抖阴社区

5. Dokter

1K 151 7
                                        

Chapter ini mungkin triggering bagi sebagian pembaca.

Aku berusaha bersikap seolah semuanya baik-baik saja. Apa yang terjadi beberapa hari lalu akan tenggelam begitu saja di dasar benakku dengan pekerjaan dan tanggung jawab yang mengambang di atasnya.

"Mit, lo yang pegang PT SMI?" Tami, salah satu teman kantorku tiba-tiba menegur dengan wajah tertekuk kesal.

"Kenapa emangnya?" Aku mendongak, mengalihkan pandangan mata dari layar komputer ke wajahnya yang mulus bersih tanpa noda, hasil dari perawatan di klinik kecantikan yang tentu saja biayanya tidak main-main. Tami memang tidak cantik alami, dia cantik dengan berbagai suntikan botox juga filler di berbagai titik di wajahnya, tetapi siapalah aku untuk menilainya.

"Mau diaudit nih, rada ribet, PT nya lumayan gede juga ternyata."

"Kan biasanya kerjainnya setim kan?" Aku mengangkat alisku, tidak mengerti kenapa pertanyaan semacam ini dilemparkan kepadaku.

"Biasanya kan perusahaan-perusahaan gede macam gini, lu yang pegang Mit." Suara Tami terdengar melembut, pertanda wanita itu mulai membujuk kepadaku, paham betul bahwa dirinya tidak akan mampu memegang perusahaan besar seperti PT SMI tanpa dibantu olehku.

"Yaudah deh. Lu taro di situ dulu, nanti gue lihat."

"Yes! Makasih yah, Mit." Tami meletakkan beberapa file dan sebuah flashdisc di atas mejaku begitu saja. "Oh ya, nanti data lainnya menyusul via gdrive ya." Wanita itu menyunggingkan sebuah senyuman manis yang memuakkan, tahu betul bila dia bisa saja memenangkan percakapan kali ini karena aku tengah lelah dengan berbagai pekerjaanku sekarang dan enggan diganggu lebih lanjut lagi.

"Tapi gue nggak ngerjain ini, Tam."

"Beres, beres, gue ngerti. Bantu dikit aja kan ya?" Tami masih berusaha membujukku dengan suaranya yang dimanjakan, mungkin hal itu berlaku bagi berbagai pria yang tidur dengannya, entah sukarela atau pun dengan bayaran, tetapi hal yang sama tidak berlaku untukku, aku sudah kebal dan muak dengan sikapnya.

Aku akan pergi sebentar lagi dari tempat ini, tidak perlu menunggu lebih lama untuk peduli terhadap apa yang akan terjadi kepada mereka di sini. "Oke."

"Makasih ya, Mit. Oh ya, lu gendutan sekarang." Tubuhku menegang seketika mendengar komentarnya, seperti air es yang tersiram langsung ke ubun-ubunku. Aku belum memiliki waktu untuk cek kandungan di dokter, tetapi seluruh pakaian dan bahkan nafsu makanku masih normal seperti biasanya, seharusnya tidak ada orang lain yang menyadari perubahan yang terjadi pada diriku. "Kenapa sensi amat?" Tami tergelak melihat reaksiku. "Olahraga dan diet lagi lah. Lu keenakan makan kali." Wanita itu berkomentar sambil lalu.

Aku mengangguk kaku, enggan melanjutkan percakapan kami lebih jauh. Tami meninggalkan mejaku sementara aku masih terpaku menatap komputer yang menampilkan serangkaian angka.

Aku menarik napas dalam-dalam, memutuskan bahwa tetap berada di ruangan ini tidak akan membuat perasaanku lebih baik dan segera beranjak pergi.

Aku berjalan tertatih, hendak memilih toilet sebagai tempat kabur ketika sayup-sayup mendengarkan percakapan sekumpulan teman kantorku yang tengah membicarakan lipstik terbaru keluaran brand terkenal. Aku memutar badanku, memilih kabur ke lantai lima, di mana taman buatan gedung perkantoran ini biasanya kosong di jam istirahat.

Area ini bebas asap rokok, tetapi berada di tempat terbuka di area yang sepi tentu saja masih ada orang-orang yang seperti aku berusaha mencuri beberapa hisap nikotin di tengah gedung yang sepi.

Aku mengeluarkan sebatang rokok, rokok yang ku hindari jauh sebelum aku tahu ada makhluk yang tengah bertumbuh di dalam diriku. Tanganku menyalakan pemantik lalu mengisap rokok itu sekali dua kali, tiga kali. Berusaha menenggelamkan segala hal yang berada di dalam hidupku dalam-dalam. Kehidupan yang sia-sia, mati yang juga tidak akan kalah sia-sia bila pria itu tidak mendapatkan ganjarannya.

"Mita," Aku memutar tubuhku, melihat Raditya yang menghampiriku dengan kening bertaut rapat, terlihat tidak suka ketika melihat sebatang rokok yang kini sisa setengahnya ada di antara jemariku. "Gue kira lo udah berhenti merokok, Mit."

