Udara malam semakin dipenuhi aroma bensin yang menyengat, bercampur dengan asap tipis dari knalpot yang masih panas. Suara mesin mulai mereda, digantikan oleh sorakan dari penonton yang masih terpukau oleh hasil balapan.
Lampu-lampu neon yang redup memantulkan cahaya di atas aspal yang hangat, dan di garis akhir, Kai turun dari motornya dengan santai.
Lelaki itu baru saja mengalahkan tiga orang dalam satu putaran, dan salah satunya adalah Asher—–sesuatu yang jarang terjadi.
Namun, euforia kemenangan itu tidak bertahan lama.
Salah satu dari mereka, seorang lelaki bertubuh besar dengan jaket kulit hitam yang terlihat lusuh.
Dante.
Lelaki itu membanting visor helmnya ke tanah dengan kasar. Napasnya memburu, dadanya naik turun dengan geram. Di sampingnya, rekannya—Jeffery—juga menatap tajam ke arah pemenang balapan dengan ekspresi tidak senang.
"Ini kecurangan," desis Dante, suaranya rendah tapi penuh dengan amarah yang ditahan, cukup tajam untuk menembus kebisingan di sekitar mereka.
Kai, yang baru saja turun dari motornya, mengibaskan rambutnya ke belakang dengan santai. Ia masih melepas sarung tangannya, menoleh dengan ekspresi santai, menaikkan sebelah alis, seakan belum benar-benar menangkap kemarahan di depan matanya.
Ekspresinya seakan mengatakan serius, ini lagi?
"Oh? Kecurangan bagaimana?" tanyanya, nada suaranya ringan, nyaris main-main..
Dante melangkah mendekat, rahangnya mengeras. "Tidak mungkin kau bisa menang secepat itu. Pasti ada trik kotor. Kau pikir aku tidak tahu, kalian selalu melakukan itu?" desisnya tajam.
Kai tertawa kecil. "Atau," katanya dengan nada penuh ejekan, "aku hanya lebih baik dari kalian."
Sorakan dari beberapa penonton masih terdengar, memperburuk suasana. Lelaki itu merengut, tinjunya mengepal di sisi tubuhnya.
Jeff melangkah maju, suaranya tajam. "Jangan sok suci, Kai. Aku melihatnya sendiri. Kau menutup jalur kami dengan sengaja. Itu licik."
Kai mendengus, lalu melirik sekilas ke samping, ke arah seseorang yang belum berbicara sejak tadi.
Asher.
Lelaki itu turun motornya, tangannya dimasukkan ke dalam saku jaket, wajahnya tidak menunjukkan emosi sedikit pun. Tapi ada sesuatu dalam tatapannya. Sesuatu yang dingin, dan menusuk lebih tajam daripada kata-kata yang akan keluar dari mulutnya.
Dan saat Asher akhirnya berbicara, suaranya tenang.
"Kau masih selalu seperti ini, ya? Suka menangis karena kalah?"
Dante menegang, rahangnya mengatup keras.
Asher menatapnya dengan ekspresi datar, tapi ada kejengahan yang jelas dalam nada suaranya. Ia sudah terlalu sering melihat ini—–setiap kali Dante kalah, selalu ada alasan, selalu ada tuduhan kecurangan, selalu ada kemarahan yang meledak tanpa dasar.
Dan jujur saja, Asher sudah muak.
Lelaki itu melangkah maju, matanya menatap lurus ke arah pria itu. "Dari dulu pun selalu seperti ini. Kalau menang, kau sombong setengah mati. Tapi kalau kalah?" Asher memiringkan kepalanya sedikit, tatapannya seperti menilai sesuatu yang menjijikkan. "Kau selalu merengek, mencari alasan."
Dante membuka mulutnya untuk membalas, tapi Asher tidak memberi kesempatan.
"Padahal masalahnya sederhana," lanjutnya, suaranya tetap datar, tapi tajam seperti pisau yang menusuk tepat di titik lemah. "Kau tidak cukup cepat."
Terdengar suara beberapa orang menahan tawa di belakang mereka.
