‼️ Sebelum baca chapter selanjutnya, aku mau kasih tau dulu yaa 😄
Akan ada banyak bentuk chat, jadi kalau masih bingung bisa cek ini dulu yaa!
📌 Abaikan waktu yang tertera di lockscreen-nya.
Selamat membaca! ❤️
💛💙
—
Seulgi duduk di meja kecil ruang dokter jaga, satu tangan menopang kepalanya sementara tangan lain memegang ponsel. Di layar, chat terakhir dengan Jay masih terbuka, tapi tidak ada notifikasi baru.
Dia menghela napas, matanya sesekali melirik monitor komputer yang menampilkan data pasien. Malam ini tidak terlalu sibuk, tapi pikirannya terasa lebih penuh daripada biasanya.
Kenapa Jay tetap terasa seperti Jaeyi?
Jari-jarinya mengetuk meja tanpa sadar. Dia seharusnya mengecek laporan pasien berikutnya, tapi entah kenapa, pikirannya terus tertuju pada satu hal.
Sebelum bisa menahannya, dia mengetik pesan.
Seulgi: Jay, apa kamu sibuk?
Dia menatap pesannya beberapa detik sebelum akhirnya menekan send.
Tiga menit berlalu.
Lima menit.
Dia mulai berpikir Jay tidak akan membalas, tapi kemudian ponselnya bergetar.
Seulgi mendengus pelan. Jawaban yang terdengar seperti Jay, tapi terasa terlalu familiar seperti Jaeyi.
Seulgi mengetik lagi.
Di tempat lain, Jay duduk di ruang kerjanya, satu tangan memegang laporan sementara tangan lain menggulir layar ponselnya. Dia seharusnya fokus membaca, tapi begitu nama Princess muncul di notifikasi, pikirannya beralih.
Mata Jay sedikit menyipit membaca pesannya. Seulgi tiba-tiba membahas hal-hal lama lagi.
Seulgi mengerucutkan bibirnya, menatap layar dengan sedikit kesal.
Jay menghela napas, meletakkan laporan di atas meja.
Seulgi mengetuk meja dengan jarinya, merasa sedikit jengkel.
Jay tersenyum kecil membaca pesan itu. Seketika, kenangan lama berputar di kepalanya—Seulgi yang bernyanyi di ruang karaoke setelah pulang sekolah, suaranya memenuhi mobil setiap kali mereka dalam perjalanan. Kadang meleset, kadang terlalu semangat.
Tapi bukan sekadar nyanyian yang ingin Jay dengar—melainkan suara Seulgi.
Seulgi tidak bisa menahan tawa kecil.
Pujian macam apa itu?
Tangannya masih menggenggam ponsel, matanya terpaku pada layar. Dia menghela napas pelan, ujung jarinya melayang di atas keyboard sebelum akhirnya mengetik pesan lain.
Dia hanya ingin tahu—apakah Jay masih mengingat hal-hal kecil itu?
Bukan jawaban yang panjang atau penuh emosi yang ia cari. Hanya sesuatu yang bisa meyakinkannya bahwa sosok di balik layar ini… masih seseorang yang dulu ia kenal.
Jay menatap pesannya lama, jemarinya diam di atas layar.
Seulgi masih seperti dulu—bertanya dengan cara yang sederhana, tapi meninggalkan jejak di pikirannya.
Hal-hal kecil?
Bagi Jay, tidak ada yang kecil jika itu tentang Seulgi.
Karena, bagi Jay, yang penting itu selalu Seulgi.
Dia menghela napas pelan, membiarkan jemarinya akhirnya bergerak mengetik.
Pesan itu menggantung di layar, seolah menuntut jawaban yang lebih dari sekadar kata-kata biasa.
Apa yang penting?
Seulgi menunggu, tapi balasan tidak langsung datang. Dia hampir menyerah dan meletakkan ponselnya kembali di meja, sampai akhirnya getaran lain muncul.
Matanya langsung membaca balasan Jay.
