.
.
🎧 Recommended Song: "Perfect" – Ed Sheeran
.
.
Langit perlahan gelap saat mobil melaju meninggalkan bibir pantai. Di balik kaca jendela, rintik hujan menari, meninggalkan jejak samar seperti ingatan yang belum tuntas.
Di kursi penumpang, Namisha menggigit bibir pelan. Jemarinya memainkan ujung lengan jaket yang kini sedikit lembap. Tubuhnya masih menyimpan sisa asin laut dan matahari siang tadi, tapi pikirannya sibuk.
Ni-Ki meliriknya sekilas. Dari balik kemudi, ia bisa merasakan kegugupan yang sama. Tapi tak satu pun dari mereka mengucapkannya. Keheningan di antara mereka terasa lebih jujur daripada seribu kalimat. Dan di tengah hening itu, terselip harapan yang belum sempat dibahas.
Sesampainya di hotel kecil di pinggir kota, mereka masuk tanpa banyak kata. Petugas resepsionis menyapa ramah, dan tak lama mereka sudah diantar menuju kamar paling ujung di lantai dua. Ruangan itu hangat dan tenang, dengan cahaya lampu yang remang dan aroma bersih dari linen baru diganti.
"aku mandi duluan ya," ucap Ni-Ki sambil merenggangkan bahu.
Namisha hanya mengangguk, menahan napas saat pintu kamar mandi tertutup.
Beberapa menit kemudian, terdengar suara aliran air. Namisha berdiri menatap pakaian tidur yang disiapkan pihak hotel. Saat gilirannya mandi tiba, air hangat seakan menghapus kegugupan dari tubuhnya, meski tidak dari pikirannya. Ia melihat dirinya di cermin—wajahnya memerah. Ia belum pernah seintim ini dengan siapa pun.
***
Cahaya kamar remang. Lampu di pojok ruangan menyala temaram, menciptakan bayangan lembut di dinding. Handuk tergantung di kursi, baju bersih sudah dikenakan, tapi udara masih menyimpan sisa ketegangan dari percakapan yang belum selesai, dari perasaan yang belum sempat diurai.
Namisha duduk di ujung ranjang, diam. Tangannya saling menggenggam, jari-jarinya saling mengait seperti sedang meredam gelisah. Ia mendengar deru halus dari AC, sesekali suara mobil melintas di jalan luar jendela, tapi semua itu terdengar jauh.
Ni-Ki, di sisi lain, memilih duduk di lantai. Punggungnya bersandar ke ranjang. Ia menatap langit-langit dengan ekspresi yang sulit ditebak—campuran gugup, rindu, dan ragu yang tak biasa ia tunjukkan di hadapan siapa pun.
"Kalau aku mimpiin kamu malam ini..." suara Ni-Ki pelan, nyaris seperti gumaman. "...itu salah nggak?"
Pertanyaannya jatuh perlahan, hampir tak terdengar, tapi cukup untuk membuat jantung Namisha berhenti berdetak sejenak.
Ia tidak langsung menjawab. Tapi beberapa detik kemudian, tubuhnya bergerak turun dari ranjang, lalu duduk di lantai, tepat di sebelah Ni-Ki. Bahu mereka bersentuhan. Hangat. Aneh. Akrab dan asing sekaligus.
Ia tidak menatapnya. Tapi tangannya bergerak, ragu-ragu, mencari ujung jemari Ni-Ki. Dan ketika tangan mereka saling menemukan, dunia terasa lebih sunyi dari sebelumnya—tapi juga lebih penuh.
Tidak ada ucapan cinta. Tidak ada janji. Tapi semuanya terasa seperti pengakuan yang tak terucap.
Mereka tidak bicara. Tidak perlu. Dalam diam, semua sudah cukup jelas. Tarikan napas, tatapan sesekali, dan genggaman kecil itu sudah lebih jujur dari seribu kata.
Namisha memiringkan kepala, bersandar ke bahunya. Ni-Ki memutar wajah, menyentuh rambutnya dengan telapak yang hangat.
"Boleh, kan... aku tetap di sini?" gumam Namisha.
"Selamanya, kalau kamu mau." jawab Ni-Ki. Tanpa keraguan.
Mereka naik ke atas ranjang bersama. Tak terburu-buru. Masih dengan jarak kecil di antara tubuh. Tapi hati mereka sudah tak sejauh tadi.
Waktu berjalan lambat. Sentuhan datang perlahan. Seolah mereka takut merusak momen itu dengan gerakan yang salah. Jari-jari Ni-Ki menyentuh wajah Namisha dengan hati-hati. Seolah memelajari setiap lekuk, setiap garis, setiap kerutan kecil di kening yang muncul karena gugup.