Jeff mengepalkan tinjunya. "Brengsek, Asher, kau—–"
Asher menatap Dante dengan ekspresi kosong. "Tidak ada yang menutup jalurmu, Dante," katanya. "Kami hanya lebih tahu cara membaca lintasan. Kau yang terlalu lambat. Tikungan pertama? Kau kehilangan keseimbangan. Tikungan kedua? Kau masuk terlalu dalam dan malah kehilangan kecepatan. Dan setelah itu?" Asher mendengus kecil. "Tidak ada yang bisa menyelamatkanmu."
Dante benar-benar merah padam sekarang. Rahangnya mengatup rapat, otot di lehernya menegang, dan napasnya semakin berat.
Jeff mencibir. "Omong kosong! Aku melihatnya sendiri—–Kai menutup jalur kami secara tidak fair!"
Asher tidak langsung menjawab. Sebaliknya, ia menatap mereka sebentar. Tatapan dingin yang membuat udara di sekitar mereka terasa lebih berat.
Kemudian, dengan ketenangan yang nyaris provokatif, Asher menghela napas kecil, seolah kebodohan yang baru saja ia dengar terlalu melelahkan untuk ditanggapi.
"Menutup jalur?" ulangnya, suaranya masih tenang. "Kau ingin balapan di lintasan terbuka lebar seperti jalan tol?"
Kai tertawa pendek, menikmati arah pembicaraan ini.
"Balapan seperti ini bukan hanya soal siapa yang lebih cepat di trek lurus," lanjut Asher. "Kalau kau hanya bisa mengandalkan gas penuh tanpa membaca jalur, maka seharusnya kau tidak ada di sini."
Kali ini, Kai ikut menyela.
"Jangan salahkan kami hanya karena kemampuan kalian payah," katanya, suaranya terdengar seperti seseorang yang sedang berusaha keras menahan tawa. "Kalau kalian tidak bisa menerima kenyataan, mungkin lebih baik kalian berhenti balapan dan coba hal lain. Mungkin... main sepeda roda tiga?"
Beberapa orang di sekitar mereka tertawa mendengar itu. Semakin membuat suasana menjadi semakin panas.
Dante menggeram. Rahangnya semakin mengeras, matanya berkilat dengan kebencian yang kian dalam. Tangannya mencengkeram sisi jaketnya dengan kaku, seolah berusaha keras menahan dirinya sendiri agar tidak meledak saat itu juga.
Dadanya naik turun dengan napas kasar, setiap ejekan yang keluar dari mulut Asher dan Kai hanya menambah panas dalam dirinya. Ia bisa merasakan darahnya berdesir dengan kecepatan yang sama sekali tidak ia inginkan.
Jari-jarinya mengepal dan mengendur berulang kali, ketegangan di seluruh tubuhnya begitu kentara. Ia menggigit pipi bagian dalamnya, berusaha meredam ledakan emosi yang hampir tak terkendali.
Tapi setiap detik yang berlalu, setiap tatapan meremehkan dari Asher, setiap tawa sialan dari Kai—semuanya seperti menambahkan bahan bakar ke dalam api yang sudah membakar dadanya.
Kai melipat tangannya di depan dada. "Jujur saja, aku kasihan pada kalian," katanya, nada suaranya hampir terdengar tulus—hampir. "Maksudku, sudah kalah, masih cari alasan? Itu menyedihkan."
Asher terkekeh, menikmati bagaimana lawannya semakin terpojok.
Jeff melangkah lebih dekat, rahangnya menegang. "Jaga bicaramu, brengsek."
Asher akhirnya menoleh langsung ke arahnya. Tatapannya dingin, nyaris malas, seolah lelaki itu bahkan tidak pantas mendapatkan kemarahannya.
"Atau apa?" tanyanya, suaranya masih setenang sebelumnya. "Kau akan menangis?"
Dante akhirnya tidak bisa menahan diri lagi.
Tinjunya melayang, cepat dan penuh amarah, tanpa teknik, hanya dorongan dari harga diri yang terluka. Tapi Kai sudah menduganya. Dengan satu langkah ke samping, ia menghindar dengan mudah, membuat Dante kehilangan keseimbangan sesaat.
"Asal menyerang tanpa pikir panjang?" Kai menoleh ke Asher sejenak dengan seringai kecil. "Dia tidak belajar apa pun dari balapan barusan."
Asher masih berdiri di tempatnya, ekspresinya tidak berubah. Datar, tenang, tapi matanya tetap mengunci Dante seolah sedang menunggu sesuatu.
