抖阴社区

CHAPTER 39

447 21 1
                                        

Mia berdusta ke panti asuhan. Saat di perjalanan, Hana mendapati seseorang meneleponnya. Tidak ada nama kontak tertulis di sana.

"Siapa?" tanya Devan melirik cermin dasbor untuk melihat Hana yang duduk di jok belakangnya.

"Nomor baru," jawab Hana kemudian mengangkat panggilan telepon itu. "Halo?"

"Atas nama Hana?" tanya orang itu di seberang.

Dengan sedikit ragu, Hana menganggukkan kepalanya. "Iya, benar. Ini siapa?"

"Ini pengacara Adrian. Klien saya ingin bertemu dengan Anda."

Hana mengerutkan keningnya mendengar hal itu. Dia melirik ke arah Mia yang dari tadi memerhatikan dengan raut wajah bertanya-tanya. Sebelum membalas ucapan itu, Hana menekan pengeras suara pada panggilan telepon yang sedang berlangsung agar bisa didengar dengan saksama. "Bukannya tidak boleh bertemu?"

"Benar. Tetapi, hal ini sudah disepakati sebelumnya dengan pengadilan dan juga dokter dengan syarat tertentu. Tuan Adrian ingin bertemu dengan Anda. Bisakah Anda kemari? Ke rumah sakit jiwa tempat paman Anda dirawat?" tanya pengacara itu.

Mia mengangguk pelan sebagai tanda setuju saat Hana terlalu bingung untuk menjawab apa. Mia merasa dirinya tidak punya alasan untuk melarang mereka bertemu.

Hana terpaksa mengiyakan ajakan itu. Setelah panggilan telepon terputus, mobil yang dikendarai oleh Devan mengambil arah lain. Ke tempat yang disebutkan.

Hana berpikir bahwa tidak ada tujuan lain lagi selain ingin bertemu tentunya. Melepaskan sebuah rindu. Dirinya memang tahu dengan apa yang dia lakukan. Namun, mengingat perlakuannya yang begitu baik dengannya membuatnya berpikir berkali-kali untuk menaruh rasa benci kepada saudara ibunya itu.

Sekitar dua puluh menit, mobil mereka sampai di tujuan. Memasuki pelataran rumah sakit jiwa dan memarkirkan mobilnya di tempat parkir. Suasana bangunan berlantai dua tersebut tampak lenggang. Hanya ada beberapa petugas yang berlalu-lalang.

Hana mulai turun dari mobil. Awalnya Devan ingin menemaninya, tetapi ditolak langsung oleh Hana karena alasan hanya dirinya yang diizinkan untuk mengunjungi pasien rumah sakit jiwa tersebut.

Untungnya, tempat parkir berada tepat di depan bangunan berlantai dua itu. Dengan begitu, mereka masih bisa melihat aktivitas petugas di sana.

Melihat Devan yang sepertinya gelisah, Mia bersuara, berniat menenangkan. "Tidak apa, dia memang seperti itu. Mereka hanya bertemu dan mengobrol."

"Tapi, bagaimana jika terjadi apa-apa?" tanya Devan semakin dibuat cemas. Memangnya siapa yang tidak khawatir jika bertemu dengan seseorang yang punya latar belakang kriminal? "Mereka hanya bertemu?" lanjut Devan dengan suara yang terdengar remeh.

Mia tersenyum memaklumi, mungkin Hana belum pernah menceritakan tentang Adrian kepada Devan hingga membuatnya seperti ini. "Dia saudara ibu Hana. Bagaimana perasaanmu keluarga satu-satunya yang kamu punya tiba-tiba pergi? Bagaimana jika orang yang kamu sayangi meninggalkanmu selama-lamanya?"

Devan menatap mertuanya dengan raut wajah bertanya-tanya, belum mengerti ke mana arah pembicaraan ini. Meski begitu, Devan tetap menyimak perkataan selanjutnya.

"Itu yang dirasakan oleh Adrian. Dia hidup sebatang kara setelah kakaknya meninggal karena kecelakaan. Itu yang membuat hubungan ayah Hana dengannya tidak baik. Dia selalu menyalahkan Shareef karena kecelakaan itu. Shareef menceritakan semuanya ke Bunda."

"Namun, di balik itu semua, Bunda juga tidak tahu harus menyalahkan siapa. Tidak ada yang benar dari mereka, semuanya punya masalah tersendiri. Ayahmu terpaksa ambil pekerjaan itu karena tidak ingin memberatkan orang tuanya. Dia sudah punya keluarga, itu sebagai tanggung jawabnya, bukan? Ibunya Hana juga punya keterbatasan. Dia tunawicara," jelas Mia.

The ElevenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang