The Missing Years | ✓

By grey010

176K 32.6K 2K

Armita tiba-tiba terbangun di usianya yang ke dua puluh tujuh, meski memori terakhirnya berada di usianya yan... More

Disclaimer
Prolog
27. Jelangkung
26. Aku-Kamu
25. Ibu
24. Apartemen
23. Alarm
22. Selingkuh
21. Masak
20. Ibu Mertua
19. Kerja
18. Kencan
17. Tujuh Belas
16. Lupakan
15. Tabula Rasa
14. Kantor
13. Keluarga
12. Gosip
11. Alasan
9. Kekasih (M)
8. Kawan dan Lawan
7. Rumah
6. Luka
5. Konfrontasi
4. Kamu
3. Armita Dua Puluh Tujuh Tahun
2. Kenyataan
1. Akhir Yang Baru
Epilog
The Missing Years: New Year
1. Napas
2. Ezra
3. Anak Pertama Perempuan
4. Anak
5. Dokter
6. Cinta
7. Hidup
8. Deja Vu
Bonus Chapter: Motherhood

10. Mantan

3.8K 946 65
By grey010

Armita dua puluh tujuh tahun hancur seketika mendengar kata-kata yang Radi keluarkan dari mulutnya.

"I cannot save you that time. I cannot save you when your car crashed." Radi menghela napas panjang, kata-katanya tercekat, seolah ada gumpalan lumpur yang tertahan di tenggorokannya. "Mit."

Mata Armita kosong, dia menatap pria itu, mata Radi berkaca-kaca. "Kenapa?"

Radi tertegun, Armita pernah mengatakan hal yang sama kepadanya saat Radi memohon ampunan wanita itu karena telah menghamili wanita lain, wanita yang juga merupakan sahabatnya sendiri. "Can you just give me the chance to save you now?"

"Bukankah sudah terlalu terlambat, Radi?" Armita teringat saat di mana Ezra menciumnya dan bayangan kilasan memori buruk itu menghantamnya. Dia berusaha menenangkan dirinya, bahwa itu mungkin saja hanya salah satu hal buruk yang terjadi pada Armita dua puluh tujuh tahun, bahwa mungkin saja itu menjadi penyebab kenapa Armita membangun dinding kokoh nan tinggi untuk melindungi dirinya. "Aku nggak tahu apa yang aku katakan ke kamu sebelumnya, tetapi sekarang ... aku nggak mau lagi berhubungan dengan kamu."

"Mita," Radi menangis. Pria yang tidak pernah dia temui sebelumnya ini menangis di depannya, terisak sementara ia sendiri diam mematung.

Kenapa kamu menangis? Pertanyaan itu tersangkut di tenggorokannya. Armita tidak sanggup bertanya, takut bila dirinya sendiri ikut rubuh mendengarkan penjelasan pria itu.

"Kenapa kamu nggak biarin seseorang menyelamatkan kamu?" Radi menuntut jawaban darinya. "Mit, udah terlalu lama kamu simpan ini seorang diri."

"Kenapa kamu nangis?" Armita akhirnya mengutarakan pertanyaan itu. "Bukan kamu yang diperkosa." Kalimat terakhirnya ia ucapkan dengan nada lirih, nyaris berbisik. Dia lupa, tubuhnya mungkin ingat. Armita tidak ingin mengingat kejadian itu lebih lanjut.

"Karena aku nggak bisa ada di situ untuk kamu!"

"Bukan salah kamu, kecuali kamu yang perkosa aku?" Armita tertawa miris, tanpa ia sadari air mata ikut turun membasahi pipinya.

"Mit." Keduanya menangis bersama-sama, bahkan Armita tidak tahu kenapa dia menangis, apakah meratapi nasibnya yang ternyata tidak membaik yang dia bayangkan ataukah teman-teman kantornya yang ternyata toxic ataukah hubungan pernikahannya yang ternyata dipenuhi oleh noda sana sini.

"I can't." Armita menarik napas dalam lalu menyemburkan kalimat itu begitu saja. "I can't meet you anymore, it means I'm disrespecting Ezra, my husband."

"Mit," Radi memohon kepadanya.

"Dan Naya juga, istri kamu."

"Bagaimana dengan orang udah memperkosa kamu?"

Armita berpikir sejenak, kepalanya terasa penuh sesak, dadanya juga begitu. Apa dia harus melupakan kejadian itu begitu saja? Menutup jejaknya dan menjalani hidupnya tanpa memori sepuluh tahun yang hilang? Ataukah dia ingin membongkarnya, mencari tahu, dengan konsekuensi hidupnya saat ini akan berantakan?

