FOLLOW noventyratnasari
VOTE DAN KOMENTAR SEBANYAK BANYAKNYA YUK SEMANGAT 🧡
••• FANATIK •••
Pinaka terbangun dari tidurnya akibat suara deruman knalpot motor yang begitu berisik melintas depan rumahnya. Beberapa kali gadis itu memberikan sumpah serapah mengenai pengendara motor tersebut. Bagaimana bisa satpam kompleks mengizinkannya masuk ke kawasan tenang seperti ini?
Pinaka mencebikkan bibirnya, beranjak dari kasur kemudian membuka tirai kamar. Cahaya dari luar masuk menyilaukan matanya. Pinaka membuka jendelanya lebar-lebar agar udara segar masuk ke dalam kamarnya. Ia sejenak berdiri di belakang jendela menatap jalanan kompleks yang sepi. Seperti ada yang hilang, tapi Pinaka tidak tahu apa. Ia hanya merasakan hampa.
Kembali lagi gadis itu tersadar dari lamunannya. Ia berbalik arah, kemudian mematikan lampu kamar. Sekilas ia menatap bangku kecil di depan meja belajarnya. Mengapa box itu hilang? Bukankah Pinaka menaruhnya dengan benar di sana?
Tanpa berpikir panjang, ia tahu siapa yang mengambilnya. Pasti Alyora telah mengembalikannya pada Algeriand. Sebab hanya Alyora yang paham maksud Pinaka.
Pinaka harus mandi sebab badannya akan semakin berat jika dibiarkan begitu saja. Lantas gadis itu memutuskan untuk mandi. Mengizinkan badannya menyentuh air supaya sedikit segar. Begitu pula rambutnya yang sempat banjir akan keringat. Pinaka pikir pasti menjijikkan jika tidak keramas.
Usai mandi, gadis itu memilih dress pendek dan menggulung rambutnya dengan handuk daripada mengeringkannya menggunakan hair dryer. Ia memoleskan serum pada wajahnya, kemudian sedikit sentuhan lip gloss agar tidak terlihat pucat. Iris cokelatnya di usik oleh satu benda yang sama sekali belum tersentuh sejak kemarin malam. Pinaka mengisi daya baterai ponselnya terlalu berlebihan, saatnya Pinaka mencabutnya.
Sembari menunggu ponselnya hidup, Pinaka membawanya menuruni tangga untuk mengisi perutnya dengan makanan.
Gadis itu duduk di kursi ruang makan, menatap ponselnya menyala menampilkan layar utama. Rupanya sudah hampir pukul 1 siang.
Pinaka mengambil selembar roti tawar yang ia oleskan selai strawberry kemudian melahapnya. Pinaka terlebih dahulu mengecek ponselnya yang mati. Tidak terdapat notifikasi apapun dari Algeriand. Pada akhirnya, ekspektasi Pinaka membunuhnya dengan senjata kenyataan. Algeriand tidak menghubunginya, sama sekali.
Selera makannya menjadi hilang. Ia meletakkan kembali roti yang habis dua gigit di atas piring. Tangan kanannya tergerak menjulur di atas meja makan, sementara itu tangan kirinya terlipat. Ia menidurkan kepalanya di atas lengan, menatap ponsel yang menjadi sumber kekecewaan baginya.
Sejujurnya, Pinaka lelah menangis. Sangat lelah. Namun...
Tik...
Satu bulir air mata jatuh membasahi tangannya.
"Kamu ngarepin apa sih, Pin?" monolognya.
Mendengar suara mobil berhenti di garasi, Pinaka segera mengusap air matanya. Ia tidak ingin terlihat lemah lagi. Saatnya menunjukan bahwa ia baik-baik saja, meski palsu.
"PINAKAAA!"
Pinaka tersenyum ketika melihat Malika berlari kecil menghampirinya, kemudian memeluknya beberapa saat.
"Ke sini sama siapa? Geisan?" tanya Pinaka.
Malika menggeleng, "Sama dia!" jawab Malika.
Sahabatnya itu menunjuk kepada seorang cowok yang berjalan santai kemudian melemparkan senyum padanya. Pinaka membalas senyumannya sekilas, kemudian kembali menatap Malika yang duduk di kursi sampingnya.
"Kok bisa sama Kak Delfarid?" tanya Pinaka lagi, penasaran.
"Ngotot mau ikut dia, beban!" sahut Delfarid menjawab.
"Ya elah, Kak. Gitu doang di bilang beban." sela Malika pula ikut menimpali.
