27.
"Tunggu dulu, gue capek."
Mendengar suara Hacihan yang sedikit terengah-engah membuat Semesta berhenti.
Setelah berhasil menyelamatkan diri dari konser yang rusuh, Semesta dan Hacihan duduk sebentar di taman kecil yang berada di area venue.
Hacihan mengatur napasnya yang masih terengah-engah. Semesta bukan main menariknya dengan kencang, membuat Hacihan kesulitan mengimbangi langkahnya.
Semesta yang duduk di sebelahnya itu hanya diam tak melirik sekalipun.
Setelah merasa napasnya kembali normal, Hacihan mengangkat kepalanya lalu tersenyum menatap Semesta. "Semesta, makasih."
Semesta menoleh dan menatapnya dengan intens.
"Ini bener-bener pengalaman yang nggak pernah dapetin sebelumnya," lanjut Hacihan masih dengan senyumnya.
"Lo nggak apa-apa?"
Hacihan mengerutkan keningnya.
"Sorry, gue—"
Mengerti maksud Semesta, Hacihan kembali berkata, "lo nggak perlu menuruti setiap permintaan Moeses, Semesta. Lagipula lo tau kalo hubungan kita nggak lebih sebatas saling kenal. Gue tau lo pasti terbebani, apalagi Moeses sangat mengandalkan lo di saat dia pergi kayak gini."
Semesta menyimak.
"Apa jangan-jangan...." Hacihan menatap Semesta dalam-dalam, "Moeses ya yang nyuruh lo buat nemenin gue?"
Semesta tak bisa menatap mata Hacihan lebih lama. Ia memundurkan posisi tubuhnya kemudian berdiri.
"Semesta?" Hacihan mendongak menatap tubuh jangkung laki-laki itu.
Semesta melirik sekilas ke arah Hacihan kemudian melenggang pergi meninggalkan gadis itu sendirian.
••••
Setelah pulang dari acara konser rusuh tadi, Hacihan kunjung belum juga memejamkan matanya.
Keadaan tubuhnya yang sudah berganti terbalut piyama itu sudah sangat siap untuk mengunjungi alam mimpi. Tapi terlalu banyak pikiran membuat matanya terlalu dini untuk merasa mengantuk.
Sekitar pukul 11 malam sekarang ini, Hacihan pun sempat menelpon Ara mengenai keadaan tadi. Dan ya, sama seperti yang dilakukan Semesta, Jevon juga melakukan hal yang sama terhadap gadis itu.
Tapi seperti ada yang aneh, tepat saat Hacihan dan Semesta sampai di rumah, Semesta nampak tidak baik-baik saja.
Laki-laki itu nampak terlihat lebih lemas dan langsung menuju kamarnya, tidak seperti biasanya.
Biasanya Semesta akan mampir ke ruang TV, dapur, dan ruang makan untuk memeriksa segalanya.
Hacihan jadi tidak enak, apa Semesta tersinggung akibat ucapannya di taman tadi?
Sepertinya Semesta tidak baik-baik saja.
Hacihan menyibakkan selimutnya kemudian bangkit mencari keberadaan laki-laki itu.
Sebelum memeriksa ke ruangan lain, Hacihan memastikan bahwa Semesta tidak ada di ruangan itu hingga akhirnya Hacihan membulatkan tekadnya untuk pergi ke arah kamar Semesta.
Berada di lantai yang sama dengan kamarnya membuat Hacihan tidak kesulitan untuk pergi ke sana.
Kini Hacihan sudah berdiri di depan pintu kamar Semesta yang tertutup. Tanpa ragu ia mengarahkan tangannya untuk mengetuk pintu tersebut.
Tidak ada jawaban dari dalam.
Tak mau menyerah, Hacihan mengetuk pintu kamar itu lagi, bahkan lebih keras.
Masih tidak ada jawaban.
Hacihan menghela napas panjang. Apa laki-laki itu sudah tertidur pulas?
"Semesta buka pintunya!" Suaranya yang lantang seharusnya terdengar ke dalam sana.
Karena Semesta orang yang sangat tidak suka diganggu, seharusnya dalam beberapa detik ia akan membuka pintu kamarnya lalu memarahi Hacihan...
Namun tidak terjadi di hari itu, yang di hadapan Hacihan masih tetaplah pintu yang tertutup rapat.
Dor-dor-dorrr!!!
Jauh dari kata mengetuk, Hacihan bahkan menggedor pintu tersebut tanpa berpikir hal itu akan sangat membuat Semesta marah.
Masih belum ada jawaban, apa Semesta benar-benar marah? Atau yang lainnya?
Hacihan menempelkan telinganya ke pintu kamar tersebut, memastikan ia mendengar suara-suara dari dalam sana.
Setelah beberapa detik ia melakukan itu, hasilnya tetap nihil.
Muncul lah banyak pertanyaan di dalam pikirannya. Apa yang terjadi?
Saat Hacihan tak sengaja memegang handle pintu, matanya langsung melebar mengetahui pintu tersebut terbuka pelan.
"Nggak dikunci?" Gumamnya.
Tanpa ragu Hacihan membuka pintu kamar Semesta tanpa berpikir panjang bahwa Semesta bisa saja mengusirnya jika ia ketahuan.
Saat itu lampu kamar Semesta masih nyala, dan terlihat beberapa meter di hadapannya, terlihat Semesta yang sedang tertidur di kasurnya.
Bukan sekadar tidur sepertinya, laki-laki itu kenapa-kenapa.