"Kadang masih." Aku menjawab sekenanya. "Gue kira lo nggak akan temuin gue lagi." Aku melemparkan pandangan ke jejeran gedung-gedung perkantoran, salah satu kantor Ezra berada dekat dari sini, tetapi anehnya kami tidak pernah bertemu atau bahkan pergi ke kantor bersama. Dunia kami semakin jauh, semakin berbeda. 

"Gue minta maaf soal Naya, gue .... "

"Nggak, gue yang minta maaf, Rad. Emang udah seharusnya gue nggak kontakan sama lo lagi. This is all wrong." Aku menarik napas dalam. "Rad, ada berapa persen kemungkinan Om Heru bisa dipenjara karena merkosa gue?"

Raditya terdiam cukup lama, membuatku menyadari proses ini memang tidak akan mudah dan bahkan nyaris tidak mungkin.

"Oke, gue ngerti." Aku melumat rokokku di dinding batu. Aku benci diriku sendiri yang tidak berdaya, lugu, dan bodoh, bahkan hingga detik ini. Saat ada janin yang berkembang di dalam diriku, aku tidak bisa menerimanya dengan mudah dan menyalahkan janin itu juga diriku. Bagaimana bila itu anak Om Heru? Aku membayangkan kemungkinan terburuknya dan aku tidak akan bisa hidup bahkan dengan sejumput darah pria itu di dalam tubuhku.

"Mita!" Raditya memanggil namaku ketika aku bergerak meninggalkannya, berada di dunia lebih lama lagi dan aku bisa gila, atau bahkan aku sudah mulai gila sekarang.

Aku melihat Tami yang berlenggang melewati lorong kantor, senyumku melebar ketika melihatnya, sedetik lagi anak Om Heru ini ada di dalam tubuhku, aku bisa minum racun dan langsung membunuh diriku saat itu juga. "Tam, lu tahu dokter nggak?"

"Dokter apa?" Tami memicingkan matanya curiga, menatap wajahku penuh selidik ketika melihat senyuman ramahku yang berbeda jauh dengan wajah ketusku tadi.

"Dokter kandungan."

Alis Tami menukik naik, terlihat kaget dengan pertanyaanku. Tami mungkin licik dan seringkali memanfaatkan keadaanku, tetapi ada saat-saat seperti ini dia terlihat simpati dan bahkan khawatir. "Anak Radi ya?" Wanita itu berbisik pelan. Aku enggan menjawabnya ketika Tami terlihat menunggu jawabanku, entah mengiyakan atau menidakkan jawabannya. "Gue bisa kasih lo obatnya sih, beli online juga bisa."

"Terserah."

"Atau gue juga bisa kasih nomor dokter, lebih aman, nggak beresiko, tapi ya gitu .... " Tami terdengar begitu berpengalaman ketika menjelaskan tata cara meminum obat hingga apa yang perlu kulakukan ketika meminum obat itu.

***

Apa kau tahu apa yang orang gila dan siap mati bisa lakukan? Mereka tidak bisa dihentikan, mereka bisa melakukan apa saja. Salah satu dari mereka itu aku.

Rasa bersalah, benci, putus asa, hilang akal, semua bertumpuk jadi satu ketika rasa sakit menusuk perutku. Pil putih itu kuletakkan di bawah lidah, seperti yang Tami sarankan. Perlu menunggu beberapa saat hingga yakin bahwa obat ini berjalan sebagaimana mestinya. Kepalaku berkunang, darah mengucur deras, aku bisa mati begitu saja di kamar mandi apartemenku.

"Dokter lebih aman, nggak beresiko." Saat berada di ujung kematian, apa pernah kau merasa menyesal dan ingin menyelamatkan dirimu? Mungkin ini semua kesalahan, mungkin tidak seharusnya aku membunuh bayi itu. Mungkin itu anak Ezra. Tuhan, bagaimana bila itu anak Ezra? Aku membunuh anakku sendiri. Aku pembunuh.

Aku memesan taksi online, berusaha membersihkan diriku sekenanya dengan wajah pucat pias dan darah yang terus mengucur dari kandunganku. Bahkan di detik seperti ini pun aku tidak bisa menghubungi Ezra dan menjelaskan apa yang terjadi, hidup atau pun mati, anak ini adalah kesalahanku. Tidak, anak ini tidak salah apa pun, semuanya salahku karena tidak bisa melindungi diriku sendiri dan menyalahkannya.

Supir taksi online itu dengan baik hati membawaku ke ruang emergency lalu meninggalkanku di sana dengan berbagai masalahku. Dokter berusaha berbicara kepadaku untuk menjelaskan apa yang terjadi, tetapi rasa sakit itu membungkamku.

Abortion spontaneous. Itu istilah yang mereka berikan ketika tidak bisa mengulik lebih jauh apa yang terjadi padaku. Aborsi spontan tanpa sebab, bukan aborsi yang terjadi karena kesengajaanku sendiri. Anak itu mati. Aku membunuhnya.

Aku membutuhkan seseorang di sini, ibuku atau Ezra, tapi aku tahu aku tidak akan bisa menjelaskan apapun kepada mereka.

Pada hari itu, aku tidak hanya berusaha membunuh anakku, tetapi juga diriku sendiri.

The Missing Years | ?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang