Intan Agnesia. Nama cantik pemberian sang ayah. Gadis ceria yang berubah mengerikan akibat tindakan kedua orangtuanya.
Memang dia tak pernah mendapatkan kekerasan dari ibu atau pun ayahnya. Hanya saja, sedari balita Intan sudah disuguhkan keributan yang dibuat oleh mereka. Bisa dibilang, keributan adalah teman setianya hingga kini.
Bantingan. Lemparan. Teriakkan. Suara pukulan. Tangisan. Makian. Semua itu tak lagi asing. Intan muak. Ia ingin seperti orang lain yang menerima kasih sayang, bukan suara mengerikan seperti itu. Ia iri dengan anak-anak lain yang selalu diantar-jemput setiap berangkat sekolah sewaktu TK. Ia iri. Sangat-sangat iri.
Karena penyakit hatinya, Intan tak segan merampas 'kebahagiaan' milik orang lain. Ia ingin melihat orang lain sama menderitanya. Pun, ia senang melihat orang kesepian, terpuruk, frustasi, takut, dan sedih. Karena itu menandakan, bahwa bukan dirinya saja yang menderita.
Intan sadar jika segala tindakannya pada orang lain sangat merugikan. Sudah tak terhitung jumlahnya dan mungkin tak termaafkan. Tapi, apa peduli Intan? Yang dia pedulikan hanya bagaimana rasa senang itu hadir ketika orang lain menderita karena ulahnya.
Gila?
Haha, yang benar saja? Tanpa orang lain sebut pun Intan sadar jika dirinya tak waras. Toh, manusia waras mana yang lebih mementingkan merampas kebahagiaan orang dibanding membangun kebahagiaannya sendiri?
Bahagia?
Entahlah. Intan bahkan tak tau makna kebahagiaan sesungguhnya itu apa. Yang ia tahu ... dirinya merasa senang ketika menyaksikan penderitaan orang.
O–oh! Intan ingat jika dulu pernah mengharapkan kebahagiaan. Dulu, sewaktu kecil Intan seringkali meminta pada Sang Kuasa agar kedua orangtuanya bercerai. Mungkin, dengan itu Intan akan merasakan apa yang namanya bahagia.
Tepat ketika usianya memasuki sebelas tahun, kedua orangtuanya memutuskan untuk bercerai. Intan senang? Jelas! Ia berpikir kebahagiaan akan segera menjemput.
Sayang. Harapan hanyalah harapan. Kebahagiaan tak kunjung datang. Intan malah semakin menyelam dalam kesuraman dan kesengsaraan. Terlebih, ketika sang ibu membawa kekasih brondongnya yang melecehkan dirinya. Ketika itu terjadi, Intan masih terlalu belia untuk mengerti.
Seiring berjalannya waktu, sedikit demi sedikit Intan paham apa yang dilakukan oleh calon ayah tirinya begitu menjijikkan. Ia benci mengakui jika dirinya telah ternoda.
Intan semakin membenci manusia-manusia di luaran sana. Mereka menjijikkan. Katanya, manusia itu egois. Tak jauh berbeda dengan dirinya.
Intan membatasi diri untuk bersosialisasi. Bahkan, sewaktu sekolah dasar ia lebih menyukai duduk di pojokan kelas dibanding main kejar-kejaran seperti teman yang lainnya.
Hingga saat itu tiba, di mana seorang anak lelaki ceria nan tampan mengulurkan tangan dan mengajaknya berteman.
"Hai! Kamu kok sendirian aja di sini? Kamu gak takut sama hantu? Kata Eza, hantu suka makan anak-anak. Apalagi, anak yang suka sendiri," katanya dengan polos. Saat itu Intan tak bereaksi banyak. Ia hanya diam bergeming tak mengeluarkan suara.
"Karena aku baik, jadi kita temenan aja, yuk? Aku gak mau kamu dimakan hantu gara-gara gak punya temen," lanjutnya setelah tak mendapat respon dari Intan. Anak lelaki itu tersenyum manis sembari menjulurkan tangan kanan.
Intan tercenung, anak di depannya begitu hangat bagaikan mentari. Senyumnya memabukkan. Tak lupa binar polos yang menambah kadar ketampanan.
