05. 39 AM, Halilintar terbangun dari tidurnya saat ada seseorang mengetuk pintu kamarnya. Halilintar tahu jika dia kesiangan tapi kenapa harus dibangunkan juga, kenapa tidak sekalian tak usah membangunkannya sampai Halilintar benar-benar puas untuk tidur.
Halilintar masih mengantuk setelah tadi malam bergadang untuk bermain game dan menonton live idol favoritnya.
"Tidur lagi setelah salat subuh katanya bisa menghambat rezeki lho," ujar Ice yang baru saja masuk kekamar yang pintunya tidak pernah dikunci itu.
"Es nya cair," timpal Blaze yang belakangan ini mempunyai hobi mengikuti Ice ke mana-mana.
"Sisa dua hari sebelum pertandingan ke tujuh dimulai dan lo masih leha-leha di atas kasur?!" Blaze menarik selimut yang membungkus 97 persen dari bagian tubuh Halilintar.
"Udah lima hari ya?" rasanya baru kemarin pertandingan keenam berlangsung tapi sudah hampir seminggu saja, waktu berjalan terlalu cepat ternyata.
"Babi pemalas, kerjaan lo cuma makan tidur makan tidur doang." ketua Blaze kesal.
"Gue gak makan, cuma makan mie doang," ungkap Halilintar.
"I-".
"Bukan makan kalau gak ada nasi," celetuk Ice memotong ucapan Blaze, "nih dimakan sebelum Papa datang, kamu juga butuh energi buat jalanin aktivitas." Ice meletakan piring nasi beserta lauk pauknya dan tak lupa segelas air putih.
"Aku cepuin Papa," Blaze menatap Ice sengit.
"Kamu mau jadi narapidana karena menganiaya anak dibawah umur?" Ice bertanya tanpa adanya emosi didalam suara, alias benar-benar dingin.
"Kapan?".
"Halilintar kan aslinya 13 tahun, lebih muda satu tahun dari kita." Ice melirik Halilintar yang kembali tidur lelap.
"Apa hubungannya?".
"Mandi dulu, entar dimarahi Papa kalau telat," Ice menarik tangan Blaze keluar dari kamar itu bersamaan dengan dirinya yang juga ikut keluar dari kamar.
"Aku udah mandi kok!" seru Blaze.
"Masih bau baygon juga," cetus Ice.
Halilintar melirik ke jendela kamarnya dan menghela napas lelah saat melihat pemandangan dari celah tirai yang terbuka, ia menggumamkan kata suram saat melihat cuaca yang lagi-lagi mendung.
Terlepas dari menatap tirai sekarang cowok itu berjalan menuju jendela dan membuka tirai untuk membiarkan cahaya kegelapan masuk kedalam.
Omong-omong apakah ada cahaya kegelapan? Bukankah ditempat gelap tidak ada cahaya? Meskipun ada itu adalah cahaya dari gigi putihmu yang bersinar serta mata indahmu yang memancarkan cahaya ilahi.
"Ice baik tapi entah kenapa gue gak suka dia ada disekitar gue," Halilintar duduk dikursi yang ada di dekat jendela, mungkin gunanya untuk melihat pemandangan dia luar yang tak bisa dilihat dari balkon.
"Hari itu Blaze bilang, gue penyebab 'dia' pergi, tapi 'dia' itu siapa? Orang lain dari keluarga ini?".
"Pengganti? Pengganti apa? Emangnya boleh orang yang udah meninggal digantiin perannya?".
"Uhh tunggu," Halilintar sontak berdiri saat ingat akan sesuatu, "kalau gue disini lalu jiwa asli pemilik tubuhnya ada dimana? Dia masih didunia kan?".
"Pengganti? Apa Blaze tau kalau gue orang yang berbeda sama adiknya?".
"Impossible dia bisa tau. Apa gue bakalan dipenggal setelah ini?".
Halilintar menatap keluar yang dimana dapat dia lihat Gempa dan Taufan yang sedang bermain air selang dibawah langit mendung yang bisa hujan kapan saja.
"Bahagia banget keliatannya," katanya untuk yang terakhir kali sebelum akhirnya dia pergi kekamar mandi untuk melakukan rutinitas hariannya.
.
.
.Pada hari itu di sebuah mobil, seorang perempuan dan tiga orang anak laki-laki. Dua diantaranya tidak banyak bicara sedangkan yang santunya lagi sombong dan selalu mengagungkan dirinya.