Namisha menatapnya. Mata mereka bertemu, dan dalam tatapan itu, ada rasa malu, ada penasaran, dan ada keberanian kecil untuk tidak mundur.
Ciuman pertama terasa seperti izin. Lembut. Tak menuntut. Tapi penuh arti.
Pelukan mereka tidak memburu. Lebih seperti penjelajahan. Setiap inci kulit disentuh dengan rasa hormat. Kancing dibuka pelan, kain ditanggalkan satu per satu—bukan sebagai pengungkapan hasrat, tapi kepercayaan.
Tubuh mereka bersentuhan. Hangat berpindah. Tapi semuanya tetap pelan. Tidak ada desakan. Tidak ada nafsu yang meluap. Hanya rasa. Hanya mereka berdua. Dengan napas yang mulai berat dan detak jantung yang saling menyatu.
Tidak ada perintah. Tidak ada desakan.
Yang ada hanya dua manusia, saling mendengarkan napas masing-masing, saling mencari ritme di tengah rasa takut dan ingin yang saling tumpang tindih.
Beberapa kali mereka berhenti. Diam. Salih menatap. Bertanya tanpa kata: Kamu oke? Boleh? Yakin?
Dan setiap kali itu terjadi, mereka saling mengangguk kecil.
Semuanya lembut. Penuh izin. Penuh rasa.
Mereka menyentuh dengan hati-hati. Memeluk dengan penuh. Membelai dengan rasa. Dan di dalam keheningan yang hampir sakral, tubuh mereka saling mengenali cara paling jujur untuk mencintai.
Tidak ada suara keras. Hanya tarikan napas. Dan bisikan yang menggetarkan dada.
"Aku nggak pernah sepelan ini sama siapa pun..." kata Ni-Ki saat peluh sudah menyatu, dan jari mereka masih saling genggam.
Namisha mengangguk, matanya basah. Bukan karena sedih. Tapi karena semua ini terasa seperti sesuatu yang terlalu lama ditunggu, dan akhirnya datang dengan cara yang paling benar.
Ketika malam perlahan lewat, dan keheningan berubah jadi napas berat dan peluh yang hangat, tubuh mereka saling menggenggam erat. Tidak ingin lepas. Tidak ingin lupa.
***
Pagi datang dengan cahaya yang perlahan masuk dari balik tirai. Udara masih tenang. Alarm ponsel tidak ada yang menyala. Hanya suara burung dari luar jendela dan dentingan samar lift dari koridor.
Cahaya matahari menyelinap dari sela tirai, menyapu ranjang dengan lembut. Namisha membuka mata perlahan, menyadari bahwa tubuhnya masih berada dalam pelukan hangat Ni-Ki.
Ia tidak panik. Tidak merasa bersalah. Hanya damai.
Ni-Ki tertidur miring, wajahnya menghadap ke arahnya. Napasnya teratur. Tenang. Damai. Sedikit rambutnya menutupi dahi, dan di bawah selimut putih hotel, tangan mereka masih saling bertaut.
Namisha tersenyum kecil.
Ia pelan-pelan mencoba bergeser. Tapi Ni-Ki menggumam pelan dan memeluknya lebih erat. "Pagi," katanya dengan suara berat dan serak, matanya belum sepenuhnya terbuka.
Namisha langsung menunduk, malu. "Pagi..."
Mereka diam beberapa detik.
Lalu keduanya mulai tertawa kecil. Geli. Canggung. Tapi hangat.
"Aku... mimpi semalam. Tapi kayaknya itu bukan mimpi ya?" gumam Ni-Ki, matanya akhirnya terbuka sepenuhnya.
Namisha menyikut lengannya pelan. "Jangan ngomong gitu dong..."
"Kenapa?" Ni-Ki mengerjap. "Mau aku pura-pura lupa?"
"Jangan juga," bisik Namisha. Pipinya merah.
Lalu keheningan lagi.
Tapi kali ini bukan karena canggung. Melainkan karena mereka nyaman di dalamnya.
"Aku bakal ingat malam tadi selamanya," kata Ni-Ki akhirnya. Tangannya bergerak ke rambut Namisha, menyelipkannya di balik telinga. "Tapi bukan karena... itu. Tapi karena kamu. Karena kita."
Namisha menatapnya. Ada sesuatu di dada yang nyaris tumpah.
"Aku juga."
Dan pagi pun berjalan tanpa terburu-buru. Mereka tetap dalam pelukan, dalam ruang kecil yang terasa seperti dunia—yang hanya ada mereka berdua di dalamnya. Dengan kopi instan dari meja sudut kamar, rambut berantakan, dan dua hati yang tahu... mereka baru saja melewati malam yang akan mengubah segalanya.
***
to be continued...