Setelah menitipkan rumah pada Mawar—tanpa persetujuan gadis itu. Kini, Amora dan Awan berada di atas bukit yang tak jauh dari kota. Matanya memandang ke bawah di mana rumah dan gedung-gedung bermandikan cahaya. Sangat indah sekaligus menakjubkan.
Di sini dingin, tapi tak cukup membuat Amora menggigil kedinginan. Semilir angin sepoi-sepoi menerbangkan helai rambutnya. Gemerisik dedaunan membuat suasana semakin menenangkan.
Amora paham mengapa Awan mengajaknya ke sini. Semacam kebiasaan, lelaki itu akan mengajaknya ke suatu tempat yang sepi nan sunyi untuk menenangkan pikiran. Amora cukup tau jika lelaki itu tengah mengalami sebuah masalah yang mungkin lumayan berat.
Amora tak akan memaksa Awan untuk bercerita. Ia lebih dari sanggup menunggu sampai lelaki itu bercerita dengan sendirinya. Sekarang, dia hanya mampu memberikan pelukan penenang agar Awan merasa tenang.
"Apa Awan gak berguna?" tanya Awan di sela pelukan. Hembusan napas hangat menerpa telinga Amora dan membuatnya geli.
Pertanyaan Awan yang nyaris berbisik membuat tubuh Amora meremang. Ada sensasi tersendiri. Semacam digelitiki dan rasa geli itu menjalar ke perut. Meskipun tak ayal Amora tak nyaman dengan isi pertanyaan. Ia menggeleng keras seraya menjawab tegas, "Kamu sangat berguna, Awan. Kenapa ngomong gitu?"
Awan menguraikan pelukan, lalu tidur di paha Amora. Ia tersenyum menatap wajah Amora yang sangat cantik dan imut dalam waktu bersamaan. Apalagi wajahnya yang tertimpa cahaya rembulan semakin menambah keayuan Amora. "Ha-ha-ha, biasa. Ayah siksa aku lagi. Kayak cerita sebelum-sebelumnya, dia bilang aku anak gak berguna, pembawa sial, dan sebagainya."
"Dia masih siksa kamu?" tanya Amora memastikan.
"Iya."
"Kok bisa? Padahal udah gue ancem biar gak nyiksa Awan lagi," gumam Amora terlampau pelan. Amora merogoh tas selempang, lalu mengeluarkan plaster biru gelap dengan gambar hati di tengahnya.
Amora menempelkan plaster pada luka gores di dahi Awan. Tangannya terulur untuk mengelus luka lebam di sudut mata serta bibir Awan. "Pasti sakit."
"Sakit banget," adu Awan dengan wajah memelas. Setelahnya, Awan menampilkan wajah cerah. "Aku tau obatnya apa."
"Memang apa?" tanya Amora tanpa menghentikan elusan pada kepala Awan. Setahu Amora, obat untuk luka akibat hantukan benda tajam dibersihkan oleh alkohol serta obat merah. Sedangkan untuk lebam bisa dikompres dengan air panas maupun air es.
"Ciuman."
"Hah?" Amora tak mampu memproses ucapan Awan. Sangat kentara jika Amora tengah bingung. Terlihat dari wajahnya yang cengo serta mulut yang terbuka.
Tunggu-tunggu! Teori mana yang membahas soal pengobatan dengan sebuah ciuman? Amora merasa tak pernah mendengar itu. Bahkan, ketua PMR sekali pun tak pernah menyinggung persoalan ini.
Awan terkekeh kecil melihat kebiasaan Amora di saat bingung. Wajahnya imut. Terlebih pipinya yang semakin membulat itu menambah kadar kemanisan Amora. "Ini rahasia. Satu ciuman bisa ngobatin luka di tubuh Awan."
"Makanya kamu harus kasih ciuman di sini." Awan menunjuk luka di sudut bibir. "Dan di sini." Awan menaikkan jarinya guna menunjuk lebam di sisi mata.
"Oke." Amora tak akan melepaskan kesempatan begitu saja. Amora menunduk, rambutnya menjuntai dan mengenai wajah Awan di bawahnya. Tapi Amora tak mempermasalahkan itu. Ia makin menunduk untuk mencium tempat yang tadi Awan tunjuk.
Setelah itu, ia kembali menegakkan badan dan mengalihkan pandangan ke arah lain dengan pipi merona. Jantungnya berdegup kencang. Amora hanya berdoa semoga Awan tak mendengar suara jantungnya.
Lagi-lagi Awan terkekeh gemas. Ia mengapit pipi Amora dan mengarahkan agar menatap ke arahnya. "Ulululu, lucu banget, sih," ujar Awan tertahan.