Seulgi menatap pesan itu lama, matanya membaca setiap kata berulang kali seolah berharap ada makna tersembunyi di baliknya.
Dia menghela napas pelan.
Entah kenapa, ada sedikit kekecewaan yang menyelinap. Bukan karena jawabannya salah, tapi karena itu tidak seperti yang dia harapkan.
Seulgi menggigit bibirnya, menahan perasaan yang sulit dijelaskan. Pada akhirnya, itu tetaplah Jay. Tetaplah Jaeyi.
Sama seperti dulu.
Dia akhirnya tertawa kecil, bukan karena lucu, tapi karena tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Menyandarkan kepalanya ke kursi, menatap langit-langit dengan senyum tipis yang samar.
"Kau masih orang yang sama kan, Yoo Jaeyi?"
Pelan, hampir seperti gumaman untuk dirinya sendiri.
—
Di tempat lain, Jay menutup ponselnya dan mengusap wajahnya pelan.
Tangannya sedikit mengerat di sisi meja.
Dia tidak bisa membiarkan dirinya terlalu dekat lagi.
Tapi setiap kali Seulgi bertanya seperti itu, hatinya terasa seperti ditarik kembali ke sesuatu yang dulu pernah menjadi miliknya.
Jay menutup matanya, membiarkan pikirannya tenggelam dalam kenangan yang seharusnya sudah dia tinggalkan.
Seulgi masih menatap layar, menunggu apakah Jay akan membalas lagi.
Tidak lama kemudian, ada pesan masuk.
Seulgi berkedip, sedikit terkejut dengan pesan itu.
Jarinya yang tadi sibuk mengetuk meja kini terhenti. Matanya membaca ulang pesan itu, seakan ingin memastikan bahwa dia tidak salah lihat.
Jaga kesehatanmu. Jangan terlalu lelah. Aku hanya ingin melihatmu sehat dan bahagia.
Sederhana, tapi ada sesuatu di dalamnya—sesuatu yang membuat dadanya terasa sedikit lebih hangat.
Pesan itu…
Ucapan yang dulu sering Jaeyi katakan padanya. Kata-kata yang selalu terucap dengan mudah, seakan itu hal paling alami bagi Jaeyi untuk menginginkannya bahagia.
Seulgi menatap layar lebih lama dari yang seharusnya. Tangannya sudah siap mengetik balasan, tapi kemudian dia berhenti.
Kenapa rasanya seperti ada sesuatu yang kembali ke tempatnya?
Butuh waktu sebelum Jay membalas, seolah mempertimbangkan jawabannya.
Sejak kapan dia perhatian? Seulgi mengetik pertanyaan itu tanpa banyak berpikir, tapi saat membaca balasan Jay, dia terdiam.
"Sejak dulu. Kamu saja yang tidak pernah menyadarinya."
Seulgi menatap layar ponselnya lebih lama dari yang seharusnya. Ada sesuatu dalam kata-kata itu—sesuatu yang membuat dadanya terasa aneh, seperti tarikan halus ke masa lalu yang belum sepenuhnya ia lepaskan.
Jay tidak sekadar menjawab, dia sedang mengingatkan. Bahwa selama ini, dia selalu ada. Bahkan ketika Seulgi tidak menyadarinya, bahkan ketika Seulgi berpikir Jay sudah berubah.
Seulgi menelan ludah, kenangan lama terlintas di kepalanya.
"Aku sudah melindungimu selama ini, dan aku berniat untuk terus melakukannya."
Dulu, itu adalah janji Jaeyi.
"Sangat bahagia ketika nama kita berdampingan. Jika itu orang lain, mungkin aku akan membencinya. Tapi karena itu kau, aku bahagia."
Pernyataan yang tidak pernah Seulgi benar-benar jawab.
Jari-jarinya bergerak di atas layar, tapi dia tidak tahu harus mengetik apa. Karena untuk pertama kalinya sejak mereka kembali berbicara, dia sadar—Jay tidak pernah pergi.
Tidak benar-benar.