Delfarid tidak menanggapi. Duduk di kursi dengan posisi berhadapan dengan Pinaka. Ia melirik roti di atas piring.
"Belum makan?" tanya Delfarid.
Pinaka menggeleng pelan, "Nggak ada nafsu."
"Mau sampai kapan lo nggak ada nafsu?"
Pinaka kembali menggeleng. Mendapatkan tangan Malika yang menarik telapak tangannya. Malika menggenggamnya erat. Mengundang tatapan Pinaka.
"Makan ya?" bujuk Malika.
"Nanti deh aja, Mal."
"Pin? Kasihan perut lo."
"Mal, aku nggak mau."
"Emang lo mau sakit? Ntar kalo lo sakit, yang nemenin gue siapa?" rajuk Malika.
"Malika Sinar Kenanga, aku enggak mau!"
Alyora yang mendengar perdebatan antara Pinaka dan Malika pun berjalan mendekatinya dengan terburu-buru. Mengambil kursi di samping Delfarid, kemudian mendaratkan pantatnya di kursi kayu tersebut. Ia segera mengambil piring bersih yang tersedia, mengambilkan satu centong nasi beserta dengan sayur.
Didekatkannya piring itu pada Pinaka, "Makan!" perintah Alyora yang tak dapat di ganggu gugat lagi.
Pinaka mendengus kesal, ia menyuapkan satu sendok nasi ke mulutnya dengan kesal.
Di ambang pintu, Geisan tersenyum melihatnya. Alyora selalu bisa diandalkan. Ia mendekat, berdiri di ujung meja mengamati adiknya yang makan dengan ogah-ogahan.
"Makan yang banyak, biar kayak Bu Lela!" celetuk Malika.
Pinaka diam sejenak. Teringat dengan guru Kimia wanita yang berpostur tubuh gendut. "Badannya bergelambir gitu?" balas Pinaka pula dengan mulut penuh nasi.
"HAHAHA..." Suasana itu seketika penuh dengan tawa renyah dari Malika, Alyora, Delfarid dan Pinaka.
"Biar nggak di hina anak SD sama Geisan lagi, Pin!" imbuh Alyora.
"Iya. Tapi hinaannya berubah jadi obesitas." balas Pinaka.
"Besok gue kirim makanan satu truk ya, Pin? Biar gendut."
Pinaka menatap kesal ke arah Malika. "Pinaka nggak mau gendut, cuma mau tinggi." ujarnya.
"Lagian banyak makanan nggak bisa bikin gendut kok," sela Delfarid. Ia dihadiahi tatapan dari Pinaka, Malika, Alyora maupun Geisan. Delfarid menunjukan gigi-giginya. Kemudian, ia melanjutkan ucapannya. "Kalo nggak di makan."
Pinaka mengangguk menyetujui. "Bener. Jadi, Mal. Beneran kirim makanan yang banyak ya?"
"Mubadzir ah kalo nggak di makan." balas Malika.
"Pinaka jual."
"Terus penghasilannya buat beliin gue hadiah ya, Pin?" kata Malika.
"Oh iya, bentar lagi kamu ulang tahun ya, Mal?" tanya Pinaka.
Malika mengangguk.
"Oke, nanti aku kasih hadiah lampu." bebernya.
Kening Malika mengerut, begitu pula Alyora yang menyimak pembicaraan antara Pinaka dan Malika.
"Buat?" tanya Malika.
"Masa depan lo. Biar cerah." ujar Pinaka
"HAHAHA..." Kembali lagi seisi ruang makan itu penuh dengan suara tawa yang saling bersahutan. Ucapan spontan dari mulut Pinaka yang terkadang membuat sekitarnya merasa tergelitik sekaligus gemas.
Geisan tersenyum kecil mendengar ucapan adiknya. Tidak ingin duduk, ia tetap berdiri di ujung meja. Tepat berada di antara Pinaka dan Delfarid.
"Gue udah coba hubungin Algeriand berkali-kali, tapi nggak aktif." celetuk Geisan.
Suara tawa di sana perlahan pudar. Pembicaraan kali ini begitu sensitif. Apakah Geisan tidak salah membahasnya di saat seperti ini? Bukankah seharusnya Geisan berusaha untuk membuat Pinaka melupakan kesedihannya? Serta, apakah Geisan sengaja membuat Pinaka kembali teringat akan Algeriand?
Pinaka menelan ludahnya dengan susah payah. Ia menunduk, kemudian menyingkirkan piring yang menyisakan beberapa butir nasi. Pinaka sudah selesai makan.