"Aku nggak tahu." Armita menggeleng, dia menjawab jujur.

"Please, biarin aku nolong kamu. Buat hal satu ini aja."

Sanggupkah dia membiarkan Radi melakukan ini demi dirinya? "Aku mau ketemu Naya."

"Mit."

"Kamu mau nolong aku kan? Aku mau ketemu Naya." 

Untuk menemukan kepingan dirinya yang hilang, Armita harus mencari tahu, dimulai dari apa yang terjadi tujuh belas tahun lalu sebelum bertemu dengan Om Heru, Radi, dan Ezra. Di mulai dari orang-orang terdekatnya dahulu, Naya, Ima, dan Risma.

***

Armita pulang dengan tubuh lunglai, dia pergi seharian ini bersama Radi dan baru kembali saat jam pulang kantor. Armita menolak tumpangan Radi dan memilih naik angkutan umum untuk memecahkan perasaan kalut yang melandanya. Tubuhnya yang lelah secara fisik dan mental dihantam perasaan gelisah ketika telah tiba di teras depan rumahnya. Mobil Ezra sudah ada di parkiran, sementara dia sendiri memutuskan untuk duduk di depan teras dan tidak masuk ke kamar untuk mengistirahatkan tubuhnya di atas kasur.

Armita meluruskan kedua kakinya, matanya menatap langit-langit yang gelap tanpa bintang. Tangannya memegang tas tangannya yang berisi dokumen-dokumen kantor. Kenapa Armita dua puluh tujuh tahun berubah seratus delapan puluh derajat dibanding dirinya sendiri? Dia melihat kuku-kukunya yang tidak lagi secantik saat ia bangun pertama kali di dunia asing ini, kukunya tidak lagi bermanikur indah, digantikan oleh bekas luka gigitannya tiap kali ia gelisah. Pakaian yang dia kenakan mungkin tidak lagi seseksi saat pertama kali tiba di sini, digantikan oleh blazer, celana panjang, dan kemeja lengan panjang, tetapi ini semua masih terasa asing.

Armita membuka tasnya, mengeluarkan sebuah ponsel terbaru yang Ezra berikan kepadanya lalu menyalakannya. Sederet pesan singkat juga misscall masuk ke dalam ponselnya. Pria itu mencarinya seharian ini.

Armita memencet nama Ezra di layar lalu menunggu beberapa saat sebelum pria itu mengangkat teleponnya.

"Armita!" 

"Ezra," Armita tersenyum mendengar nada panik yang keluar dari suara Ezra.

"Kamu di mana?"

"Di teras."

"Oke, tunggu, aku ke sana sekarang." Suara langkah kaki terdengar dari dalam rumah sementara Armita sendiri menunggu di teras.

"Zra, bisa kita bicara lewat telepon?" Armita menoleh ke atas, melihat pria itu berhenti di tangga dari jendela. Mata keduanya bertemu, Armita melambaikan tangannya. "Boleh kita ngomong di sini?"

"Kenapa?"

"Aku belum siap aja lihat muka kamu." Armita mengembuskan napas berat.

"Aku cari kamu seharian." Ezra duduk di tangga. "Seharusnya kita pulang kantor bareng."

Armita menggeleng. "Maaf ya. Aku buat kamu nyariin aku seharian."

"Ada apa, Mit?"

"Ternyata kerja itu capek." Armita berbaring di teras dengan tasnya sebagai bantalan kepala. "Temen-temen kantorku nggak menyenangkan."

"Kerja di kantor berat ya?" Ezra yang dulu menganjurkannya untuk kerja terlebih dahulu, tetapi kini mulai menyesali keputusannya. "Kamu nggak papa?"

"Bohong kalau aku bilang aku nggak papa."

"Jadi tadi kamu kabur dari kantor?"

"Iya." Armita tidak menyadari ternyata senyaman ini bercerita kepada seseorang. "Pas jam makan siang aku kabur dan nggak kembali lagi."

"Besok gimana?"

"Aku nggak yakin bisa ke kantor lagi besok. Aku belum siap."

"It's okay, Mit. You will be okay."

Baru kali ini ada seseorang yang berkata kepadanya bahwa dia akan baik-baik saja di dunia asing ini. "Zra, usia mentalku itu masih tujuh belas tahun. Loncat sepuluh tahun, tahu-tahu udah dua tujuh. Capek ya jadi orang dewasa?"