"Bunda udah telepon Papa jadi kita bakalan aman," kata satu-satunya wanita disana. Ia berusia tenang agar anak-anaknya tak ketakutan disaat sekarang mereka sedang dikepung oleh puluhan mobil dan banyak pria bertubuh besar berkeliling disekitar mobil mereka.
"Mereka musuh-musuh Papa kan Bun? Ice nggak yakin kita bakalan aman dan pulang hidup-hidup,".
"Anak kecil gak boleh ngomong hal seram gitu," tegur yang paling tua diantara tiga anak laki-laki tadi.
"Kamu juga kan anak kecil!".
Pranggg!
Bunyi kaca pecah yang diiringi suara tembakan membuat semua orang di sana terkejut.
"Bunda!" si bungsu menjerit ketakutan, dia juga turut terkejut saat melihat sang ibu tak sadarkan diri dengan darah yang mengalir dari dahinya.
"Kak, Bunda," anak itu menangis saat melihat ibu dan kakak kelimanya tak sadarnya diri dengan darah ditubuh.
"Bunda, Ice bangun!".
"Aduh," Halilintar meringis kesakitan saat dahinya terantuk meja. Ah benar, ia tertidur saat jam pelajaran yang paling dia benci.
"Beruntung gak dikeluarin dari kelas," ucap teman sebangku Halilintar, siapa lagi jika bukan Fang.
"Udah jam pelajaran kedua?" tanya Halilintar yang lantas diangguki Halilintar.
"Setelah ini jamkos sampai pulang, guru PKN lagi ke kondangan sama istrinya, terus guru fisika lagi KKN. Setelah pulang jam dua nanti, anak basket latihan dulu sampai jam empat karena sisa waktunya tinggal beberapa hari lagi buat pertandingan ketujuh," jelas Fang.
"Baru bangun, jangan ngasih informasi dulu." Halilintar menguap saat rasa kantuk masih menyerang.
Braaak!
"Duh,".
Halilintar menoleh ke asal suara dan setelahnya dia tertawa pelan saat melihat Gempa terjatuh karena tersandung tapi sepatunya.
"Sakit Kak?" tanya Ice yang kebetulan anak kelas itu juga.
"Pake tanya," sahut Gempa. Rasa sakit yang Gempa rasakan tak sebesar rasa malu yang dia tanggung saat ini, apalagi kelas ini dominan murid perempuan lantaran sebagian murid laki-laki pergi bolos dengan alasan ke toilet.
Halilintar merapikan bukunya lalu menelungkup kepalanya diantara lipatan tangannya, "kalau udah ada guru bangunin,".
"Sip.".
"Kamu gak ikut bolos kayak anak-anak lain?" tanya Fang.
"Aku mau tidur, ngantuk banget Fang.".
"8 tahun lalu kamu bukan Halilintar lho,".
Halilintar lantas mengatakan kata 'hah' saat mendengar ucapan Fang barusan, "ulangi!" titahnya.
"Aku gak bisa nyeritain lebih, sebaiknya kamu ingat-ingat sendiri sisanya.".
Halilintar mendengus, lagipula untuk apa mengatakan itu jika pada akhirnya tidak memberitahunya juga.
"Kalian delapan bersaudara, bukan bertujuh." celetuk Fang.
Lagi-lagi kata 'hah' keluar dari bibir kemerahan Halilintar, "jelasin sekarang juga Fang!" tuntut Halilintar.
"Kamu tanyain Papa kamu, aku gak punya hak apa-apa soal itu," Fang tersenyum tipis diakhir ucapannya dan setelahnya cowok itu sibuk pada buku-bukunya.
"Bastard," umpat Halilintar kesal, untuk pertama kalinya dia mengumpat dalam hidupnya, tetapi entahlah Halilintar juga tidak ingat dia pernah mengumpat atau tidak sebelumnya.
─────TBC─────

KAMU SEDANG MEMBACA
1. Two Sided Life
FanfictionHalilintar, seorang pemuda dengan sifat pendiam dan cenderung introvert. Namun, dia harus mengalami sebuah kejadian naas saat kepulangannya dari sekolah. Tetapi bukannya pergi ke akhirat jiwanya malah bertransmigrasi kedalam tubuh pemuda yang memil...