Alyora yang paham situasi pun dengan cekatan memberikan Pinaka segelas air putih. Gadis itu menyambutnya dengan baik, lalu meneguknya hingga habis tanpa sisa.
"Pinaka udah nggak peduli." jawabnya enteng.
Tidak. Geisan yakin bahwa Pinaka masih peduli, bahkan ia penasaran dengan apa yang terjadi pada Algeriand. Kata-kata yang terlontar dari mulut Pinaka sama saja bualan.
"Dia juga nggak berangkat sekolah hari ini." tambah Geisan.
Alyora menghembuskan nafasnya gusar, menatap mata Pinaka yang tampak kosong.
"Pin," panggilnya. Mengundang tatapan pilu itu mengarah padanya.
"Lo nggak mau kasih sedikit waktu lebih lagi buat ketemu Algeriand?" sambung Alyora bertanya.
Pinaka menggeleng, "Kalau hari ini dia nggak datang, maka nggak ada kesempatan lain lagi." putusnya.
"Lo yakin?" tanya Malika memastikan.
"Pinaka yakin. Sekuat apapun alasan Algeriand, nggak akan merubah keputusan Pinaka. Bahkan dia sama sekali nggak ada hubungin aku."
Alyora dan Malika saling tatap usai mendengar kalimat itu dari mulut Pinaka. Semua orang di sana tahu bahwa segila apa Pinaka mencintai Algeriand. Namun, apa yang Pinaka ucapkan baru saja? Tentu berbanding terbalik dengan karakter biasanya.
"Pin, Algeriand pasti ada alesan di balik kejadian ini."
Pinaka menatap nyalang pada Geisan. Perkataannya menyalakan bara api di dalam hati Pinaka.
"Ge! Kamu masih belain Algeriand?!" sentak Pinaka.
"Bukan belain, apa lo tau yang sekarang Algeriand lakuin? Enggak, kan? Kalau dia benar-benar salah, baru lo bisa ambil keputusan se-gegabah itu!" hardik Geisan pula.
"Gegabah? Kamu bilang gegabah?!" seru Pinaka.
Malika menarik telapak tangan Pinaka, mencoba menenangkannya.
"Pin, lo masih emosi. Sebaiknya dengerin argumen Kak Geisan dulu..." lirih Malika.
"Mal? Apa keputusan yang Pinaka buat harus dapat persetujuan dari kalian?!" erangnya.
"Bener kata Pinaka. Biar dia bikin keputusan sendiri, jangan buat dia kayak robot yang bisa kalian atur untuk pilih Algeriand. Pinaka udah besar, dia punya hati yang bisa ngerasain sakit. Algeriand udah keterlaluan, wajar Pinaka kayak gini!" jelas Delfarid ikut campur.
Alyora menggeleng. Ia mendorong bahu Delfarid yang secara tidak sengaja menaburkan bensin pada api yang telah membesar.
"Kalau Pinaka punya hati, dia pasti bisa ambil keputusan sebijak mungkin. Kita belum tahu apa yang Algeriand lakuin, nggak semestinya Pinaka memutuskan hal sebesar ini. Kalau posisi Algeriand benar-benar di ujung tanduk, terus di sini yang nggak punya hati siapa?" balas Alyora.
"Mau sibuk gimanapun, seharusnya dia ada usaha buat nemuin Pinaka. Nyatanya? Dia nyuruh gue buat nemuin Pinaka!" hardik Delfarid dengan pandangannya terhadap Algeriand.
"Dia nyuruh lo buat nemuin, karna cuma lo yang tau isi perjanjian itu. Bahkan, usaha Algeriand buat Pinaka lebih besar dari yang lo kira!" bantah Alyora lagi.
Pinaka menghembuskan nafasnya kasar, ia memegang kepalanya menggunakan tangan kanan sebab terlalu pusing menanggapi perdebatan yang tiada ujung.
"Terus kalau usaha Algeriand besar, kenapa sampai sekarang dia nggak ada usaha buat ketemu Pinaka? Dia lari kayak pengecut!" sentak nya.
"Lo ngomong gitu karna lo saingan sama Algeriand. Coba lo lebih teliti buat belajar menela'ah keadaan. Lo pikir Algeriand mau bolos sekolah cuma karna lari dari masalah? Kalau masalah yang Algeriand hadapi kemarin itu cuma sepele, gue yakin pagi ini dia berangkat seperti biasanya." sanggah Geisan.
