Bulan bersinar penuh malam ini, menghiasi langit malam berkawan ribuan bintang yang berkelip indah. Semilir angin masuk melalui celah jendela yang sedikit terbuka, pun menerbangkan gorden biru muda.
Harusnya, di malam yang indah ini kencan malam mereka masih berlangsung. Sayangnya, di tengah perjalanan menuju taman belakang komplek, seseorang menelpon. Suaranya parau, disusul tangisan dan makian. Si penelepon meminta Amora untuk segera pulang. Katanya, dia membutuhkan pelukan dan teman cerita.
Amora kasihan. Ia mengiyakan permintaan itu. Meminta pada Awan agar pulang lebih awal dan meminta maaf atas kencan yang tak usai. Awan tampak marah saat itu, tapi tak menolak keinginan Amora.
Awan mengantarkan Amora pulang dengan selamat. Meskipun dalam perjalanan tak ada percakapan sedikit pun. Bahkan, saat Amora turun dari sepeda motor, Awan tetap diam. Pemuda itu langsung menyalakan mesin dan memarkirkan motor ke dalam garasi. Kemudian, masuk ke dalam rumah seraya membanting pintu.
Amora yang masih berdiam di depan pagar saat itu hanya mampu mematung. Setelahnya menggeleng pelan menatap kemarahan Awan.
Ketika berbalik, Amora terkejut dengan pelukan yang dia terima secara mendadak. Saat itu Mawar tak bicara. Dia hanya menangis sesenggukan dalam pelukan Amora.
Amora yang dilanda kebingungan langsung meminta Mawar masuk ke dalam rumah dan menceritakan segalanya.
Dan di sinilah sekarang, Amora duduk di ranjang seraya menatap Mawar yang masih menangis dan enggan menceritakan apa yang terjadi. Amora menatap miris sekotak tisu di pangkuan Mawar yang habis tak tersisa. Padahal, tisu itu baru Amora beli kemarin malam. Tapi tak apa. Amora bisa beli lebih banyak lagi.
"Kak, ada tisu lagi gak?" tanya Mawar dengan suara serak.
"Ada. Bentar!" Amora menaruh guling ke samping, lantas berdiri menuju meja rias, membuka laci, mengambil tisu, dan kembali ke ranjang. "Nih." Amora melempar sekotak tisu ke pangkuan Mawar. "Lo kenapa, sih? Kayak yang habis putus tau, gak?"
Bukannya menjawab, Mawar malah menangis semakin histeris. Membuat Amora kepalang panik. Ia memeluk Mawar guna menenangkan sepupu cengengnya itu. "Udah-udah! Kalau belum sanggup cerita gak masalah. Yang penting lo tenang dulu, oke?"
"Kak ...." Mawar membuang ingusnya, lalu mengusap air mata yang membasahi pipi. "Gue d–diputusin." Tangisan Mawar kembali mengeras. Ia memeluk Amora semakin erat dan menyembunyikan wajahnya di ceruk leher sepupunya.
"Lho? Kok bisa? Bukannya kemaren kalian masih keliatan mesra?"
Mawar melepaskan pelukan. Ia menegakkan badan seraya membersihkan bawah hidungnya yang basah oleh cairan bening. "Ini semua gara-gara si murahan itu. Dia ... dia selingkuhan Kevin."
"Murahan?"
"Intan," jawabnya setelah beberapa saat terdiam.
"Hah?" Amora mengerutkan keningnya. "Intan sepupunya Awan?"
Mawar mengangguk. Ia mengambil tisu baru dan mengusapnya ke area mata.
"Kapan kalian putus?" tanya Amora.
"Tadi sore. Kevin bilang, dia udah bosen sama gue. Dia juga bilang kalau dia udah punya pengganti yang lebih baik." Selanjutnya, cerita pun mengalir dengan sendirinya.
Mawar menceritakan semuanya; ketika memergoki Kevin berciuman dengan Intan di taman, melabrak dan menjambak Intan, cek-cok dan mendapatkan tamparan dari Kevin hingga berakhir diputuskan di saat itu juga.
"Gila." Hanya itu yang keluar dari mulut Amora setelah menyimak cerita Mawar. Ia tak habis pikir dengan Intan. Mengapa gadis itu hobi mengincar para pemuda yang sudah memiliki kekasih? Benar-benar gila.

KAMU SEDANG MEMBACA
Second Life: Breytast Awan! [END]
Teen Fiction"Hadiah yang gue mau cuman satu. Lo hilang dari kehidupan gue untuk selamanya! Lebih bagus lagi kalau lo mati!" Amora kira ucapannya tak akan dianggap serius oleh Awan. Amora pikir, Awan akan mengerti jika keinginannya hanyalah omong kosong belaka...