Kai menghela napas, masih dengan ekspresi malas. "Jadi begini cara kalian menghadapi kekalahan?"
Asher menggeleng pelan, ingin segera berbalik dan pergi. "Kalah di lintasan, dan sekarang mencoba peruntungan di sini? Apa kau akan menangis lagi jika gagal juga?"
Dan saat itu, keadaan benar-benar pecah.
Lelaki-lelaki dari pihak Dante langsung menyerbu, mendorong dan menghantam siapa pun yang ada di depan mereka. Beberapa orang dari pihak Kai dan Asher juga tidak tinggal diam—–mereka ikut masuk ke dalam perkelahian.
Teriakan dan umpatan meledak di udara, bercampur dengan suara pukulan yang menghantam daging dan tulang. Tubuh-tubuh saling berbenturan, beberapa orang terjatuh, sementara yang lain terus bertarung dengan brutal. Dalam sekejap, tempat itu berubah menjadi medan baku hantam yang kacau.
Galen menarik lengan bajunya ke atas, lalu tanpa ragu, langsung melayangkan pukulan keras ke rahang salah satu anak buah Dante yang mencoba menyergap Kai. Dentuman tinjunya menggema di tengah lintasan yang kini berubah menjadi arena perkelahian penuh. Tubuh lawannya terpelanting ke belakang, menabrak seorang lainnya, sebelum jatuh tersungkur di atas aspal yang dingin.
Di antara kekacauan itu, Ren berdiri membeku.
"Sean...?" suaranya nyaris tak terdengar di tengah hiruk-pikuk pertarungan.
Gadis itu ingin bergerak, ingin mendekat, tapi sebelum langkahnya maju, Sean sudah menaruh tangan di bahunya, mendorongnya sedikit ke belakang.
"Diam di sini, Ren," kata Sean tegas. "Jangan mendekat. Ini bisa berbahaya."
Jantung Ren berdegup kencang. Ia ingin menolak, ingin berkata bahwa ia tidak bisa hanya diam saat semua orang bertarung di depannya. Tapi sebelum sempat berbicara, sebuah pukulan melayang dekat kepalanya, nyaris mengenai Sean yang buru-buru menghindar.
"Ren, lari dan tunggu kami di tempat yang aman!"
Gadis itu tidak bisa menjawab. Sean sudah melepas pegangannya dan bergegas kembali ke tengah perkelahian.
Dan dalam satu detik yang kacau, tubuh Ren terdorong keras dari belakang.
Jantungnya seperti berhenti berdetak.
Tubuhnya terhuyung, kehilangan keseimbangan, tangannya mencakar udara mencari pegangan—–tapi tidak ada. Pandangannya berputar, tubuhnya limbung, napasnya tersengal. Detik berikutnya, ia sadar bahwa dirinya berada di tengah lingkaran perkelahian.
Panik menyerang Ren begitu saja.
"Asher..." bisiknya, napasnya memburu.
Asher dikeroyok dari berbagai arah, tetapi ekspresinya tetap dingin. Ia menangkis pukulan, menghindar, dan membalas dengan serangan brutal. Namun, jumlah lawan terlalu banyak.
Tangan Ren gemetar. Ingin kabur, tapi tubuhnya terasa berat, seolah-olah kakinya tertanam di aspal. Dadanya sesak. Suara pukulan, teriakan, dan umpatan bergema di sekelilingnya, menusuk telinganya seperti jarum tajam.
Sesuatu menghantam bahunya. Kemudian pinggangnya. Lalu punggungnya.
Pukulan-pukulan tak bertuan itu membuatnya tersentak dan meringis kesakitan.
Dan di saat yang sama...
Dante.
Pemuda itu terhuyung ke belakang setelah menerima serangan telak dari Asher. Napasnya terengah, tetapi matanya memancarkan sesuatu yang berbahaya. Alih-alih kembali menyerang, matanya berkilat licik saat melihat Ren yang berdiri sendirian.
Dante mengusap darah di sudut bibirnya, lalu menoleh ke arahnya. Tatapannya pada Ren seperti pisau yang siap menyayat.
Jantung Ren seolah diremas.
Tidak, tidak, tidak...
Terlambat.
Dante melesat ke arahnya.