"Iya, sebaiknya kita tunggu Kak Algeriand dulu. Penyesalan akan datang kalau milih keputusan secara gegabah." imbuh Malika.
Malika merangkul bahu Pinaka untuk sekedar menenangkan sahabatnya. Perdebatan panjang tentang argumen-argumen yang beradu saling meneriaki satu sama lain.
Pinaka juga tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Pendapat dari kedua belah pihak memang sangat masuk akal, bahkan Pinaka masih belum paham bagaimana perasaannya terhadap Algeriand. Yang pasti saat ini seisi hatinya di penuhi oleh rasa kecewa.
"Kalian ini paham nggak, sih? Pinaka di tinggalin di sana sendirian, malam, gelap, sepi, kalau ada apa-apa terjadi sama Pinaka. Kalian sanggup?" tanya Delfarid tidak menyerah.
Geisan menghembuskan nafas bertanya, rupanya Delfarid masih belum mau diam.
"Algeriand nggak mungkin sengaja ngelakuin hal itu buat Pinaka, Delfarid!" tegasnya.
"Kenapa nggak mungkin? Dari dulu Algeriand nggak suka sama Pinaka!" bantahnya lagi.
"Lo pikir kalo Algeriand nggak suka sama Pinaka, dia mau mau mohon-mohon ke gue buat bantu dia dapetin Pinaka? Seorang Algeriand minta bantuan Geisan? Di pikir pakai logika!" protes Geisan.
"Dia ngelakuin itu karna dia mau ngeyakinin lo! Setelah lo yakin, dia kecewain Pinaka!"
Geisan terkekeh mendengar jawaban Delfarid. Semua pendapat Delfarid sudah masuk dalam kategori menjelekkan Algeriand untuk mendapat keuntungan sendiri.
"Algeriand nggak perlu ngeyakinin siapa-siapa. Dia udah dapat keyakinan dari Pinaka sendiri. Lo tau sendiri gimana Pinaka ke dia, kan? Ibaratnya Pinaka udah cinta gila ke dia. Jadi, keyakinan gue itu nggak terlalu berarti buat dia!" jawab Geisan.
"Lo segitunya ke Algeriand?"
"Ya." jawab Geisan singkat.
"Kenapa? Apa yang cowok brengsek itu kasih ke lo?" tanya Delfarid.
"Dia nggak kasih apa-apa."
"Terus kenapa?"
"Karena gue mau adek gue dapet apa yang dia mau, bukan yang dia bisa. Gue lebih kenal adek gue daripada lo, gue lebih kenal Algeriand daripada lo. Lo sendiri kenapa ngotot banget nyalahin Algeriand? Kalah saing?" Dengan tenang Geisan menjawabnya, menatap Delfarid dengan satu alis terangkat.
"Siapapun yang Pinaka pilih gue nggak keberatan." kata Delfarid.
"Kalau nggak keberatan, seharusnya nggak berat sebelah juga sih. Gue nggak belain Algeriand, cuma kita belom tau alasan dia nggak datangin Pinaka. Tenang aja, kalau ini di rencanakan sama Algeriand. Nafas Algeriand akan berhenti karna gue, saat itu juga."
Perkataan Geisan membuat Pinaka, Alyora dan Malika merinding. Bahkan Delfarid tidak mampu lagi menjawab perkataan Geisan yang terkesan menyeramkan. Ia menutup mulutnya rapat-rapat.
Alyora meneguk air putih dengan terburu-buru. Keadaan yang begitu panas. Geisan mengambil keputusan secara bijak. Jika saja Alyora tidak mendengarkan pendapat Geisan tadi siang, maka saat ini pemikiran Alyora mengenai Algeriand akan tetap sama seperti tadi pagi.
Pinaka mendesis kesal. Persetan dengan mereka yang adu mulut. Pinaka hanya menebak apa yang terjadi pada Algeriand sehingga sulit sekali menemuinya?
Jika di pikir-pikir, benar kata Malika. Kalau Pinaka gegabah, bisa jadi yang Pinaka dapati adalah penyesalan. Tetapi, keputusan Pinaka sudah bulat. Memberi kesempatan Algeriand satu hari untuk meminta maaf dan menjelaskan masalahnya pada Pinaka. Jika dalam satu hari Algeriand tidak menemuinya, maka bisa disimpulkan bahwa Pinaka benar-benar tidak penting daripada urusannya.
***
YA UDAH GITU AJA.
-jodoh Chanyeol.