Sebuah mobil melaju dengan kecepatan sedang di tengah padatnya jalanan sore. Langit mulai berwarna jingga keunguan, menandakan matahari sebentar lagi tenggelam. Seperti biasa, kemacetan tak terhindarkan. Kendaraan berdesakan, klakson berbunyi bersahutan, menciptakan simfoni hiruk pikuk kota yang terasa begitu menyesakkan.
Di dalam mobil, suasana terasa berbeda. Ada ketegangan yang menggantung di udara, tak terlihat, tetapi bisa dirasakan.
Irene sesekali melirik ke arah sang anak yang duduk di sebelahnya. Jungkook tampak bersandar dengan mata terpejam, tangannya memijit pelipis, seolah berusaha meredakan sesuatu yang berkecamuk dalam pikirannya.
"Jungkookie," panggil Irene pelan.
"Nee?" sahut Jungkook tanpa membuka mata.
"Wae geurae?" Suaranya terdengar cemas.
Jungkook akhirnya membuka matanya, menatap Irene dengan senyum tipis yang tak sepenuhnya menyembunyikan kelelahan yang tergambar di wajahnya. "Na gwaenchanayo."
"Siljeru wae? Hajiman eojjaeseo?"
"Hmm."
Jungkook hanya menggumam pelan, tak memberi jawaban pasti. Irene menghela napas, lalu menatapnya lebih lekat. Ada sesuatu dalam ekspresi Jungkook yang membuat hatinya mencelos—entah itu karena kelelahan, atau mungkin... sesuatu yang lebih dalam.
"Kim Jungkook!" panggilnya lagi, kali ini dengan nada lebih serius.
Namun, nama itu justru membuat Jungkook menegang. Rahangnya mengeras, matanya yang semula terlihat sayu kini menatap Irene dengan ketegasan yang sulit dijelaskan.
"Not Kim! I am Jeon Jungkook."
Nada suaranya terdengar lebih dingin dari yang Irene harapkan. Ada penolakan yang begitu jelas di sana, seolah Jungkook ingin menegaskan sesuatu yang selama ini ia pendam.
Sejenak, keheningan menyelimuti mereka. Irene menggigit bibirnya, merasa lidahnya kelu.
Jungkook menghela napas pendek, lalu mencondongkan tubuhnya ke arah Irene dengan ekspresi yang lebih lembut.
"Bundaku, semestanya Kookie, cintanya Kookie, dunianya Kookie," katanya dengan senyum kecil yang mencoba menenangkan Irene. "I am okay, nda. Bunda tahu sendiri bahasa Koreanya Kookie nggak sebagus dulu, jadi Kookie harus mikir sambil ngingat arti ucapannya. Dan sekali lagi, Kookie baik-baik aja. Cuma lagi capek aja. Wajar 'kan? Pertama kali ikut ekskul..."
Jungkook menggantungkan kalimatnya, lalu kembali bersandar. "Bunda nggak perlu khawatir, ya."
Namun, Irene tetap diam. Kedua tangannya mencengkeram kemudi lebih erat. Matanya menatap lurus ke jalanan, tetapi pikirannya entah di mana.
"Everything okay, Bun." Suara Jungkook memecah kebisuan. Tetapi dilihatnya Irene masih terlihat kacau, dengan ekspresi yang sulit diartikan.
"Aku okay, Bunda," lanjutnya sebelum Irene sempat menjawab. "Seharusnya aku yang tanya, kenapa Bunda terlihat gelisah sedari tadi?"
Jungkook mengulurkan tangannya, mengelus kepala Irene dengan lembut. Mata bulan sabitnya menatap penuh kasih, mencoba meyakinkan wanita yang telah membesarkannya.
"Mau gantian nyetirnya?" tawarnya, berusaha mencairkan suasana.
Irene menggeleng pelan. Ia masih bungkam.
Pertanyaan Jungkook terlalu sensitif untuk dijawab. Ada sesuatu di sana yang belum siap ia ungkapkan. Atau mungkin... sesuatu yang ia takut Jungkook ketahui.

KAMU SEDANG MEMBACA
Hingga Tak Ada Lagi Luka
FanfictionHingga Tak Ada Lagi Luka Jungkook tumbuh dengan luka-luka yang tak terlihat-bukan hanya di kulitnya, tapi jauh lebih dalam, menyesakkan hingga ke relung jiwanya. Senyumnya terlalu lebar untuk menjadi nyata, tawanya terdengar seperti pelarian. Ia men...