"Bilang sama gue kalau Halilintar bukan anak Papa!" ia memegang bahu Ice kuat yang membuat sangat empunya meringis.
"Gue mohon sama lo!" pinta Gentar dengan intonasi suara yang lebih lembut dibanding tadi.
"Tapi, kenapa? Kamu punya masalah sama Halilintar?" Ice benar-benar tak mengerti, seharusnya Gentar justru senang 'kan karena masih bisa dipertemukan dengan sang kakak? Namun, kenapa reaksinya malah seperti itu?
Tapi, tatapan Ice berubah khawatir saat melihat Gentar yang tampak kesulitan mengambil napas. Ice memang tahu dengan kondisi cowok itu, Gentar sempat bercerita tadi makanya sekarang ia begitu khawatir.
Lagipula Gentar memiliki masalah apa dengan Halilintar sehingga anak itu tampak tidak menyetujui hubungan mereka sekarang.
Ice tidak mengerti.
Gentar tak membalas, dia mendorong Ice lalu memaksa tungkainya dan berlari keluar dari ruangan itu kendati sekarang ia bernapas saja sulit namun Gentar peduli? Tentu tidak.
"Lho, udah mau pulang?" Taufan melihat Gentar yang baru saja berjalan melewatinya bahkan seolah tak peduli pada Taufan yang ada disana.
Wajah Taufan mengernyit, rasanya bingung bercampur aneh. Tak seperti biasanya Gentar seperti itu, kendati anak yang satu tahun lebih muda darinya itu memang biasanya tempramental.
Gentar sendiri tidak peduli lagi dengan orang-orang disekitar yang menatapnya aneh. Katakan saja begitu karena memang iya.
Cukup lama kakinya bergerak sampai tidak sadar jika sekarang sudah berada diluar rumah sakit, lebih tepatnya berada di sebuah taman yang memiliki air mancur di tengah-tengah lokasinya.
Udara disini sejuk, bunyi dari dedaunan yang bertabrakan pun turut mengisi indahnya sore ini bersama sepoi-sepoi angin yang bertiup.
Tak ayal, Gentar merasa orang-orang yang berada di tempat ini begitu bahagia sampai langit yang tadi mendung saja tiba-tiba terang kembali bersamaan dengan sang surya yang kembali menyinari sebagian dari bumi.
Gentar duduk di bangku taman, mengistirahatkan kakinya yang terasa lemas layaknya jelly. Kendati jarak rumah sakit dan tempat ini tak terlalu jauh tetapi tetap saja menguras tenaga.
Coba bayangkan ketika kau berlari dari lantai dua rumah sakit lalu mengitari halamannya yang tak sempit dan setelahnya berlari kembali menuju tempat yang terlihat sepi, lelah bukan? Benar, itu yang Gentar rasakan.
Gentar meremas dadanya yang terasa sesak dengan tangan gemetarnya. Bibirnya bergetar dengan cairan bening yang luruh di pipinya membentuk sebuah aliran sungai kecil.
"Gak mungkin kan? Gak mungkin dia ayah aku," getar suaranya masih jelas terdengar, tak bisa Gentar tutupi jika hatinya sakit sekarang.
"Aku gak mungkin punya ayah kayak gitu!" raungnya tak terima. Gentar menangis tak peduli lagi dengan orang-orang yang menatapnya kasihan bahkan takut.
"I-Ibu kan pernah bilang kalau keluarga itu saling melengkapi bukan saling menyakiti. Tapi, tapi ini - dia pasti bukan ayah aku kan?!" entah pada siapa Gentar bertanya, dia tak peduli lagi bahkan jika orang lain menganggapnya gila karena bicara sendirian.
"Yang aku liat cuma bohongan. Itu bukan badan aku 'kan? Aku, aku udah mati. Tubuh aku udah dikubur, udah dimakan belatung sama rayap sekarang. Itu bukan aku, itu orang lain!".
Gentar berusaha meyakinkan dirinya walau akhirnya sia-sia karena dia malah kembali menangis yang membuat dadanya semakin sesak.
Inhaler yang dibelikan Ice tadi juga tidak ia bawa karena ia kira tak akan seperti ini jadinya. Di antara anak-anak lain memang Ice lah yang paling kaya karena setiap bulannya terkadang diberi lebih dari 10 juta, bahkan Taufan saja hanya di kasih satu juga perminggu.

KAMU SEDANG MEMBACA
1. Two Sided Life
FanfictionHalilintar, seorang pemuda dengan sifat pendiam dan cenderung introvert. Namun, dia harus mengalami sebuah kejadian naas saat kepulangannya dari sekolah. Tetapi bukannya pergi ke akhirat jiwanya malah bertransmigrasi kedalam tubuh pemuda yang memil...