Awan menurunkan kepala dan merebahkan diri di atas rerumputan. Ia menepuk tempat di sebelahnya agar Amora tidur di sana. "Sini!"
Amora menurut. Ia merebahkan tubuhnya di samping Awan dengan tangan lelaki itu sebagai bantalan. Matanya menatap ke atas, tepat pada langit malam bertabur bintang. Amora tak ingat kapan terakhir kali melakukan hal romantis seperti ini bersama Awan.
Awan memandang wajah cantik Amora. Dari jarak sedekat ini mampu membuat jantung Awan berdebar. Lekuk wajah Amora tak berubah sedikit pun. Masih sama seperti dulu. Dan tampaknya, hobi Awan untuk memandangi muka Amora seharian penuh akan kembali.
Mata Amora berbinar kala melihat sesuatu di langit melintas begitu cepat. Sangat indah. "Itu!" tunjuk Amora.
Awan lantas mengalihkan pandangan dan mendongak menatap ke arah tunjuk Amora. Melihat benda langit yang melesat, cepat-cepat Awan mengecek jadwal di kalender ponselnya. "Hujan meteor alpha capricornids dan delta aquarids. Kebetulan yang menarik," gumam Awan seraya mendongak menatap benda yang melesat dari arah Timur dan bergerak ke Barat.
Awan tersenyum, ia tak merasa menyesal mengajak Amora ke sini. Meskipun di sini gelap, tapi Awan merasa senang. Selain hatinya menjadi tenang, ia juga bisa melihat salah satu fenomena langit bersama orang terkasih. Terlebih, Awan bisa mendapat senyuman cerah serta ciuman Amora.
"Cantik banget, gila!" seru Amora semangat.
"Masih cantikan kamu," celetuk Awan. Lelaki itu memeluk tubuh Amora dengan erat. "Bahkan, di dunia ini gak ada yang lebih cantik dari kamu."
Celetukan Awan mampu menciptakan semburat merah di pipi Amora. Terlampau malu, ia menyembunyikan wajahnya di dada bidang Awan yang mana membuat Awan terkikik geli.
Jujur, mendengar gombalan receh Awan setelah sekian lama melahirkan gelenyar aneh. Amora tak menyangka efeknya seperti ini. Karena sebelum-sebelumnya, Amoralah yang sering menggombali Awan. Apa mungkin, Awan juga merasakan perasaan yang sama?
"Kalau diibaratkan, bunga pun bakalan layu saking insecure-nya sama kamu," lanjut Awan.
"Diamlah!" cicit Amora seraya memukul bahu Awan. Seketika itu juga Awan meledakkan tawanya.
"Aduh! Lucu banget pacarnya Awan," goda Awan seraya mengacak gemas puncak kepala Amora.
"Minggu depan aku ada olimpiade matematika," adu Awan. Ia menatap muka Amora yang berada tepat di bawahnya. "Kayaknya, kita bakalan jarang ketemu."
Awan memasang wajah sedih. Ia tak bisa membayangkan sehari saja tanpa kehadiran Amora. Kehidupan Awan pasti akan sangat membosankan. Dan, ya. Bagaimana jika Amora dekat dengan laki-laki lain? Bagaimana jika Amora direbut oleh pemuda yang lebih tampan dari Awan?
Memikirkan semua itu membuat Awan semakin takut. Awan ingin menolak olimpiade ini. Tapi, Awan tak mungkin menyia-nyiakan kesempatan yang diberi. Apalagi, jika Awan memenangkan olimpiade, ia akan mendapatkan beasiswa untuk kuliah di kampus impian.
"Jangan sedih! Nanti Mora yang bakal datang ke rumah buat nemenin kamu. Kita juga bisa video call biar kamu ada temennya." Amora mendongak seraya tersenyum manis. Ke dua matanya menyipit serta lesung pipi terlihat semakin jelas.
Awan tampak tertarik dengan tawaran Amora. Alisnya naik, tak lama senyuman terbit di wajah tampannya. "Janji?"
"Janji."
Senyuman Awan semakin lebar. Ia merapikan rambut Amora. Kemudian merogoh saku celana dan memasangkan jepit rambut pada poni Amora. Ia juga mengikat rambut pendek Amora. "Nah, makin cantik."
____________________________________________
03 Agustus 2022

KAMU SEDANG MEMBACA
Second Life: Breytast Awan! [END]
Teen Fiction"Hadiah yang gue mau cuman satu. Lo hilang dari kehidupan gue untuk selamanya! Lebih bagus lagi kalau lo mati!" Amora kira ucapannya tak akan dianggap serius oleh Awan. Amora pikir, Awan akan mengerti jika keinginannya hanyalah omong kosong belaka...