anak kecil duduk diatas pahanya dan tengah mencoba merogoh saku celananya.
Anak kecil tadi! Cassius segera menegakkan duduknya sembari meringis ketika anak kecil itu berhasil merogoh rajutan burung hantu dari sakunya yang masih ada disana.
"Hey!"
Anak itu segera bangkit dari atas paha Cassius dia langsung berlari kesudut ruangan dan mendekat pada wanita dewasa tadi yang ia lihat.
Cassius memperhatikan keduanya, dia bisa melihat wanita itu kini terbaring dilantai dengan anak itu yang duduk didekatnya sembari memainkan rajutan burung hantu milik Cassius dengan ekspresi yang tampaknya senang.
Cassius jadi merasa tidak tega untuk merebutnya kembali, dia ingin berbicara dan menanyakan sesuatu namun dia masih tidak memiliki tenaga untuk menerima kenyataan mengerikan lainnya.
Dia punya firasat tidak enak melihat kondisi anak dan wanita dewasa itu. Wanita itu sepertinya sedang tertidur, namun sejak Cassius tidur dan sekarang dia bangun lagi wanita itu masih belum bangun...
Cassius menghela napas sembari memijat pelipisnya sendiri. Dia sakit kepala, dan mimpinya semalam... Dia seketika teringat dengan Grindelwald.
Bukankah itu yang diinginkan Grindelwald? Apakah jika Cassius memberitahunya dia akan dibebaskan?
Cassius tidak bisa memprediksi itu, dia mungkin anak yang cengeng dan manja, tapi dia tidak akan seceroboh itu dengan langsung memberitahu Grindelwald karena dia ingin segera pulang.
Orang seperti Grindelwald tidak mungkin puas hanya dengan satu ramalan, bukankah begitu? Dan apa ini?! Kenapa pria itu menangkap Cassius padahal dia sendiri pernah mendengar berita bahwa Grindelwald sendiri adalah seorang seer.
Apakah kemampuan pria tua itu memang tidak cukup untuk memprediksi kematiannya sendiri?!
Cassius juga tidak yakin bahwa mimpinya itu memang mengenai kematian, yang dia tahu adalah bahwa dia memimpikan kekalahan seseorang.
Tentunya perang pasti masih berlanjut sampai waktu yang tidak dapat Cassius ketahui.
Sialan! Kemana ayah dan ibunya?! Cassius berada disini dalam keadaan yang menyedihkan. Seharusnya dia tidak terlalu gegabah dan terbawa emosi sampai-sampai memiliki niat untuk membunuh Grindelwald tanpa tongkat.
Langkah yang sangat tidak ravenclaw, jika saja Julius ada disini dia pasti akan mencibir dan menghinanya sebagai keturunan gryffindor.
Dan Tom pasti akan menertawakannya, oh lupakan Damian... Dia pasti akan mengacungkan jempol kearahnya dengan ekspresi puas.
Cassius menangkup wajahnya dan mulai menangis lagi. Cengeng sekali dia, sialan dia merindukan rumah! Dia ingin pulang!
Sudah berapa lama Cassius berada disini?! Semenjak sekolahnya masih liburan musim panas, dan Cassius yakin sepertinya dia sudah berada disini lumayan lama.
Menghabiskan banyak waktu di sel gelap dan paling bawah bangunan sialan ini, sempat bertemu langsung dengan si penyihir gelap itu sendiri sebelum kemudian dia malah bertindak bodoh dan dihukum oleh si wanita gila.
Berapa lama tepatnya dia berada disini? Seminggu? Dua minggu? Tiga minggu atau bahkan sebulan?
Cassius merindukan kasurnya, dia merindukan celotehan Damian yang tidak pernah berhenti, dia juga merindukan Julius meskipun sepupunya itu menyebalkan.
Dia merindukan pembelajaran Prof. Dumbledore mengenai transfigurasi dan ramuan Prof. Slughorn. Dia juga merindukan kejahilan Peeves meskipun hantu sialan itu selalu membuatnya kesulitan.
