1400 words, ENJOY
Saat Jacob tiba di depan gedung kampus dengan motornya, Renesmee langsung melihat sekeliling.
Ia memperhatikan bagaimana beberapa mahasiswi yang sedang duduk di bangku taman melirik ke arah Jacob. Ada yang berbisik sambil tersenyum kecil, ada yang pura-pura melirik ke arah lain tapi jelas mencuri pandang, dan ada juga yang benar-benar terang-terangan menatapnya.
Renesmee memutar ulang percakapan teman-temannya tadi di kepalanya.
"Cowok kulit tan yang selalu antar jemput kamu naik motor gede..."
"Badannya gagah banget kayak atlet..."
"Setiap kali dia datang, setengah mahasiswa cewek di kampus ini mendadak jadi model iklan shampoo..."
Ia mengernyit. Jadi, selama ini, setiap kali Jacob datang menjemputnya, para mahasiswi di kampus ini memperhatikannya seperti itu?
Dan yang lebih mengganggu adalah... kenapa hal itu membuatnya kesal?
Jacob menurunkan kaca helmnya, menatapnya dengan alis terangkat. "Ness? Kenapa bengong? Ayo naik."
Renesmee langsung tersadar dan buru-buru naik ke motor, menyembunyikan ekspresi canggungnya.
"Udah nggak ada kelas lagi?" tanya Jacob saat ia menghidupkan mesin motor.
"Aku pengen pulang," jawab Renesmee cepat. Ia butuh waktu untuk memproses semuanya.
Jacob sempat meliriknya sekilas, membaca nada aneh dalam suara Renesmee, tapi ia tidak bertanya lebih lanjut.
Mereka melaju melewati jalanan, angin sore menerpa wajah Renesmee yang masih sibuk dengan pikirannya sendiri.
Namun, di atas motor, Jacob juga punya pikirannya sendiri.
Tadi, saat ia masih di La Push, ia mendapat telepon dari Edward.
"Apa yang kau lakukan pada anakku?"
Jacob, yang saat itu sedang berbicara dengan kawanan, langsung mengernyit. "Hah?"
"Dia terlihat gelisah sejak tadi pagi. Jantungnya berpacu tidak seperti biasanya. Kau bicara sesuatu padanya?"
Jacob hanya bisa mendengus. "Aku bahkan belum menjemputnya, Edward."
Ada jeda di seberang telepon sebelum Edward menghela napas. "Kalau begitu, pastikan kau bicara padanya. Ada sesuatu yang mengganggu pikirannya."
Jacob sudah tahu itu. Bahkan sebelum Edward menelepon, ia sudah bisa merasakannya.
Sudah cukup lama sejak ia dan Renesmee merasa seperti berjalan di atas tali tipis.
Entah itu masalah imprint, atau ada hal lain yang sedang terjadi di dalam kepala Renesmee.
Dan Jacob muak dengan itu.
Mereka harus bicara.
Jadi, saat mereka melewati belokan menuju rumah keluarga Cullen, Jacob justru mengambil jalur lain.
Renesmee yang tadinya melamun langsung menegang. "Jake? Kita mau ke mana?"
Jacob tidak menjawab sampai mereka berhenti di tebing tempat favorit mereka—tempat di mana mereka sering menghabiskan waktu saat Renesmee masih kecil.
Ketika mesin motor dimatikan, hanya suara deburan ombak yang terdengar di bawah sana.
Jacob melepas helmnya dan menatap Renesmee dengan serius. "Kita harus bicara."
Jacob awalnya bersiap untuk membicarakan imprint. Tapi begitu mereka turun dari motor, sebelum ia sempat membuka mulut, Renesmee malah lebih dulu berbicara dengan nada panik.
"Jake... kamu tahu mimpiku?"
Jacob yang tadinya serius langsung menyeringai. Menarik.
Awalnya ia memang mau membahas sesuatu yang lain, tapi sekarang ia justru lebih tertarik dengan reaksi spontan Renesmee.
Padahal tadi pagi, ia belum sempat bertanya kenapa matanya bengkak. Tapi sekarang? Dia baru buka mulut, tapi gadis itu sudah ngaku duluan.
"Eh, mimpi apa?" tanyanya dengan nada menggoda.
Renesmee mengatupkan bibirnya rapat-rapat, sadar kalau ia baru saja menggali lubangnya sendiri.
Jacob menyilangkan tangan di dada, smirknya makin menjadi. "Nessie, kamu tuh nggak bisa menyembunyikan sesuatu dariku." Ia mencondongkan tubuh sedikit lebih dekat, suaranya lebih rendah, nyaris menantang. "Bahkan Edward aja ketipu. Tapi aku? Nggak. Buktinya, kamu baru aja langsung ngaku sendiri."
