“Kadang, yang paling dekat adalah yang paling tak bisa digenggam."
Angin sore menyapu pelan, membawa aroma debu jalanan dan senyap yang tak sempat diucapkan. Motor yang dikendarai Kimmy melaju tenang di antara bayang-bayang lampu kota yang mulai menyala malu-malu.
Di belakangnya, Sofie memeluk diam—tak erat, tapi cukup untuk membuat Kimmy sadar akan keberadaannya. Jarak mereka rapat, namun ada dinding tipis tak kasat mata yang membuat kehangatan itu terasa ragu.
“Kim,” suara itu datang lirih, nyaris larut bersama deru mesin dan desir angin.
“Hm?”
“Boleh aku minta tolong sebentar?” Ada sesuatu di nada itu seperti seseorang yang berusaha meminjam waktu, walau tahu itu mungkin memberatkan.
Ah, Momo. Si kucing kecil yang sering Sofie ceritakan di sela obrolan ringan mereka. Kimmy mendesah, hampir tak terdengar. Badannya lelah, pikirannya jenuh, dan ia hanya ingin pulang. Tapi rasa itu datang lagi—rasa yang tak tega, yang membuatnya sulit berkata tidak.
Ia mengangguk kecil. “Oke. Tapi habis itu langsung ke posko. Jangan keluyuran lagi.”
Di balik helmnya, Sofie tertawa kecil. “Janji. Makasih ya, Kim kamu selalu nyelametin aku.”
Kalimat itu sederhana. Tapi angin yang lewat membawanya masuk ke dada Kimmy, menggulung dalam diam. Ia tak tahu apa yang ingin diselamatkan, atau siapa yang sebenarnya butuh diselamatkan malam itu.
Sofie menggenggam bagian belakang jaketnya lagi walau tak seerat sebelumnya, namun cukup untuk terasa. Dan Kimmy membiarkan motornya terus melaju, membawa mereka menuju sesuatu yang tak bisa ia namai antara rasa iba, kasih, atau hanya kelelahan hati yang terlalu sering mengalah.
Kos-kosan itu sunyi saat mereka tiba. Lampu lorong menyala redup, membuat bayangan di lantai tampak seperti garis-garis waktu yang lambat. Kimmy berdiri di depan pintu kamar Sofie, bersandar pada motor dan Momo yang sudah siap di dalam carrier kecil berwarna biru pastel.
Di dalam kamar, Sofie sibuk memasukkan makanan kucing, mainan, dan selimut kecil ke dalam tas jinjing. Momo mendengkur pelan, matanya sayu, seolah mengerti bahwa malam ini ia akan berpindah rumah.
Kimmy menyapu pandangan ke sekeliling kamar dari ambang pintu. Ada poster kecil di dinding, sebotol parfum di meja, dan mug dengan gambar hati di rak buku. Hal-hal kecil yang berbicara lebih banyak daripada kata-kata.
“Cowok lo sering ke sini?” tanya Kimmy tiba-tiba, nada suaranya datar, nyaris netral.
Sofie menoleh, sedikit terkejut. “Hah? Cowokku?”
“Iya,” Kimmy mengangguk ringan, lalu menarik nafas. “Tadi lo bilang mau nitip Momo ke rumah, padahal bisa aja dititipin ke pacar lo."
Sofie tertawa pelan, lalu duduk di sisi tempat tidur sambil membelai Momo. “Aku nggak sedeket itu sama dia, Kim. Pacarku ya, bisa dibilang cuma status. Aku nggak sepenuhnya yakin, cuma yaa jalanin aja dulu.”
Kimmy hanya mengangguk lagi. Tak ada perubahan di wajahnya. Tak ada tanda-tanda cemburu atau terganggu. Ia hanya mengamati Momo yang mulai menguap kecil.
“Kalau nggak yakin, kenapa dipacarin?” tanyanya santai. Bukan menghakimi, hanya penasaran.
Sofie menunduk, lalu tersenyum tipis. “Mungkin karena aku capek sendiri. Atau cuma pengin tahu gimana rasanya diperhatiin, meskipun nggak sepenuhnya nyaman.”
Kimmy mengangkat alis. “Lo tau nggak nyaman, tapi tetep dijalanin?”
Sofie mengangguk pelan. “Kadang kita butuh sesuatu, bukan karena kita suka tapi karena kita butuh ngerasa cukup. Meski itu semu.”

KAMU SEDANG MEMBACA
COMPLICATED (GxG)
Romance??WRITTEN BASED ON A TRUE STORY FROM THE AUTHOR?? Saat mengikuti program KKN di desa, Lanny dan Kimmy, dua mahasiswa dengan kepribadian berbeda, saling jatuh cinta. Namun, hubungan mereka menjadi toxic karena kebohongan yang disembunyikan keduanya...