Waktu berlalu tanpa terasa. Hari-hari masih dipenuhi kabut duka. Seorang ibu dengan setia menemani putranya yang terbaring belum sadarkan diri di atas brankar rumah sakit. Mengajaknya berbicara tanpa ada balasan. Tangannya bergerak, membelai surai hitam itu dan mendaratkan satu kecupan tulus pada wajahnya.
Mia kembali duduk di kursi samping brankar Rafael koma, memerhatikan setiap inci wajah anaknya itu. Sungguh unik, dia telah melahirkan seorang putra berwajah manis layaknya anak perempuan. Bulu mata panjang serta bibir merah muda yang menyatu dengan kulit putih pucat.
Perempuan itu mengembuskan napas berat kemudian menatap ke luar jendela ruang Rafael dirawat. Tatapan kosong mengisi hari-harinya belakangan ini. Bayangan tentang anak sulungnya yang kini telah tiada terus berputar di benaknya. Bagai sebuah film rusak nan melambat.
Memasuki pertengahan bulan November, suhu di luar semakin menurun. Musim dingin kembali menyapa dengan payung-payung yang setia menaungi pemiliknya dari tetesan air hujan.
Setiap hari berita yang menimpa sekolah dasar khusus putra itu tidak pernah absen dari layar-layar. Para penyelidik kasus itu masih bolak-balik ke sekolah, mereka kekurangan bukti.
Satu-satunya yang bisa mereka andalkan saat ini adalah CCTV. Akan tetapi, pihak sekolah mengabari jika mereka hanya memasang tiga CCTV yang merekam bagian luar ruangan. Fakta menyebalkan kembali mereka terima kala mengetahui dua CCTV lainnya yang terletak di lantai dasar atau pintu masuk baru diperbaiki setelah penduduk sekolah melewati pintu masuk. Padahal mereka ingin mengidentifikasi siapa saja yang datang pada hari itu.
Tepat seminggu berlalu sejak kejadian yang menggemparkan publik, siswa Sekolah Dasar Blueson kembali masuk sekolah setelah pihak sekolah memastikan jika situasi sudah berangsur-angsur mereda. Mereka memperingati seluruh siswanya agar tidak melewati garis polisi yang masih terpasang di tangga menuju atap sekolah.
Di hari pertama setelah diliburkan, semuanya tampak normal seperti sedia kala. Kecuali kepala sekolah yang mendapatkan sedikit masalah di pagi ini saat mengetahui siswanya sedang bermasalah. Mau tidak mau dirinya harus turun tangan untuk mendamaikan kedua siswanya.
Kepala sekolah berjalan ke salah satu kelas sebelum waktu pelajaran dimulai. Namun, baru ingin memasuki ruang kelas, matanya langsung tertuju pada anak laki-laki yang dia cari. Terlihat dari ransel yang di punggungnya, dia baru saja datang.
Tanpa basa-basi, kepala sekolah mengayunkan tangannya kepala anak itu. "Arei," panggilannya.
Arei balas menatap, dia segera mendekat ke arah kepala sekolah yang berdiri tepat di depan pintu kelasnya. "Ada apa?" tanyanya dengan bingung.
"Saya minta tolong, minta maaf segera kepada Liam."
"Ya?"
"Bukankah kalian sudah bertengkar dan melukainya? Kamu tidak merasa bersalah?" tanya kepala sekolah.
Mendengar itu, Arei merasa tidak suka. Kepala sekolah seolah menuduhnya langsung tanpa melihat apa yang terjadi di awal.
"Ayah Liam kemarin menelepon saya, jika Liam tidak ingin masuk sekolah sebelum kamu meminta maaf kepadanya," jelas laki-laki tua itu.
"Tapi, aku tidak bersalah, buat apa aku meminta maaf?" balas Arei.
Kepala sekolah tidak menyerah, dia terus membujuk anak itu agar ingin meminta maaf dengan Liam. Dirinya seolah trauma dengan kejadian Alfarel yang sempat bertengkar dengan Rafael. Dia tidak ingin lagi ada masalah di antara siswanya.
"Baiklah, aku akan meminta maaf dengan Liam. Mungkin aku memang keterlaluan," ucap Arei akhirnya. Dia tidak ingin membuat kerenggangan dengan kepala sekolah, ditambah lagi ayahnya yang seorang guru di sini.

KAMU SEDANG MEMBACA
The Eleven
Mystery / ThrillerBreaking News! "Seorang siswa Sekolah Dasar Blueson ditemukan meninggal dunia di rooftop sekolah pada 11 November pukul 11 malam. Para penyelidik menduga jika kejadian ini merupakan kasus pembunuhan. Saat ini, para pihak berwenang masih menyelidiki...