Dia ... Awan.
Intan benci mengakui jika dia sempat terpesona. Hanya beberapa detik. Karena setelahnya, Awan menarik tangan Intan paksa dan mengajaknya untuk bermain ayunan.
Intan ingat bagaimana manisnya senyuman anak lelaki itu. Hingga tak lama, ia menarik seulas senyuman tipis. Intan tau apa yang harus dia lakukan pada Awan ke depannya.
Ya. Membinasakan senyuman manisnya. Apalagi memangnya?
"Sepertinya, rencana gue gagal?" monolog Intan dengan pandangan lurus menatap sepasang muda-mudi dimabuk asmara. "Senyuman yang gue tunggu untuk hilang malah semakin terkembang indah. Dan ... semua itu gara-gara Amora sialan."
"Udah capek-capek gue rebut semua kebahagiaan dia. Dari mulai; ngejebak ibunya biar selingkuh, bikin perusahaan keluarga bangkrut, dan buat ayahnya terlilit hutang." Intan menggaruk pipi dengan pandangan tak lepas dari Awan dan Amora. "Padahal, sedikit lagi senyuman itu lenyap."
Jika ditanya apa yang Intan benci. Dengan lugas Intan menjawab senyuman Awan dan Amora. Alasannya? Cukup simpel. Senyuman tulus Awan terlihat mengejek di mata Intan. Sedangkan Amora, kehidupan gadis itu terlalu sempurna untuk dilihat.
Intan menaikkan masker hingga menutupi mulut dan hidung. Ia membenarkan posisi kacamata serta topi hitamnya. Intan mengeratkan pegangan pada kresek hitam berisi berbagai jenis makanan.
Huft. Ternyata, bersembunyi dari banyak orang itu melelahkan. Pergerakan jadi terbatasi. Segala aktivitas yang biasa dilakukan terpaksa berhenti. Dan yang terpenting, Intan harus hidup nomaden dengan cara berpindah dari satu hotel ke hotel lain.
Tapi tak apa. Intan akan segera mengakhiri ini semua. Dia hanya perlu bersabar sebentar lagi. "Sabar, Intan! Tunggu sebentar lagi!"
Muak melihat adegan romantis di depan sana, Intan memutuskan untuk melanjutkan langkah kakinya yang sempat terhenti. Intan merogoh saku celana guna mengambil ponsel seraya mempercepat laju jalan.
Setelah berhasil mendapatkan apa yang dicari, Intan menyalakan layar ponsel, mengambil beberapa jepret foto, menggulir layar, dan mengetikkan sesuatu. Kemudian, Intan membuka case ponsel, mengeluarkan satu kartu SIM, dan membuangnya ke sembarang tempat.
Intan masuk ke mobil yang terparkir tak jauh dari taman. Membuka kacamata serta topi, lalu melemparkan ke jok belakang. Ia merapikan rambut yang berantakan seraya menghela napas beberapa kali.
Intan kembali menyalakan ponsel untuk menelepon seseorang. Tak berapa lama panggilan diangkat. "Percepat rencana." Setelahnya, Intan mematikan sambungan tanpa menunggu jawaban di seberang sana.
Tak perlu khawatir. Orangnya pasti mengerti apa yang ia maksud. Intan arahkan tangannya untuk memutar kunci, lalu beralih pada setir mobil.
Sekali lagi—sebelum melajukan kendaraan beroda empat, Intan menghela napas seraya memandang spion yang memantulkan sosok Awan serta Amora. "Sebentar lagi, Awan. Sebentar lagi ... gue pastikan senyuman itu bakalan lenyap," ucapnya sembari menyunggingkan senyuman sinis.
___________________________________________
13 September 2022

KAMU SEDANG MEMBACA
Second Life: Breytast Awan! [END]
Teen Fiction"Hadiah yang gue mau cuman satu. Lo hilang dari kehidupan gue untuk selamanya! Lebih bagus lagi kalau lo mati!" Amora kira ucapannya tak akan dianggap serius oleh Awan. Amora pikir, Awan akan mengerti jika keinginannya hanyalah omong kosong belaka...