抖阴社区

Part 7

1.1K 115 3
                                        

Sebuah tangan kekar menariknya mundur beberapa langkah. Renjun menurut, karena ia tahu, jika ia meladeni orang tua di depannya ini, bisa-bisa ia menghajar mereka hingga babak belur.

Setelah lama berdiam diri di belakang Renjun, Jeno maju satu langkah. Ia akan meladeni kedua orang tua ini. Ia mendongak, menatap dua orang di depannya sembari berkata, "Jadi, haruskah kalian menghajar Jaemin sampai seperti itu?"

Lelaki paruh baya itu tertawa, "Kau sudah tahu? Baguslah kalau kau sudah tahu. Kalian bisa membawa pelacur itu ke mana pun yang kalian mau." ujarnya.

Jeno menarik napas dalam-dalam dengan merapalkan kata 'sabar' di dalam hatinya.

"Tuan, apakah seperti ini cara Anda mendidik anak Anda? Tidakkah Anda bisa memberitahunya dengan baik-baik tanpa membuat fisik dan batinnya terluka? Tidakkah Anda tahu sebab dan akibat dari perbuatan Anda? Jaemin bisa mati."

"Mati? Itu malah lebih bagus lagi. Pelacur itu tidak akan mempermalukan kami di masa depan. Reputasi kami akan baik-baik saja jika itu terjadi."

Jeno menggelengkan kepalanya, "Kalian bukan manusia." ujarnya lirih.

Dua orang berumur di sana menghentikan tawa mereka.

"Hei, nak. Kau itu masih kecil. Kau tidak tahu apa itu namanya reputasi dan martabat. Jadi aku sarankan kau diam dan bawa dia pergi kalau, masih, hidup." raut wajahnya tampak mengerikan saat menekan tiga kata di akhir kalimat.

"Tidak. Kami tahu apa itu reputasi dan martabat. Tapi kami tidak tahu jika ada orang tua yang berkelakuan lebih buruk dari pada binatang. Dan, selamat tinggal."

Setelah Jeno mengucapkan kalimat terakhir, para polisi datang dengan bersenjata lengkap. Mereka mengepung kedua orang tua Jaemin yang hanya bisa terdiam membeku.

Menyeringai, Jeno menatap mereka dengan remeh. "Tahukah kalian; jika kalian membongkar aib kalian sendiri?" ujarnya sembari menunjukkan ponselnya yang menampilkan panggilan telepon dengan nomor polisi, juga panggilan itu ia rekam sendiri; untuk jaga-jaga.

"Kau..."

Dua orang di sana melotot melihat hal itu. Kini mereka dikepung oleh petugas polisi, dan mereka tidak akan bisa lari.

"Terima kasih sudah datang. Kalian bisa membawa mereka ke kantor polisi dahulu. Ada beberapa hal yang perlu saya urus di sini." ujar Jeno dengan nada tegas.

Para polisi itu mengangguk sekilas kemudian pergi dengan dua orang tua Jaemin yang di ikut sertakan.

"Kapan lu manggil polisi?" Renjun tercengang, ia masih memproses kejadian yang baru saja terjadi.

"Tadi, pas lu debat sama si tua itu. Gue manggil polisi abis ngirim pesan ke mereka. Gue juga tau kalo mereka mungkin bakal dateng ke sini karena informasi dari anak buah gue." balas Jeno santai. Ia tidak mempedulikan Renjun yang melongo seperti orang bodoh.

"Dahlah, masih banyak hal yang harus diurus. Gue harus nunjukin bukti-bukti ini ke kantor polisi juga nangani hal di sana. Lu ke rumah sakit, jaga Jaemin sampai gue balik. Gue ngandalin lu." Jeno menepuk pundak Renjun dua kali sebelum berlalu meninggalkan Renjun yang tengah berpikir entah apa.

.•*¨*•.¸¸¸¸.•*¨*•.

"Pak, semua bukti yang diperlukan sudah ada di dalam sini. Silakan di cek." Jeno menyodorkan sebuah flash disk ke hadapan kepala polisi.