Ayah dan ibunya juga... Apa yang mereka lakukan?! Kemana mereka sebenarnya! Apakah ayahnya tahu bahwa Cassius adalah seorang seer? Apakah ayahnya tau bahwa kakek Cassius adalah mantan Acolytes milik Grindelwald?
The Alliance sekumpulan orang yang mengikuti Grindelwald dan mendukung aksinya untuk menjadikan para muggle budak.
Cassius merasakan kepalanya semakin berdenyut sakit, dia meringis dan menangis sedikit lebih kencang sampai bahunya bergetar hebat.
Cassius tidak pernah berada dalam keadaan seperti ini, semua percobaan neneknya bahkan tidak mendekati hal separah ini. Tidak pernah terpikir olehnya sekalipun bahwa dia akan berada dalam keadaan dimana dia di siksa dengan unforgivable curse secara terus menerus.
"Ssshhh shhh...! Don't cry...!"
Cassius terperanjat mendengar bisikan dan sebuah usapan pada lengannya. Pemuda itu mendongkak dengan mata sedikit buram karena air mata, mengusap air matanya dengan lengan bajunya yang kotor dan menemukan anak kecil tadi tampak duduk disampingnya sembari menyodorkan rajutan burung hantu tadi.
"Menangis.... Karena dicuri...?? Mr... Tidak boleh...! Maier... Maaff! Kembalikan..."
Cassius menatap anak itu dengan tatapan terkejut. Maier, nama marga orang jerman yang Cassius ketahui dan bahasa inggrisnya terdengar tidak terlalu lancar, mungkin karena anak ini masih muda.
Dia kelihatan baru berusia 6 tahun, dia kecil sekali sampai Cassius tidak yakin anak itu sebenarnya dapat berbicara.
"Aku menangis bukan karena itu, bocah...!" Cassius mendengus kecil disela isakan cengengnya.
Bocah itu tampak merengut, dia menarik kembali rajutan tersebut dan memeluknya didepan dadanya, seperti hal itu adalah mainan yang sangat berharga padahal itu hanyalah rajutan kecil yang bahkan seharusnya tidak terlalu menarik jika saja bukan karena Tom yang merajutnya.
"Mr... Mr baik... Tidak memukul ku, ibu tidak dipukul juga... Mr menangis.... Aku bantu!"
Anak itu menatap Cassius dengan manik coklat kelam yang menatapnya penuh semangat.
Cassius merasakan hatinya serasa diremas keras
"Kau sering dipukul eh...? Berapa lama kau berada disini?" Cassius bertanya.
Tangannya secara reflek meraih kearah anak itu yang sedikit merengut dan menjauh was-was, Cassius terhenti sebelum dengan hati-hati mengelus rambutnya yang kotor dan berminyak.
"Berapa lama...? Uh... Mummy dan aku... merayakan ulang tahun Dad...! Tapi banyak orang menangkap dan menerobos!"
"Penyihir?"
"The likes of mum! They bring wands and lots of explosion...!"
Cassius menatap anak itu dengan terkejut, ibunya seorang penyihir eh? Kalau begitu...
"Apakah mummy membawa tongkatnya sekarang?"
"Mummy bilang aku tidak boleh memberitahu...! Mereka membawa yang satu, tapi mummy membawa satu lagi... Sudah rusak!" Anak itu menatap Cassius sebelum pada akhirnya menutup mulutnya seolah-olah dua baru saja mengatakan hal yang seharusnya tidak dia katakan.
"Jadi dia membawa tongkat kan?" Cassius memastikan lagi.
"Listen kid... Aku tidak akan mengapa-apakanmu dan ibumu, kita hanya perlu keluar dari sini kau, aku dan ibumu bisa bebas!" Cassius mengucapkan itu.
Sebuah tatapan terkejut tampak tercipta dari wajah anak itu Maier menatap Cassius dengan skeptis.
"Dad never allow mum to use wand in our home."
"This is not your home, he isn't here." Cassius mencengkram bahu anak itu pelan. Dalam hal ini dia dapat simpulkan bahwa anak itu mungkin seorang halfblood.
