"Maksudnya apa? Maksudnya dia bintang? Bintang yang dikirim oleh Tuhan untuk jadi manusia? Dilihat dari sisi manapun itu menggelikan. Jika ini lelucon tentulah itu adalah lelucon terabsurd yang pernah kudengar."
"Maaf-maaf. Tapi Jâjaruse, aku tak bisa memahami perkataanmu." Sambil membetulkan poninya ke arah kanan, Êrsta mencoba merasionalkan kembali pikirannya.
"Kau tidak penasaran kenapa aku tadi bisa membaca pikiranmu?" Suara dari laki-laki yang baru saja keluar sangat tenang. Itu seperti riak di kolam. Menetes dan menetes namun tidak membuat gelombang di permukaan air menjadi kacau. Dahi Jâjaruse bahkan tampak tidak mengkerut sama sekali.
Seketika pun Êrsta merasakan sesuatu yang tidak biasa. Jantung Êrsta berdegup kencang. Pupilnya melebar dan keringat dingin muncul dari wajahnya. Ada sesuatu. Tapi itu bukan berasal dari tubuhnya, itu sesuatu yang lain.
Akhirnya Êrsta mulai terpikir kalau ia sudah salah menilai orang ini. Ia semakin bingung di tengah banyaknya dugaan dan kemungkinan yang masuk ke dalam kepalanya. "Kenapa dia bertanya hal itu? Apa ini salah satu kebohongan atau lelucon lainnya yang dia ciptakan? Apa dia ingin mengetes salah satu trik psikologi yang dia baca? Atau-"
"Ini bukan trik psikologi. Aku membaca langsung pikiranmu."
***
Êrsta merasakan udara dingin yang serasa menembus tubuhnya yang terbalut pakaian tebal. Ia tertegun mendengar perkataan itu. Tentu saja ia tidak bisa langsung memercayai kata-katanya. Itu adalah sesuatu yang sulit untuk diterima akal sehat. Tapi entah kenapa gadis bermata sedikit sipit ini punya suatu perasaan kalau yang dikatakan Jâjaruse itu benar, meski hanya secercah.
"Meski begitu bagaimana caranya? Apa dia menggunakan sihir atau semacamnya?"
"Ini adalah salah satu kekuatan khusus ku sebagai salah satu dari Ursa Minor. Aku dapat membaca pikiran orang lain lewat tatapan mata. Seperti katamu itu adalah sihir atau semacamnya. Sekarang kau mengerti kan."
"Ini ... ini benar-benar terjadi. Sihir. Dengan kata lain dia penyihir? Aku sangat yakin aku tidak sedang berkhayal." Pikiran Êrsta semakin berkecamuk.
Êrsta bingung harus bersikap seperti apa setelah mendengar dari orang ini kalau sihir benar-benar ada. Walaupun dirinya sendiri merupakan orang yang berpikiran terbuka, ia tidak bisa begitu saja menelan bulat-bulat yang dikatakan Jâjaruse. Tapi suatu bagian dalam dirinya, jauh di dalam seperti meyakinkan kalau omongan orang ini benar.
Walaupun sebenarnya ia tidak begitu mengerti orang ini."Bahkan jika yang dikatakannya benar, hal ini masih menjadi suatu hal yang membingungkan. Untuk apa dia menceritakan hal seperti itu kepadaku? Walau saat ini entah kenapa aku tidak merasakan adanya bahaya apapun yang mungkin akan datang darinya, bukannya hal semacam itu harusnya tidak diberitahukan ke orang awam?" Kali ini Êrsta menatap lurus ke Jâjaruse, agar apa yang ada di pikirannya bisa dibaca. Sekaligus untuk memastikan terakhir kali apa orang di depannya bergurau atau semacamnya. Jika apa yang dikatakannya tadi itu bukan omong kosong, dia pasti akan langsung menjawab seperti yang baru saja ia lakukan.
"Nyawamu terancam. Kau adalah orang penting bagi kelompok Ursa Major. Liontin itu ..."
"Dia benar-benar tidak bergurau ..."
Dia membaca langsung pikiranku. Dia benar-benar seorang penyihir. Dia tahu tentang liontin ini? Siapa dia sebenarnya?"
"Siapa kau? B-bagaimana kamu tahu tentang liontin ini. Apa benar ini liontin pemberian Ibuku? Apa kamu mengenalnya?"
Segera setelah mengetahui kalau Jâjaruse mengetahui sesuatu tentang liontin itu, Êrsta seperti sudah tidak bisa menahan hasratnya untuk bertanya lebih jauh tentang liontin miliknya.
Seketika suara galak dari pustakawan tua menegur mereka berdua. "Hei! Ini perpustakan. Kalau mau mengobrol di luar saja!"
Pustakawan itu tampak seperti perempuan berusia sekitar 50 tahun. Hal yang Êrsta tahu dari pustakawan tua itu hanyalah namanya. Ia mengenal nenek itu sebagai Kitura. Dan hanya itu yang ia tahu bahkan setelah sekian lama ia mengunjungi perpustakaan ini.
"E-eh iya Bu. Selanjutnya kami akan tenang."
Seketika Jâjaruse menggengam tangan Êrsta.
"Dengan ini kita bisa berbicara tanpa bersuara.""Coba keluarkan liontinmu sebentar. Aku ingin mengecek sesuatu."
Jâjaruse berbicara kepada gadis white blonde berdarah Inuit itu tanpa sedikitpun suara yang keluar dari mulutnya. Itu tampak seperti Jâjaruse berbicara langsung dari pikirannya menuju pikiran Êrsta. Dalam hatinya Êrsta bergumam, "Itu sungguh pemandangan yang menakjubkan ..."
Meski begitu, Êrsta tetap tidak lupa tujuan utamanya. Segera ia mengeluarkan liontin miliknya dari dalam mantel dan pakaiannya. Dan, liontin itu bersinar. Itu benar-benar membuatnya terkejut karena yang ia tahu, liontin ini permatanya berwarna putih abu-abu. Tapi kali ini liontin itu bercahaya berwarna hijau kekuningan. Di bagian dalam permata itu ada sesuatu berwarna hijau, biru juga sedikit merah yang nampak seperti lekukan Aurora di angkasa.
"Maaf aku tidak tahu apapun tentang Ibumu. Tapi aku tahu kalau nyawamu berada dalam bahaya. Itu karena ... "
"Ka-karena?"
"Karena kau adalah Aurora!"
Di perpustakaan Ornigassarput, seorang gadis penyendiri yang mengagumi bintang lebih dari apapun. Seorang laki-laki misterius yang mengaku dirinya bintang. Suasana dingin dan senyap di perpustakaan. Liontin yang didalamnya berkobar sebuah nyala aurora. Dan genggaman tangan yang mengaburkan batas antara realita dan imajinasi. Takdir seorang wanita dan dunia ikut terjalin di dalamnya ...
Ini adalah awal dari semua yang akan terjadi.

KAMU SEDANG MEMBACA
Aurora:Polaris (Prototype)
Fantasy?rsta adalah seorang gadis yang sangat menyukai bintang dan buku lebih dari apapun. Hari itu disaat ?rsta yang berumur tujuh belas tahun, berencana pergi ke perpustakaan ia menabrak seorang laki-laki misterius yang ternyata adalah teman kelasnya yan...
(03)Pendant of Falling Green Flames
Mulai dari awal