Kepala polisi itu kemudian duduk di meja kerjanya dan mulai mengecek isi dari flash disk yang Jeno berikan.

Setelah menunggu beberapa saat, kepala polisi tersebut bangkit berdiri dan berjalan ke arah Jeno. Jeno refleks berdiri dari duduknya dengan menatap kepala polisi tersebut menunggu jawaban.

"Bukti-bukti ini saya terima. Ini kasus penganiayaan anak. Anda merupakan saksi dan saya sarankan untuk mengurus hal ini bersama pihak kepolisian sampai persidangan tiba." ujar kepala polisi tersebut.

"Baik, akan saya lakukan. Terima kasih atas kerja samanya, pak." ujar Jeno membalas jabatan tangan.

"Tidak, tidak. Saya yang seharusnya berterima kasih. Ayah Anda sudah pernah menyelamatkan saya dari tuduhan palsu dan membuat saya menduduki posisi ini. Saya berhutang banyak kepada beliau."

Jeno tertawa lirih, "Anda terlalu melebih-lebihkan." ujarnya.

"Saya akan pamit undur diri. Masih ada hal yang harus saya lakukan. Saya permisi." Jeno membungkuk sekilas sebelum berlalu dari hadapan kepala polisi tersebut.

Smrik terpampang di wajah tampannya saat ia keluar dari kantor kepala polisi. Bagaimana pun, langkah pertama berhasil. Dan ia harus memastikan bahwa kedua orang tua itu masuk ke dalam penjara.

Hatinya terasa lega; jauh lebih tenang dari sebelumnya. Ia harap, Jaemin sembuh dan bisa memulai kehidupan yang baru dengan damai; tanpa adanya hambatan dari orang-orang seperti itu.

.•*¨*•.¸¸¸¸.•*¨*•.

Kakinya melangkah dengan ringan di sepanjang lorong rumah sakit. Perasaan dalam hatinya membuncah; terlalu bahagia. Ia akan memberitahu Renjun kabar baik ini; mengenai orang tua Jaemin yang mungkin akan mendekam di penjara.

Oh, bukan mungkin. Tapi harus.

/Ceklek/

"Apa Jaemin udah sadar?"

Renjun menoleh, dilihatnya Jeno yang sedang berjalan mendekat ke arahnya. Ia kemudian menggeleng, "belum. Dokter bilang, butuh waktu beberapa hari buat Jaemin siuman. Lukanya parah."

Jeno mengangguk mengerti.

"Gue udah ngurus masalah orang tua itu. Tapi gue harus kerja sama sama polisi buat nyelesaiin ini sampe ke pengadilan." ujar Jeno kemudian.

Renjun termenung, kemudian bertanya, "lu bisa ngurus itu sendiri, 'kan?"

"Maksud lu?" Jeno memicing menatap Renjun.

Renjun mendongak, menatap Jeno kemudian menarik napas panjang sebelum berkata, "Gue bakal ngambil kelas akselerasi dan balik buat ngobatin Jaemin. Gue juga bakal ke Amerika."

"Bentar, maksud lu? Lah, cita-cita lu 'kan.."

"Itu gak penting. Lu urus aja mereka dan jaga Jaemin buat gue. Gue bakal usahain cepet balik." ujar Renjun sungguh-sungguh.

Jeno menatap Renjun dengan tatapan yang sulit diartikan. Ia kemudian menghela napas pendek dan mengangguk, pasrah dengan keputusan yang Renjun buat sepihak.

Renjun mengatakannya dengan sungguh-sungguh, dan ia tahu benar seperti apa sifat musuhnya ini.

Renjun, tidak akan mengingkari apa yang sudah ia janjikan juga katakan; kecuali ada alasan yang mendesak, yang membuatnya harus membatalkan juga mengingkari ucapannya.

Itu adalah Renjun, musuhnya selama bertahun-tahun.

To be continued

[2] My First And Last || Nominren ?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang