“Mereka tertawa atas naskah yang mereka karang sendiri, tak tahu bahwa dua tokoh utama mulai terbakar oleh api yang seharusnya hanya sandiwara.”
Begitu kompor dimatikan dan Lizhy mulai membereskan meja, Kimmy menyeka tangannya lalu berjalan naik ke lantai atas. Tapi langkahnya tak tergesa ada sesuatu yang ia tunggu diam-diam, momen ketika hanya ada dia dan Lanny tanpa siapa pun di antaranya.
Pintu kamar itu tak dikunci. Kimmy mendorongnya pelan, dan di sana, Lanny masih tertidur dengan selimut setengah melorot dari pinggang. Rambutnya berantakan, beberapa helai menempel di pipi, dan napasnya naik-turun lembut seperti ritme lagu yang hanya bisa didengar oleh hati yang jatuh diam-diam.
Kimmy mendekat. Hening menggantung di udara, tapi dadanya justru berdegup cepat, seperti ada yang ingin keluar tapi tertahan tepat di pangkal tenggorokan. Ia duduk perlahan di sisi ranjang, tubuhnya condong ke depan. Sorot matanya menyusuri wajah Lanny dengan tenang tapi bukan tenang yang dingin, melainkan tenang yang penuh rasa. Rasa yang tak berani diucapkan, tapi menuntut ruang untuk hidup.
Tangan kanannya terangkat, ragu di udara, sebelum akhirnya jari-jarinya menyentuh pipi Lanny. Bukan sekadar menyentuh, tapi mengusap perlahan, seperti mengingat bentuknya lewat ujung jemari. Ia tersenyum kecil senyum yang bukan untuk dunia, tapi untuk satu orang saja yang sedang tertidur di depannya.
"Lanny," panggilnya pelan, suaranya berat tapi lembut. Tak ada nada tergesa, hanya keinginan untuk dilihat sekali saja, cukup sekali.
Lanny bergeming, kelopak matanya berkedut, lalu perlahan membuka, masih kabur oleh kantuk. Pandangannya menangkap sosok Kimmy yang begitu dekat—terlalu dekat. Beberapa detik hanya diisi dengan diam dan detak jantung.
“Kim?” gumam Lanny, suaranya serak. “Udah pagi?”
Kimmy tidak langsung menjawab. Ia menarik tangannya perlahan, tapi senyumnya masih tertinggal di sana, seperti sisa kehangatan di kulit setelah disentuh sinar matahari.
“Udah. Makanannya juga udah siap. Tapi kamu masih keliatan manis banget pas tidur, jadi aku sempet lupa mau bangunin.”
Lanny menatap Kimmy dalam, matanya masih setengah sadar tapi mulai jernih. Pipi kirinya memerah. “Kamu liatin aku tidur?”
Kimmy hanya mengangkat alis, menahan senyum.
“Guilty as charged.”
Kimmy akhirnya mundur sedikit, memberi Lanny ruang untuk bernapas. Tapi udara di kamar itu masih mengandung sisa hangat yang tak terucap.
“Yuk turun,” ucap Kimmy akhirnya, lembut namun padat makna. “Masakan aku sama Lizhy udah jadi.”
Lanny mengangguk pelan. Ia bangkit dari tempat tidur, mengenakan hoodie tipis, dan berjalan di belakang Kimmy menyusuri lorong sempit posko. Langkah mereka nyaris tanpa suara, tapi getarnya terasa.
Begitu menuruni tangga dan melangkah ke ruang makan, aroma masakan menyambut mereka lebih dulu. Anak-anak posko lain sudah duduk mengitari meja. Tapi tak ada obrolan riuh, tak ada tawa pecah seperti biasanya.
Sunyi yang menggantung itu terasa asing. Tegang, tapi terbungkus kesopanan.
Lizhy yang pertama bicara, mencoba mencairkan suasana. “Bangun juga akhirnya. Duduk sini, makan sebelum dingin.”
Lanny tersenyum tipis, membalas dengan anggukan. “Makasih, Lizh.”
Kimmy duduk di sebelah Lanny tanpa berkata apa-apa, menyendok nasi dengan gerakan tenang. Beberapa pasang mata melirik ke arahnya tak ada yang mengomentari langsung, tapi bahasa tubuh mereka cukup bicara. Mungkin masih ada yang menyimpan rasa dari insiden kemarin. Mungkin butuh waktu.

KAMU SEDANG MEMBACA
COMPLICATED (GxG)
Romance??WRITTEN BASED ON A TRUE STORY FROM THE AUTHOR?? Saat mengikuti program KKN di desa, Lanny dan Kimmy, dua mahasiswa dengan kepribadian berbeda, saling jatuh cinta. Namun, hubungan mereka menjadi toxic karena kebohongan yang disembunyikan keduanya...