Atau mungkin muggleborn? Ibunya bisa saja muggleborn juga, itulah mengapa dia berada di penjara ini sebagai tahanan Grindelwald.
"M-mum tidak bangun... D-dia selalu menyimpan tongkat di..."
Anak itu mengusap dadanya sendiri seolah menunjukan pada Cassius dimana letak sang ibu menyimpan tongkatnya.
Cassius merasa tidak nyaman, dia menatap anak itu dengan ekspresi tidak percaya.
"Huh...? Kenapa disana?!"
"Guards! Mum tidak boleh ketahuan jadi disembunyikan... Mereka selalu datang... Menarik rok mum turun dan melakukan sesuatu--"
Cassius menutup mulut anak itu, dia bisa merasakan matanya kembali basah dan berkaca-kaca. Sial dia tahu apa yang ingin anak itu katakan. Dia benci hal ini.
Orang jahat, Grindelwald mungkin bukanlah seorang pemerkosa, tapi dibawahnya ada banyak pengikut dengan berbagai macam karakter. Tentu saja! Apalagi didalam sebuah penjara seperti ini....
"A-apa ibumu masih tertidur?" Cassius bertanya sembari menahan air matanya, dia merasa iba, dia merasa takut dan marah.
Dia menatap anak kecil didepannya dengan penglihatan yang buram karena matanya berkaca-kaca.
"Ibu tidak bangun-bangun, kemarin dia makan dan tidur..."
"Dia tidak bangun sejak kemarin?"
Cassius bertanya dengan hati-hati. Anak itu tampak mengangguk dan Cassius bisa merasakan dadanya sakit lagi. Perutnya juga bergejolak tidak enak.
"Kita harus coba membangunkannya..."
Cassius berkata dengan suara pelan, pemuda itu membiarkan Maier menuntunnya.
---
Wanita itu mati. Maier menganggap ibunya tertidur dengan nyenyak namun Cassius bisa melihatnya dengan jelas.
Mayat wanita itu dingin, kedua matanya sedikit terbuka dan bibirnya tampak pucat, terbuka sedikit dengan sebuah aliran liur yang keluar membasahi lantai.
Cassius dapat melihat lebam di lehernya, bajunya yang sedikit tersingkap juga memamerkan memar yang terlihat di pinggang wanita itu, ada luka cakaran juga yang terlihat dalam dan memanjang.
Bau wanita itu tidak sedap, mungkin disini menjadi satu-satunya tempat dia dan anaknya buang air dan buang air besar pula.
Mereka tidak dibersihkan? Mungkin wanita ini mati karena infeksi atau penyakit. Jika anaknya tetap berada disini, dia juga lama-kelamaan akan mati.
Cassius meraih kedepan.
"I'm sorry... I'm so sorry ma'am..."
Cassius mengatakan hal itu sembari menangis, dia membuka kancing baju wanita itu sedikit, menemukan tongkat yang tampak sedikit patah berada diantara belahan payudaranya.
Cassius menutup matanya sedikit, dia menarik tongkat itu sebelum akhirnya kembali menutupi dada wanita itu.
Cassius menangis, dia mengambil tongkat itu. Dia ingin mengumpat dan mengeluh namun ada anak kecil yang akan menjadi tanggung jawabnya sekarang...
Anak disampingnya menatap Cassius dengan ekspresi tidak senang.
"Mum tidak akan senang... Pinjam harus dikembalikan Mr..."
"Yeah... Aku tahu Maier, ibumu tidak akan membutuhkannya untuk sementara waktu." Cassius tersenyum kecil berusaha terlihat tegar ketika dia melihat kearah Maier yang menatapnya dengan tatapan polosnya itu.
"Mum ikut?"
Maier bertanya, dia berdiri mengikuti Cassius yang juga berdiri untuk berjalan kearah ranjang kotor disana. Pemuda itu memantrai ranjang itu dengan mantra pembersih.
"Nah... Ibumu harus beristirahat panjang Maier... Kau akan ikut denganku kan? Ayo kita keluar dari sini..." Cassius tersenyum sembari merapikan selimut putih diatas ranjang itu setelah memberikan mantra pembersih.
