"Sudah jam berapa sekarang?" Dengan mata berkunang aku menengok ke arah jam dinding. Jarum jam menunjukkan sekitar pukul 08.30.
Ingatanku perlahan mulai jelas. Tadi malam aku, ayah, dan Jâjaruse terjaga hingga dini hari. Melihat sekeliling, gambaran akan kamar tidurku yang di hiasi beberapa foto langit berbintang, yang aku foto sendiri saat itu perlahan semakin dan semakin jelas. Bangkit dari kasur, aku menuju ke arah dapur, lalu menuju ke dalam kamar mandi. Kamar mandi ini posisinya tidak terlihat dari ruang tengah. Mataku kemudian tertuju ke cermin yang tergantung di dalamnya.
"Berantakan sekali." Aku mengatakannya sambil merapikan rambutku yang panjangnya sebahu. Kemudian setelahnya usapan air dingin membuat 'perasaan ingin tidur kembali' benar-benar hilang sempurna.
Menatap di cermin aku kembali mengingat yang terjadi tadi malam. Lebih tepatnya akan sesuatu yang dikatakan Jâjaruse.
"Ti-tidak. Itu hanya aku tidak pernah melihatmu tersenyum seperti ini sebelumnya saat di kelas," adalah bunyi perkataan polos dari Jâjaruse tadi malam. Menggelengkan kepalaku beberapa kali aku mencoba menghilangkan kalimat itu dari pikiranku.
Aku pun melangkahkan kaki ku ke bagian halaman belakang tempat ayah sedang membelah sepotong kayu dengan kapak.
"Ah! Kau sudah bangun rupanya!" Ayah berseru dengan senyuman tulusnya.
Langit masih saja gelap. Yah itu masih dalam batas yang wajar. Aku sangat hafal kalau pada pertengahan Desember di Nuuk pukul 09.00, fajar masih mengambang di hari, dan matahari yang redup (yang memang seperti itu saat musim dingin) belum mengambil alih sepenuhnya tanggung jawab sang fajar.
Terkadang aku merasa hidup di sini, di Nuuk, Greenland terasa seperti hidup di alam yang berbeda saat aku selesai membaca buku yang latarnya berada di belahan dunia lain. Seperti buku yang berjudul Equator Life karya Winstout Roosevelt yang terbit lima tahun yang lalu. Yah, sebenarnya itu bukan buku yang terkenal tapi aku menikmati saat membacanya. Aku cukup terkejut kalau di daerah tropis seperti Indonesia suhu rata-ratanya berada pada kisaran 27˚C. Membayangkannya saja aku tidak mampu. Di sini dengan suhu lebih dari 20˚C saja sudah mampu membuat orang-orang terkena dehidrasi.
"Êrsta, mandilah duluan! Ada beberapa kayu bakar yang telah siap di bawah situ!" Kata ayah menyambung sambil menunjuk kain berwarna hijau tepat di sebelahku. Di bawah kain itu ada setumpuk kayu bakar yang telah jadi.
Aku jadi teringat saat aku pergi ke hotel Johansen yang merupakan hotel terbesar di negara ini, beberapa bulan yang lalu. Saat itu aku diundang untuk perjamuan makan malam dengan walikota dengan beberapa anak lain dari sekolah di Nuuk. Kami semua diundang sebagai perwakilan dari masing-masing sekolah dan hanya yang terbaik di tiap angkatan yang mampu memperoleh undangan tersebut. Saat itu aku mencoba tempat berendamnya yang memiliki elektronik pemanas suhu. Rasanya sangat simpel sekali jika dibandingkan saat ini dimana kami harus membelah beberapa potong kayu untuk dijadikan kayu bakar. Meski begitu sebenarnya hampir seluruh rumah di Nuuk telah dilengkapi alat elektronik tersebut. Rumah kami memang termasuk dalam rumah yang tidak dilengkapi alat tersebut.
Selesai memanaskan air, akhirnya saat yang kunantikan tiba. Aku dengan bersegera memposisikan tubuhku dalam bak yang berisi air yang sudah dipanaskan tadi. Di dalam bak, aku teringat perkataan dari Jajaruse semalam.
"Kau masih ingin mengetahui tentang liontin itu kan?" Jâjaruse bertanya di malam itu di bawah terangnya Aurora Borealis. Aku hanya mengangguk kecil sebagai balasan. Namun, saat itu aku memastikan mataku benar-benar terlihat serius.
"Baiklah. Aku akan memberimu segala informasi yang kutahu. Siapa tahu itu bisa membantumu." Kata Jâjaruse. Aku mempercayai ucapannya malam itu.

KAMU SEDANG MEMBACA
Aurora:Polaris (Prototype)
Fantasy?rsta adalah seorang gadis yang sangat menyukai bintang dan buku lebih dari apapun. Hari itu disaat ?rsta yang berumur tujuh belas tahun, berencana pergi ke perpustakaan ia menabrak seorang laki-laki misterius yang ternyata adalah teman kelasnya yan...