Suara gaduh dari arah dapur membuat Guanlin terpaksa membuka mata padahal hari ini ia sudah bertekad untuk bangun lebih lambat dari biasanya. Dengan pakaian yang masih berantakan dan rambut yang mencuat bak sarang burung ia pergi ke dapur sambil menggosok matanya yang baru setengah terbuka.“Astaga, kau ini sedang apa? Ya ampun!”
Kesadaran Guanlin sudah kembali sepenuhnya saat mendapati Jinyoung terduduk di lantai dengan potongan dan serpihan kayu di tubuh dan sekitarnya. Pemuda manis itu hanya terkekeh dan berakhir dengan ringisan pelan.
“Aku merusak lemari persediaan makananmu dengan kepalaku.” Jawab Jinyoung ragu, takut Guanlin akan marah padanya. “Aku ingin membuat sarapan tapi—“
“Berdarah!” sela Guanlin setengah berteriak, dihampirinya cepat Jinyoung, membantunya berdiri seraya menepuk-nepuk kepala anak itu yang penuh dengan serbuk kayu lapuk.
“Sudahlah, anak kecil sepertimu tidak usah sok memasak. Kau jadi terluka, kan.”
Jinyoung menyentuh dahinya dan merasakan darah mulai mengalir dari sana, ia mendengus kesal.
“Huh, dasar bodoh," maki Jinyoung pelan pada dirinya sendiri.
Guanlin yang sedang mencari-cari kain dan obat luka untuk Jinyoung melirik tingkah pemuda itu.
“Ya, kau memang bodoh dan menyebalkan.”
“Juga sangat manis.” Namun yang terakhir ini, Guanlin hanya mengucapkannya dalam hati.
Mereka berdua kemudian sarapan dengan memesan makanan dari restoran masakan cina karena memasak dianggap terlalu merepotkan.
“Kau— boleh aku bertanya?” Guanlin membuka pembicaraan, menginterupsi Jinyoung yang melahap sarapannya dengan semangat. Pemuda manis itu mengangkat kedua alisnya mempersilakan.
“Apa kau,” Guanlin menjeda ucapannya seraya mengalihkan pandangannya dari Jinyoung yang menatapnya dengan wajah polos. “Kau masih menunggu kedatangan Hwang Minhyun?”
Jinyoung tak menjawab, secara perlahan ia meletakkan sumpit yang berada di genggamannya sambil menghela napas panjang.
Mengapa Guanlin harus menyebut nama itu lagi? Jinyoung sudah tidak peduli apa Minhyun akan datang kemari untuknya atau tidak, ia hanya tidak ingin mengharapkan lelaki egois itu lagi. Lagi pula, Jinyoung cukup nyaman berada di rumah Guanlin. Tapi, tunggu.. Apa? Nyaman?
“Aku suka berada di sini, ahjussi ternyata orang baik.”
“Mengapa kau begitu yakin? Kau tidak tahu siapa aku sebenarnya dan apa saja yang pernah kuperbuat di masa lalu.”
Guanlin menarik sebelah ujung bibirnya sambil melirik Jinyoung yang masih memandangnya.
“Memangnya kau tahu apa yang akan kuperbuat padamu nantinya?”Jinyoung terdiam namun pandangannya tak goyah, dan tanpa diduga pemuda itu justru tersenyum. “Kau akan menikahiku!”
“Bfftt— Uhukk—“
Dan ucapan polosnya sukses membuat Guanlin yang sedang mengunyah makanannya tersedak, tawa pemuda itu meledak seraya menyodorkan segelas air putih pada pria tampan asal Taiwan itu.
“Entah, aku tidak tahu apa yang akan kau lakukan. Tapi aku cukup yakin kau orang yang baik, dan sekarang aku merasa aman. Aneh.”
“Bocah gila,” desis Guanlin setelah berhasil melewatkan makanan yang nyaris masuk ke tenggorokannya. “Bagaimana jika aku berbuat sesuatu padamu?”
“Membunuhku?”
“Tidak, tentu saja.”
“Apa maksudmu? Hey.. tidak seperti yang aku pikirkan, bukan!?”