Tongkat ini sulit digunakan, bagian tengahnya yang sedikit patah pastinya hal itu mempengaruhi performanya. Cassius menarik napasnya sembari mulai merapalkan mantra
Dia sengaja membersihkan seisi sel dan wanita itu, masih dengan air mata yang kadang menetes.
Maier menatapnya dengan penuh kekaguman, Cassius bersyukur anak sekecil itu masih memiliki kepolosannya. Melihat bahwa anak ini sepertinya adalah laki-laki, kemungkinan dia juga tidak akan disentuh oleh para penjaga biadab itu.
Cassius menyakukan tongkat itu sebelum dia berjalan kearah mayat wanita yang tidak ia ketahui namanya itu.
Dia mengangkat tubuh wanita itu, mengabaikan bau yang keluar dari tubuhnya dan memindahkannya keatas kasur. Menyelimutinya dengan layak sebelum akhirnya dia berdiri disamping ranjang itu sembari berdoa.
Dia tidak tahu dia berdoa pada siapa, merlin? Tuhan para muggle? Yang ia tahu dirinya berdoa agar wanita ini mati dengan keadaan yang damai.
"Maaf tidak bisa menguburkanmu dengan layak Mrs..." Cassius berbisik.
Dia ingin menangis lagi, ingin berteriak dan menghajar siapapun yang telah melakukan ini namun tida terlalu lelah.
3 minggu(?) Dia berada disini, disiksa tanpa alasan dijadikan sandera tanpa dasar, dan selanjutnya dia pasti akan dijadikan alat jika dia telah terbukti dapat meramal.
Sialan. Cassius ingin pulang!
Dia menatap Maier sebelum tersenyum, mengulurkan satu tangannya pada anak itu.
"Ayo kita pergi Maier."
"Mum...?"
"Mum is asleep... Kita akan kembali setelah kita pergi..."
Tentu saja itu adalah sebuah kebohongan, Cassius bisa merasakan jantungnya berdebar kencang dan sakit. Dia tidak tega jika harus mengatakannya pada Maier.
Ibunya mungkin tidak selamat, tapi setidaknya biarkan Cassius menyelamatkan anak ini bukan??
Dia meraih tangan Maier. Bocah itu masih memeluk rajutan burung hantu ditangannya yang lain saat dia meraih tangan Cassius.
Anak itu mengikutinya ketika Cassius mengacungkan tongkat kearah sel dan merapalkan mantra.
"Alohamora..."
•~•
Bruk!!
"FUCK!"
"Merlin's beard! Kakiku! Sialan Lestrange menyingkir dari kakikku!"
"Potter?! Apa yang kau lakukan disini!?"
Tom merengut ketika dia terjatuh dengan tidak elitnya diatas rerumputan.
Dia menatap kebelakang dimana Fawley yang kakinya tengah ditindih oleh Julius sdan tampak mengeluh sakit. Sementara itu disisi lain, Fleamont Potter tampak terbaring didekat sapu terbang milik sekolah yang dia jadikan portkey.
Mereka mendarat di pinggir tebing, tempat ini tinggi dan curam, namun Tom langsung bisa melihat sebuah bangunan tinggi yang berjarak tidak jauh dari tebing tinggi itu.
Nurmengard... Tempat ini yang seharusnya lara auror dan Mr. serta Mrs. Winston cari! Tom sudah mengetahuinya dari awal.
"Potter!? Sialan?! Kau menarik jubahku tadi apa kau bodoh? Kalau mau mati setidaknya jangan jadikan aku alasan kematianmu!" Julius menggertak kesal dan bangkit dari posisinya untuk membersihkan dirinya dari tanah.
Fawley sendiri tampak bangkit dengan ekspresi kesal, sementara itu Fleamont Potter menatap kesekitar dengan ekspresi tidak percaya.
Dia berdiri kemudian berjalan cepat kearah Tom untuk menarik kerah jubahnya. Tom sedikit mendongkak untuk menatap pemuda yang sepantaran dengannya itu.
