Mungkin marah, Taufan yang tadinya sedang duduk santai beralaskan karpet sembari menggambar sampai terkejut saat pintu terbuka, Blaze pelakunya.
Taufan tak mengerti, dan jika dilihat-lihat pun belakangan ini Blaze memang lebih tempramental dibanding biasanya, memang dahulu cowok itu juga sama pemarahnya tapi rasanya akhir-akhir ini lebih parah.
"Kamu kenapa?" tanya Taufan mencoba untuk tetap ramah karena takutnya Blaze malah melampiaskan kekesalannya pada Taufan yang tak tahu apa-apa.
"Ini juga, semalam kamu kemana? Untung Papa lagi gak ada, coba aja kalau ada udah abis tuh muka." Taufan sebenarnya khawatir pada Blaze yang menghilang seharian tanpa kabar tapi justru sekarang malah kesal pada Blaze yang mengabaikannya.
"Jangan ulangi lagi kayak gitu, Papa gak akan suka kalau kita nggak nurutin apa yang dimintanya." Taufan melanjutkan ucapannya sebelum dia kembali mewarnai buku gambar yang terdapat coretan pensil dengan bentuk angsa.
"Udah ceramahnya?" Blaze menatap tak ramah pada Taufan yang justru kebingungan.
"Gue capek Fan. Tiap hari, tiap jam, apa-apa Papa terus. Gue capek jadi bonekanya yang harus nurut atas semua perintahnya." Blaze mengalihkan perhatiannya kearah tangga yang dimana terdapat Ice yang hendak turun di sana.
"Tunggu Blaze, kamu ngomong apaan sih?" Taufan berdiri, dia menghampiri Blaze yang kala ini akan menaiki anak tangga pertama.
"Apalagi?" Blaze menaiki satu persatu anak tangga, dia membalas ucapan Taufan tanpa menoleh.
Ice yang sejak tadi memperhatikan, menahan tangan Blaze saat Blaze akan melewatinya.
"Blaze, ada apa?" ada gurat khawatir dari wajah Ice.
Blaze menghempaskan tangan Ice yang memegang lengannya lalu melanjutkan jalannya untuk ke kamarnya.
"Tuh bocah kenapa?".
Ice mengendikkan bahu saat Taufan bertanya demikian.
"Kak, ini gue mau izin ..." Ice menuruni tangga dan menghampiri Taufan sebelum melanjutkan ucapannya.
"Mau kemana?" bukan Taufan yang menjawab tetapi Gempa yang baru saja pulang dari rumah temannya.
"Ke toko buku, gak sendiri kok ada Gentar juga." sedikit tidaknya Ice takut, sifat Gempa tak jauh bedanya dengan sang ayah dan bahkan mungkin keduanya bahkan bersekongkol saat ini.
"Kenapa Gentar? Gak ada yang lain? Solar, Thorn, Taufan, atau Blaze juga bisa ngantar kamu ke toko buku." sudah jelas Gempa menolak, dia tak suka melihat Ice yang berdekatan dengan Gentar.
"Iya tapi-".
"Kenapa lo gak suka? Ya udah, apa peduli gue? Mau lo izinin atau nggak, gue bakalan tetep jalan sama Ice." ucapan Ice terhenti saat suara Gentar terdengar. Cowok yang sekarang berpenampilan tak jauh bedanya dengan Gentar beberapa bulan lalu menuruni tangga dan berhenti disamping Ice.
Ice menatap Gentar saat dia merangkul Ice, jujur saja masih ada rasa takut di benak Ice jika mengingat perlakuan Gentar beberapa bulan lalu.
Gempa berdecak, jika Gentar sudah datang maka dia kalah telak. Padahal dulu ia yang paling bisa mengontrol Gentar namun sekarang Gentar malah tak punya rasa takut padanya.
"Kita pergi dulu, tapi omong-omong," Gentar berhenti melangkah saat didepan Taufan, "lo mau ikut?".
.
.
.Gentar asli memang tak menyuruh Halilintar untuk menjadi sepertinya tetapi ini keinginan Halilintar, walau tidak sepenuhnya setidaknya dia sedikit bersikap sebagaimana Gentar.

KAMU SEDANG MEMBACA
1. Two Sided Life
FanfictionHalilintar, seorang pemuda dengan sifat pendiam dan cenderung introvert. Namun, dia harus mengalami sebuah kejadian naas saat kepulangannya dari sekolah. Tetapi bukannya pergi ke akhirat jiwanya malah bertransmigrasi kedalam tubuh pemuda yang memil...