Gadis itu mencoba mundur, tapi jemari Dante sudah lebih dulu mencengkeram lengannya. Kuat, kasar, dingin seperti baja yang membakar kulitnya.
"Asher, lihat ini," Dante berucap, suaranya penuh ejekan. Lelaki licik itu menyeringai kejam, matanya penuh kelicikan. Napasnya kasar, darah mengalir dari sudut bibirnya, tapi ia tak peduli.
Karena Dante sudah menemukan titik lemah Asher yang bisa ia hancurkan.
Ren menahan napas. Tubuhnya menegang, perutnya melilit seperti dipelintir dari dalam. Ia mencoba menarik dirinya, mencoba memberontak, tapi cengkeraman Dante begitu kuat, jemarinya mencengkeram seperti borgol baja di kulitnya.
Suara Dante menggema, tapi Asher nyaris tidak mendengarnya. Matanya membelalak saat melihat Ren dalam cengkeraman lelaki itu.
Tidak.
Dunia seperti berhenti sejenak. Napasnya tercekat, dadanya mencengkeram rasa tidak percaya.
"Asher..." suara Ren pecah, putus asa.
Dan di detik itu, Asher tidak berpikir lagi.
Asher menerjang, matanya membara. "Jangan sentuh dia!"
Tapi sebelum Asher sempat bergerak, dua anak buah Dante langsung menjegalnya. Cengkeraman kuat menarik tubuhnya ke belakang, membuatnya tersentak dan kehilangan keseimbangan. Asher langsung meronta, mencoba melepaskan diri tapi tetap.
Itu tidak cukup cepat saat...
"Asher, lihat baik-baik, aku harap kau menikmati ini."
Semuanya terjadi dalam sekejap.
Tanpa aba-aba, tinju Dante melayang.
Menghantam Ren.
Dunia meledak dalam kepingan cahaya putih.
Rasa sakit itu datang lebih cepat dari yang bisa Ren cerna.
Tubuh mungilnya terdorong ke belakang akibat benturan keras di pipinya. Udara seperti tersedot dari paru-parunya. Dunia berputar dalam sepersekian detik sebelum punggungnya menghantam tanah.
Darah mengalir di sudut bibirnya. Napasnya tersengal.
Telinganya berdenging.
Semuanya kabur.
Matanya nanar, berkedip cepat, berusaha mencari fokus, berusaha memahami apa yang baru saja terjadi.
Ren mencoba menarik napas, tapi rasanya seperti menelan pisau. Rasa perih yangg menyebar dari pipinya, terasa berdenyut-denyut seperti bara yang membakar kulitnya.
Dan saat itulah semuanya berhenti.
Asher melihatnya.
Melihat Ren tersungkur, tangan kecilnya gemetar saat mencoba menyangga tubuhnya. Melihat wajahnya tertunduk, helaian rambutnya berantakan, dan... hal yang paling membuat dadanya membakar dengan cara yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
Melihat darah itu.
Darah Ren.
Darah seseorang yang seharusnya tidak tersentuh oleh kekerasan ini.
Dan saat itu terjadi—–
Asher kehilangan kendali.
Matanya melebar, bukan sekadar amarah, tapi sesuatu yang lebih dalam.
Lebih liar.
Lebih berbahaya.
Yang ada hanya suara napasnya yang berat, suara darah yang berdegup kencang di telinganya, dan gambar Dante yang berdiri di sana dengan senyum brengseknya.
Jantung Asher menghantam tulang rusuknya.
Sean sudah berlari ke arah Ren, berlutut di samping gadis itu, tangannya memeriksa luka di wajahnya dengan ekspresi khawatir.
Tapi Asher tidak bisa fokus ke sana.
Yang ia lihat hanya Dante.
Bajingan sialan itu.
Tubuhnya bergerak sebelum pikirannya sempat memproses apa yang terjadi. Asher menerjang dengan kekuatan penuh. Satu gerakan brutal melepaskannya dari cengkeraman lawan, tubuhnya melesat bagaikan bayangan yang berbahaya. Mata tajamnya hanya tertuju pada satu orang.
Dante.
Tendangan pertama menghantam perut Dante begitu keras hingga pemuda itu terhempas ke belakang, jatuh terbatuk-batuk sambil memegangi perutnya.