"Sialan! Riddle?! Sudah kuduga kau memang merencanakan sesuatu! Sejak Hagrid dikeluarkan dan semenjak Winston menghilang! Pasti kau ada hubungannya dengan kedua masalah itu! Karena itulah aku mengikutimu kemana-mana dan lihat dimana kita sekarang?!"
"Potter bisakah kau diam?! Kau itu tidak diajak kenapa kau bisa ada disini!" Fawley terdengar frustasi dan menjauhkan Potter dari Tom.
Tom sendiri masih kelihatan kesal, dia tidak merencanakan keikutsertaan Potter disana.
Lagipula siapa yang akan kira jika Potter tiba-tiba muncul ketika mereka bertiga tengah mengelilingi portkey dihalaman luar Hogwarts?!
Mereka tidak melihat ada orang yang mengikuti mereka dari belakang, namun Potter tiba-tiba saja muncul dengan sebuah jubah silver yang menyembunyikan tubuhnya.
Tom kira apa yang dimiliki Potter hanyalah bualan atau karangan orang-orang yang menyukainya semata, namun sepertinya dugaannya itu salah...
Tom menatap bagaimana ketiga orang yang ia bawa kesini tampak saling berteriak dan menuduh satu sama lain, rasanya ingin Tom bunuh satu persatu jika saja mereka tidak berguna untuk menemukan Cassius.
Pemuda itu melirik kebawah dan menemukan jubah silver milik Potter tergeletak disana.
"Potter... Karena kau sudah repot-repot ikut kesini, aku tidak punya pilihan lain selain menggunakanmu."
Potter mengangkat alisnya heran.
Fawley dan Julius saling menatap tidak mengerti.
"Apa maksudmu Tom?" Julius bertanya.
Tom hanya menatap mereka dengan tatapan datar sebelum akhirnya dia meraih jubah milik Potter dari tanah dan menyampirkannya pada bahunya. Membuat hanya kepalanya saja yang terlihat.
"Hawa keberadaanmu tidak terasa dan kau sepenuhnya tidak terlihat dengan jubah ini... Kita bisa menggunakannya untuk menyusup..."
"Brilliant Riddle!" Fawley berdecak sembari berjalan mendekat kearahnya.
Potter sendiri tampak bingung, namun ketika dia melihat lagi kearah Riddle, dia seketika merinding menyadari apa yang Riddle maksud.
"Kau tidak bermaksud-" ucapan Potter terpotong oleh Tom
"Oh Potter... Bukankah kau selalu mencurigaiku? Pastinya kau bisa menebak apa tujuanku..."
Potter tampak pucat dan Tom menyeringai puas. Biarkan saja... Lagipula siapa yang menyuruhnya untuk menguntit Tom dengan jubah ini? Tom tidak pernah menyadarinya, dia memang merasa dirinya di perhatikan, namun dia tidak pernah bisa menebak itu apa atau siapa karena jubah sialan ini.
Yah... Meskipun Potter memang lancang, tapi setidaknya sekarang dia berguna.
Tom menatap bangunan menjulang tinggi yang terlihat agak kecil dari sini. Dia memang membuat portkey itu agar tidak mendarat langsung didekat Nurmengard karena dia tahu pasti akan ada semacam mantra disana yang membuat mereka terdeteksi.
'Winston kau berhutang nyawa padaku.'
Julius menatap teman seasramanya itu, dia pikir Tom terlihat seperti lega...? Atau mungkin mengantisipasi?
Intinya dia dapat melihat bahwa Tom sudah tidak sabar.
Sebegitu berharganya Cassius baginya eh? Julius masih tidak habis fikir.
To be continued.
Otw menyelamatkan ayank (mantan)
Mantan ko peduli sie, dsr tdk bisa mupon y bocah slytherin ini
Mana jalannya jalan gryffindor banget lagi. Nekat🗿, tpi Tom tentuny kesana dengan persiapan lah ya gak kaya fleamont yg ucuk2 datang, join sirkel tbtb (baca: nemplok ke julius) dan malah berakhir kebawa2 padahal tdk taw apa-apa.
Niat ingin menguntit dan menuduh Riddle malah terbawa dalam misi bundir.
Fleamont: paham! 😮💨✋