Renesmee membelalak. Sial.
Kenapa dia bisa seceroboh itu?!
"A-aku... nggak ada apa-apa," katanya cepat, sebelum buru-buru mengalihkan pembicaraan. "Gajadi! Kamu tadi mau ngomong apa?"
Jacob menaikkan satu alis, jelas tahu kalau Renesmee sedang mencoba menghindar.
"Aku harus pulang," lanjut Renesmee cepat, memalingkan wajah agar tidak bertemu dengan tatapan tajam Jacob. "Mau ngerjakan artikel."
Jacob menatap Renesmee dengan rahang mengeras, tapi sebelum dia bisa mengatakan apa pun, Renesmee sudah melangkah mundur, napasnya memburu. Matanya bersinar marah, tapi bukan hanya amarah—ada sesuatu yang lain. Sesuatu yang lebih dalam.
"Memang kamu masih mampu?" suara Renesmee naik, hampir berteriak. "Memang menurutmu imprint ini nggak menyakitkan?"
Jacob menegang, otot-otot di lengannya berkedut, tapi ia tidak menjawab.
Renesmee mendekat, menatapnya dengan sorot mata penuh emosi. "Aku lihat, Jake," suaranya lebih rendah sekarang, tapi masih dipenuhi intensitas. "Aku lihat semuanya. Aku lihat kamu pergi dari kawanan demi melindungi Mom. Aku lihat kamu mempertaruhkan nyawa demi dia."
Jacob menahan napas.
Renesmee menggeleng, matanya memanas. "Aku lihat kamu hancur waktu Mom memilih Dad. Aku dengar lolonganmu yang penuh kesakitan. Aku lihat bagaimana kamu nyaris kehilangan dirimu sendiri karena itu." Suaranya sedikit bergetar saat melanjutkan, "Aku lihat bagaimana kamu membenciku waktu aku lahir... karena aku hampir membunuhnya."
Jacob menggeram rendah. "Nessie—"
"Tunggu!" Renesmee mendongak, menatapnya penuh rasa bersalah. "Aku lihat semuanya, Jake. Aku lihat betapa bencinya kamu pada vampir, pada keluargaku—pada aku. Aku lihat bagaimana aku seharusnya jadi sumber penderitaan terbesarmu."
Jacob mengepalkan tangannya, matanya gelap dan penuh badai.
Renesmee menggeleng, setetes air mata turun di pipinya. "Seharusnya kamu nggak terikat denganku, Jake. Seharusnya kamu bisa bebas."
Jacob mengembuskan napas kasar, rahangnya mengeras saat ia menatap Renesmee yang berdiri di depannya dengan mata membelalak.
"Memangnya kau pikir aku awalnya mau imprint ini?" suaranya meninggi, penuh frustrasi yang selama ini ia tahan. "TIDAK, AKU TIDAK MAU IMPRINT INI, NESS!"
Renesmee tersentak, tubuhnya menegang. Tapi Jacob belum selesai.
"Tapi apa yang terjadi?" Jacob tertawa pendek, getir. "Semakin aku menolak, semakin semuanya terasa menyakitkan." Ia menatap Renesmee dengan mata yang penuh emosi. "Aku dulu mencintai Bella. Itu nyata, Ness. Itu perasaan yang aku pikir akan selalu ada."
Renesmee menahan napas.
"Tapi semua itu menguap begitu saja... saat pertama kali aku menatap matamu." Suaranya melembut, tapi bukan karena kasih sayang—lebih kepada kelelahan dari pertempuran batin yang telah ia jalani selama bertahun-tahun. "Saat itu, aku tahu. Aku nggak bisa ke mana-mana. Aku terikat denganmu."
Renesmee membuka mulut, tapi Jacob menggeleng.
"Imprint itu cuma ada dua pilihan, Ness," lanjutnya, suaranya berat. "Menghadapinya, atau kehilangan diri sendiri... dan matenya." Rahangnya mengeras. "Dan aku memilih untuk menghadapi."
Renesmee merasakan dadanya mencengkeram ketakutan yang aneh.
Jacob menatapnya, ekspresinya penuh kejujuran yang menyakitkan. "Aku memutuskan untuk tetap ada, melihatmu tumbuh. Aku memutuskan untuk menerimanya. Untukmu."
