"Aku nggak tahu salahku apa sampai Ibu tampar aku." Armita memegang pipinya yang memerah. "Seenggaknya sekarang aku tahu kenapa aku nggak suka ke rumah ini."
"Mita!" Ibunya membentaknya.
"Ayo, Zra." Armita menarik tangan Ezra, membawa pria itu pergi sesegera mungkin dari rumah keluarganya.
"Kak Mita!" Anindya mengikuti kakaknya dari belakang. "Ibu itu .... "
"Kamu mau belain ibu?" Armita berbalik, menatap adiknya. Anindya mengatup mulutnya, terlihat serba salah saat ini. "Aku nggak ngerti salahku apa sampai ditampar, di depan suaminya, di depan suamiku."
"Kak Mit, Kak Mita kan tahu ibu .... "
"Aku nggak tahu. Aku hilang ingatan." Armita mengingatkan adiknya. "Itu juga masih bukan alasan buat Ibu nampar aku di depan orang-orang." Armita menarik napas panjang, dia melepaskan tangan Ezra, lalu mengusap wajahnya lelah. "Kamu baik-baik aja di sini?"
Anindya mengangguk ragu, tidak mengerti apa maksud pertanyaan Armita. "Kenapa kak?"
Armita menggeleng. "Kalau ada apa-apa lebih baik kamu tinggal sama Kak Mita daripada di sini."
"Aku nggak papa, Kak."
Armita menghela napas. "Oke kalau begitu." Armita kembali menggandeng tangan Ezra. "Ayo, Zra."
"Mita." Om Heru menyusul mereka bertiga, di tangan pria itu masih ada secangkir teh yang tadi dia nikmati di atas meja. "Sayang banget kamu pergi sebelum menikmati makanannya." Armita mengangkat alisnya, matanya tertuju ke teh di tangan Om Heru lalu meja makan yang masih penuh dengan makanan yang tak tersentuh. "Kamu masih mau datang ke kantor kan?"
Armita terdiam, matanya menyelidik melihat pria paruh baya itu. Dia terlalu tenang, seolah apa yang dia lihat tadi adalah pemandangan biasa di rumah ini.
"Kalau Armita udah sehat, Om." Ezra menjawab untuknya. "Saya pamit dulu."
"Baik, Nak." Om Heru mempersilakan mereka pergi meninggalkan rumah ini. Pria itu masuk kembali ke dalam rumah, tampak berbicara dengan ibunya dengan suara yang dipelankan sementara Anindya melepas kepergian kakaknya dengan helaan napas panjang.
Armita berbalik ke belakang, melihat rumah besar yang asing itu juga orang-orang aneh yang tinggal di dalamnya. Dia masuk ke dalam mobil diikuti helaan napas berat. Perasaannya masih berkecamuk tidak nyaman. Semarah-marahnya ibu dulu kepadanya, ibunya tidak pernah semarah ini, tidak pernah tangan ibunya mendarat dan memukul wajahnya. Untuk kesekian kalinya, Armita merasa asing di tempat ini, di dalam tubuh ini. Apa yang telah dia lakukan di masa lalu hingga terdampar di masa depan yang seperti ini? Armita menggigiti jemarinya karena gelisah.
"Berhenti, Mit." Ezra yang duduk di bangku pengemudi menarik tangan Armita lembut.
"Apa ini hal yang biasa?" Armita berhenti menggigiti jemarinya, sebagai gantinya ia meremas tangan Ezra yang menggenggam tangannya. "Kamu nggak bilang apa-apa tadi, kenapa?"
Ezra menarik napas sebelum memulai pembicaraan. "Iya, ini hal yang biasa." Mata pria itu lurus menatap jalan raya. "Aku nggak bilang apa-apa karena ini urusan keluarga kamu. Sebelum aku kenal kamu dan sebelum kita nikah, keluarga kamu udah seperti ini Mit." Pria itu berbalik sesaat, menatap matanya lalu kembali lurus melihat jalanan. "Tapi kayaknya perkiraan aku salah, sebelum kamu hilang ingatan, keluarga kamu nggak kayak gini?"
"Kenapa kita nikah?" Armita berusaha menemukan titik terang. "Kata ibumu, kamu mencintaiku, makanya kita nikah. Apa aku cinta kamu?"
Ezra tergugu, bahkan batinnya pun tak sanggup berbicara. Keduanya tidak memiliki jawaban untuk pertanyaan yang Armita lontarkan.

KAMU SEDANG MEMBACA
The Missing Years | ?
Mystery / ThrillerArmita tiba-tiba terbangun di usianya yang ke dua puluh tujuh, meski memori terakhirnya berada di usianya yang ke tujuh belas tahun, sepuluh tahun yang lalu. Di usianya yang ke dua puluh tujuh, Armita seperti tidak bisa mengenali dirinya sendiri. Di...