抖阴社区

Chapter I " Life must go On "

2 0 0
                                        

   Kamar itu sunyi. Hanya suara jarum jam yang terdengar, berdetak perlahan seperti detik-detik yang menyesakkan. Tirai masih tertutup rapat, cahaya matahari pun enggan masuk. Di balik selimut tebal dan bantal yang sudah basah oleh air mata, Faelina tetap diam. Dunia terasa terlalu jauh, dan luka itu terlalu dalam untuk dihadapi.

Ketukan lembut terdengar di pintu.
"Faelina... it's Maëlle," suara itu tenang, membawa kehangatan yang jarang terasa akhir-akhir ini.

Tidak ada jawaban. Namun, setelah beberapa saat, pintu terbuka perlahan. Maëlle masuk dengan hati-hati, membawa secangkir teh hangat di atas nampan kecil.

"I made you some tea. I thought you might need something warm," katanya pelan sambil duduk di tepi ranjang.

Faelina tetap menatap jendela, tidak menoleh sedikit pun.
"Aku lihat mereka... Sebastian and Evaline," bisiknya. “Dia gandeng tangannya. Di depan semua orang, Maëlle... seperti aku nggak pernah ada.”

Maëlle menahan napas, lalu menaruh cangkir di meja kecil.
"I’m sorry you had to see that."

"Am I stupid for feeling this way?" Faelina berkata, akhirnya menoleh perlahan. "Aku pikir... maybe he felt the same. I thought I mattered, even just a little."

"You're not stupid, Faelina," jawab Maëlle tegas. “You loved someone, and that’s never wrong. Tapi kamu nggak boleh biarkan perasaan itu menghancurkan dirimu.”

"Aku capek, Maëlle... I’m so tired. Everything feels meaningless now. I feel so empty.”

Maëlle meraih tangan Faelina dengan lembut.
"I know this hurts, but kamu nggak bisa terus-terusan hidup dalam bayang-bayang dia. You have to move forward. Not for anyone else, but for yourself."

Faelina terdiam. Matanya mulai berkaca-kaca lagi.

"You’re stronger than this, Faelina," lanjut Maëlle. "Aku tahu kamu bukan tipe orang yang menyerah semudah ini. Kamu cuma... lagi lupa seberapa kuat dirimu sebenarnya."

Maëlle berdiri, tersenyum lembut.
"The world is still waiting for you, you know. And so are we."

Saat pintu kembali tertutup, keheningan menyelimuti kamar itu lagi. Tapi kini, keheningan itu tidak lagi menakutkan. Ada sesuatu yang perlahan tumbuh di dada Faelina—sebuah dorongan kecil, suara samar dari dalam dirinya sendiri.

Ia duduk di depan meja rias, menatap bayangan dirinya. Wajah yang lelah, mata yang sembap, tapi... masih ada harapan.

Malam itu, ia membuka jendela kamarnya untuk pertama kalinya setelah sekian hari. Angin malam menyapa wajahnya, dingin tapi menyegarkan.

Dan dalam hati, Faelina berbisik,
"This isn’t the end. It’s just the beginning of me choosing myself."

We were Just a Season " Bound by Destiny ' s "Where stories live. Discover now