Angin laut bertiup di antara mereka, tapi Renesmee merasa seperti seluruh tubuhnya terbakar oleh kata-kata Jacob. Ini bukan lagi tentang masa lalu, bukan tentang Bella, bukan tentang apa yang sudah terjadi.
Ini tentang mereka. Tentang sekarang. Tentang sesuatu yang Renesmee belum siap hadapi.
Renesmee masih diam, pikirannya kacau. Ia ingin mengatakan sesuatu, tapi tidak tahu harus mulai dari mana. Apa yang harus ia rasakan? Jacob baru saja mengakui sesuatu yang sangat besar—sesuatu yang seharusnya menjelaskan semuanya, tapi justru semakin membuatnya bingung.
Jacob menatapnya, ekspresinya sedikit melunak. Perlahan, ia melangkah lebih dekat. "Ness, dengar..." suaranya lebih lembut sekarang, tapi tetap penuh keyakinan. "Semuanya sudah berlalu."
Renesmee mendongak, matanya bertemu dengan mata cokelat Jacob yang selalu hangat.
"Aku nggak akan menyangkal kalau dulu aku terluka. Aku nggak akan bilang kalau ini semua mudah," lanjutnya. "Tapi aku di sini, kan? Aku masih berdiri, tetap menjadi diriku sendiri. Aku menerima semua ini, dan aku tetap memilih untuk melangkah maju."
Renesmee masih tidak bicara, tapi Jacob bisa melihat bagaimana matanya bergetar.
"Kau tahu?" Jacob sedikit tersenyum, meskipun nada suaranya masih serius. "Imprint ini juga yang membawaku kembali ke kawanan. Aku kembali karena kau, Ness. Aku tetap ada di sini karena kau."
Renesmee mengerjapkan mata, perlahan mulai memproses kata-katanya.
"Bahkan, aku menggantikan Sam sebagai Alpha." Jacob menghela napas pelan. "Sesuatu yang dulu nggak pernah aku inginkan."
Renesmee menatapnya dengan bingung. Jacob menyadari ekspresi itu dan tersenyum kecil. "Dulu aku lari dari tanggung jawab itu, tapi sekarang aku nggak lagi. Karena aku harus memastikan semuanya tetap berjalan, termasuk untukmu."
Untukku.
Renesmee masih belum tahu harus merespons bagaimana. Semuanya terasa begitu berat, tapi di sisi lain, ada perasaan nyaman yang perlahan merayap di dadanya.
Jacob tersenyum sedikit lebih lembut. "Aku nggak akan ke mana-mana, Ness. Aku di sini. Selalu."
Dan untuk pertama kalinya sejak mereka mulai bicara, Renesmee menghela napas panjang. Seolah bebannya sedikit berkurang, meskipun tidak sepenuhnya.
Renesmee menggeleng cepat, rasa sesak di dadanya belum hilang. "Aku tidak tahu, Jake... Aku ingin pulang. Aku butuh waktu," katanya dengan suara sedikit bergetar.
Jacob menatapnya, matanya mencari sesuatu—mungkin tanda bahwa Renesmee akan berubah pikiran. Tapi yang ia temukan hanyalah kebingungan dan kelelahan.
"Ness—"
"Tolong, Jake." Renesmee memotong, suaranya pelan tapi tegas. Ia melangkah mundur, menciptakan jarak di antara mereka. "Aku tidak bisa sekarang."
Jacob mengepalkan tangannya, berusaha menahan semua emosi yang bergejolak dalam dirinya. Dia ingin berbicara lebih banyak, ingin menjelaskan lebih jauh, ingin meyakinkan Renesmee bahwa dia tidak perlu takut. Tapi dia juga tahu memaksa hanya akan membuatnya semakin menjauh.
Akhirnya, Jacob menghela napas panjang dan mengangguk pelan. "Oke," katanya dengan nada pasrah, tapi masih mengandung ketegasan. "Aku antar kau pulang."
Renesmee tidak membalas, hanya menundukkan kepala dan berjalan menuju motornya. Jacob mengikutinya, masih mencoba menenangkan pikirannya sendiri.
Saat mesin motor dinyalakan, Jacob melirik sekilas ke arah Renesmee yang kini duduk di belakangnya, tapi tidak seperti biasanya— tanpa gerakan santai atau tawa kecil. Kali ini, dia diam. Tangan Renesmee memegang pinggangnya, tapi dengan canggung, seolah ada tembok tak kasat mata di antara mereka.
Jacob mengeratkan genggamannya di setang motor sebelum akhirnya melaju, membawa mereka pulang dalam keheningan yang terasa jauh lebih menusuk daripada kata-kata.