Tapi Asher tidak berhenti.
Tidak akan.
Dengan kecepatan brutal, Asher sudah berada di atas Dante, menarik kerah bajunya, lalu menghantamkan pukulan ke wajahnya.
Sekali. Dua kali. Tiga kali.
"Asher!" Kai berseru, tapi Asher tidak mendengar apa-apa lagi.
Lelaki itu menghantam Dante lagi, kali ini lebih keras. Buku jarinya sudah berdarah, tapi ia tidak peduli. Ia ingin menghancurkan wajah bajingan ini, ingin membuatnya merasakan sakit yang lebih dalam daripada sekadar luka luar.
Asher mencengkeram kerah Dante sebelum pria itu bisa jatuh, lalu menariknya kembali hanya untuk menghajarnya lebih keras.
Dante terbatuk, darah bercampur ludah mengalir dari bibirnya.
"H-heh..." Lelaki itu mencoba tertawa, meskipun suaranya nyaris tidak terdengar. "Lihat dirimu sekarang, Asher... kau pikir kau lebih baik dari kami? Kau juga sama gilanya...."
Tiba-tiba Dante terhuyung ke belakang, wajahnya terpelintir kesakitan. Asher sudah menerjangnya tanpa aba-aba, tinjunya menghantam wajah pria itu dengan kekuatan yang tidak wajar.
"Asher, berhenti!" Galen berteriak, tetapi percuma.
Asher sudah kehilangan kendali.
"Asher, cukup!" Kai mencoba mendekat, tapi sebelum ia bisa meraih Asher, lelaki itu kembali menghantam Dante ke tanah.
Asher tidak peduli masih menarik kerahnya lagi, bersiap untuk membantingnya sekali lagi—––
"Asher!"
Tangan Galen dan Kai langsung mencengkeramnya dari belakang, menariknya dengan sekuat tenaga.
"Asher, kau gila?!! Sudah cukup!!" Kai berteriak di telinganya, tapi lelaki itu tetap meronta.
"LEPASKAN AKU, BRENGSEK!!" Asher meraung, suara penuh amarah dan sesuatu yang lebih gelap dari sekadar kemarahan.
"Asher, sialan, kau mau membunuhnya?!" Galen menggertakkan giginya, berusaha menahan tubuh Asher yang masih berusaha menerjang lagi.
"Asher, kita harus pergi! SEKARANG!" Kai menekan lebih keras, akhirnya berhasil menariknya menjauh beberapa langkah dari Dante yang sudah tidak bergerak.
Sementara itu, Jeff akhirnya bergerak, berusaha membantu Dante yang masih tergeletak setengah sadar.
"Kalian semua... brengsek...!" Jeff menggeram.
"Tutup mulutmu!" Kai langsung menyambar sesuatu—helm yang tergeletak di dekatnya—dan melemparkannya ke arah Jeff, memaksanya mundur. "Kalau kau masih mau hidup, jangan sok berani!"
"Asher, ayo!"
Galen dan Kai akhirnya berhasil menariknya lebih jauh.
Asher masih terengah-engah, dadanya naik turun dengan liar. Matanya kosong karena sesuatu yang berbahaya, masih berdenyut dalam dirinya.
Lalu, sebuah suara membuatnya membeku.
"Asher..."
Ren.
Asher menoleh, dan dunianya seakan berhenti sejenak.
Ren masih berdiri dengan susah payah, tubuhnya gemetar, napasnya tersengal. Tapi yang membuat Asher benar-benar terdiam adalah ekspresi di wajah gadis itu.
Bukan ketakutan pada Dante.
Tapi pada dirinya.
Dan seketika, semua kemarahan yang membakar darahnya... perlahan meredup.
"Asher, lari!" Kai menarik lengannya sekali lagi, lebih kuat kali ini.
Asher masih terpaku sesaat, tapi lalu lelaki itu akhirnya menurut.
Tanpa sepatah kata, mereka semua berbalik dan melesat ke arah gang belakang. Langkah mereka berpacu dengan suara sirene yang mulai menggema di kejauhan, menandakan bahwa kekacauan ini sudah menarik perhatian yang lebih besar.
— tbc
jangan lupa tinggalkan jejak ⭐⭐
rameinn yaaa lovv ¯\(◉‿◉)/¯