Hacihan bergegas mendekatinya, tubuh Semesta yang terbalut selimut tipis itu terlihat menggigil.
Mulut Hacihan ternganga melihat keadaan Semesta yang begitu mengkhawatirkan.
Hacihan berlutut di sebelah kasur Semesta, tepat di dekat laki-laki itu.
Saat Hacihan memegang dahi Semesta kemudian membandingkan dengan dahinya, dahi Semesta jauh lebih panas darinya.
Tanpa perlu bantuan termometer lagi Hacihan yakin bahwa Semesta sakit.
Sebuah selimut tipis tak membantu menghangatkan tubuhnya yang menggigil demam tentunya. Hacihan bergegas mengambil selimut-selimut miliknya kemudian membalut tubuh Semesta.
Tak hanya itu, ia pergi mengambil air hangat untuk mengompres kening Semesta dengan berharap demam Semesta akan segera turun.
Setelah melakukan segalanya untuk Semesta, Hacihan hanya menatap Semesta iba.
Mengetahui keadaannya sekarang ia bersama Semesta, bagaimana jika Hacihan tidak ada sekarang? Itu berarti Semesta melewati masa-masa seperti ini tanpa ada sosok keluarga bukan?
Entahlah, semoga itu hanya pikiran buruk Hacihan saja.
Hacihan kemudian menundukkan kepalanya, ia merasa bersalah pada Semesta. Walaupun entah merasa bersalah seperti apa, tapi jika dilihat sepertinya ia adalah penyebab Semesta demam seperti ini.
Dimulai saat Semesta menemaninya berhujan-hujanan di malam hari, saat itu Semesta memberikan seluruh obatnya pada Hacihan. Kemudian berlanjut saat semuanya berada di rumah Moeses sebelum Moeses pergi, berbeda dengan Semesta yang semenjak pagi mengantri untuk menukar e-ticket konser tersebut.
Saat itu Hacihan tak yakin melihat Semesta sarapan pagi-pagi. Dan malamnya mereka pergi ke konser tanpa Hacihan tahu apakah Semesta sudah makan dengan baik atau belum.
Andai saja Hacihan berpikir lebih jauh, ia akan menolak ajakan Semesta yang akan menggantikan posisi Moeses untuk menonton konser.
Semesta, Hacihan sungguh minta maaf...
••••
Pukul 9 pagi, waktu Indonesia bagian barat.
Rasanya seperti ada yang menumpuk dan berat, tapi entah itu apa.
Semesta sudah sadar melewati masa kritis demamnya semalaman. Saat ia membuka mata, dilihatnya begitu banyak selimut-selimut yang membalut tubuhnya.
Rasanya pasti sangat gerah sekarang.
Oh, ada satu lagi. Ada sesuatu menempel di keningnya yakni sebuah kain yang dijadikan kompresan oleh Hacihan. Tapi Semesta belum menyadari siapa itu.
Dengan perlahan Semesta menyingkirkan segala benda yang membalut tubuhnya karena kini suhu tubuhnya sudah kembali normal.
Tangan kanannya meraih kain kering yang tadinya basah itu dari keningnya kemudian menyingkirkan dengan sembarang.
Satu lagi yang baru ia sadari ialah cahaya matahari pagi sudah masuk ke dalam kamarnya, itu berarti seseorang membuka gorden kamarnya.
Sorot cahaya matahari tersebut cukup mengganggunya penglihatannya yang masih setengah sadar kemudian...
Tunggu, penglihatannya seperti menangkap sosok seseorang di dekat jendela.
Seseorang yang tubuhnya tersorot cahaya matahari pagi dan sedang berdiri di balkon kamarnya.
Rambut hitam panjangnya terurai ke bawah, sorot matahari membuatnya beberapa kali mengernyitkan keningnya.
Mata Semesta fokus menangkap diri Hacihan yang asik berdiri di balkon untuk menikmati udara dan cahaya matahari pagi.
Ada satu hal lagi yang membuat Semesta sangat fokus, yaitu headphone yang menjadi benda kesayangannya kini terpasang di kepala gadis itu.
Belum pernah ada seorang pun yang berani menggunakan benda yang seringkali Semesta bawa ke manapun itu.
Saat merasa sudah cukup dengan apa yang dirasakannya, Hacihan yang berdiri di balkon itu berniat kembali ke dalam.
Dan sungguh terkejut bukan main dirinya ketika melihat Semesta yang tengah duduk di atas kasurnya itu, tengah melihat ke arahnya.
Hacihan langsung panik, dengan buru-buru dilepasnya headphone Semesta yang terpasang di kepalanya itu.
Sambil tersenyum ragu Hacihan kembali ke dalam kamar Semesta kemudian berkata, "eh... Udah bangun?"
"Um.." Hacihan menjadi panik sendiri. "Ini gue simpan di sini lagi ya Semesta." Sambil menaruh kembali headphone tersebut ke asalnya.
Namun Semesta masih menatapnya, sebenarnya tatapannya hanya biasa, tapi entah mengapa Hacihan menjadi takut bahwa Semesta akan mengamuk mengetahui Hacihan yang lancang masuk ke kamarnya plus menggunakan headphone tanpa seijinnya.
"Ha—" baru Semesta membuka mulutnya, Hacihan langsung melenggang pergi tanpa sepatah katapun.
Sungguh, Hacihan benar-benar takut laki-laki itu akan marah besar.
TBC
Berikan vote dan komentar jika kalian suka cerita ini.