"Capek banget." Ezra menyahut.

"Pas kamu umur dua tujuh kamu gimana?"

"Capek juga, ya kayak kamu." Ezra tertawa kecil di ujung sambungan telepon. "Umur dua tujuh aku udah nikah sama kamu. Honeymoon phase udah lewat, ujian pertama pernikahan."

"Apa itu?" Armita menutup matanya dengan tangan kanannya. Angin malam berembus melewati pakaiannya.

"Kamu yakin mau di teras terus? Nanti masuk angin gimana?"

"Zra, kamu bisa nggak jawab aja pertanyaannya."

Ezra tertawa, pria itu rupanya sadar bila kini Armita tahu kapan waktu Ezra menghindari pertanyaannya. "Raditya."

Tubuh Armita menegang, ujian pertama pernikahan mereka adalah Radi. "Kenapa Radi?"

"Mantan pacar kamu. Pacar serius kamu sebelum aku."

"Kita sempat pacaran?"

"Nggak sih, langsung nikah."

"Eh, beneran?"

"Pacaran tapi bentar doang? Terus nikah." Ezra menjelaskan singkat. "Waktu itu aku merasa kalau aku itu cuman pelarian karena mantan pacarmu nikah dengan sahabatmu."

"Tapi kok diterusin?"

"Karena aku lamar kamu dan kamu terima? Jadi aku kira 'oh oke, Radi boleh punya masa lalu kamu, tapi aku yang punya masa depan kamu untuk seterusnya'." Armita tersenyum mendengarkan penuturan Ezra. "Tapi ujian pertama pernikahan ya dia lagi."

"Kenapa?"

"Hubungan kalian ternyata lebih dekat dari yang aku kira." Napasnya memberat, pembicaraan ini memberat seiring dengan topik yang dibawa oleh pria itu.

"Aku tahu." Armita mengangguk. "Anin cerita."

"Apa yang Anin cerita?"

"Aku selingkuh sama Radi."

Ezra terdiam, keduanya sama-sama bungkam selama beberapa saat. Topik mengenai pria itu terlalu berat untuk diceritakan, terutama di dalam hubungan mereka. "Do you still love him?"

"Zra, apakah karena ini kita bercerai? Because I hurt you?" 

"If you makes mistakes at that time, it probably because of me."

"No, Zra." Armita menghentikan kata-kata Ezra. "Kalau kamu bikin kesalahan pada waktu itu, itu karena aku." Armita terisak. "Bukan kamu aja yang aku sakitin Zra. Orang-orang benci aku, teman kantorku nggak suka aku, ibumu nggak suka aku, dan Anin pun berharap aku lupa ingatan selamanya. Separah apa yang Armita dua puluh tujuh tahun udah lakuin sampai semua orang berharap dia nggak pernah kembali?"

Suara pintu terbuka, Armita melihat ke atas di mana Ezra sudah berdiri di depan pintu dengan mengenakan kaos putih dan celana pendek. Sambungan teleponnya terputus, Armita bangkit dengan mata yang basah dan sembap. Ezra menariknya ke dalam sebuah pelukan hangat. Armita menangis kembali, terisak keras di dalam dekapan pria itu.

"Zra, nggak ada orang yang suka aku. Nggak ada yang mengharapkan Armita dua puluh tujuh tahun kembali." Ia terisak-isak, ingusnya mungkin meleber kemana-mana dan membasahi kaos pria itu, begitu juga dengan make up yang masih melekat di wajahnya. "Gimana kalau ingatanku kembali? Apa kamu akan menjauh? Apa Anin akan menjauh? Apa aku bisa kembali sendiri?"

"Sorry, Mit. Maaf aku nggak pernah menyadari betapa kesepiannya kamu selama ini."

"Aku jahat ke kamu, Zra. Aku selingkuhin kamu sama Radi dan aku bahkan nggak tahu kesalahan macam apa lagi yang udah aku lakuin ke kamu dan orang-orang ini hingga nggak ada satu pun dari mereka yang mengharapkan aku kembali." Armita mengucapkan kata-katanya dengan terbata-bata. "A-aku bahkan nggak yakin bisa pulang ke rumah hari ini setelah ketemu Radi tadi."

Tubuh Ezra menegang, Armita menyadarinya tetapi dia tidak melepaskan dekapan pelukannya dari tubuh pria itu. "Kamu ketemu Radi tadi?"

"Dia datang, pas aku makan siang. Dia juga tahu aku hilang ingatan." Armita mendongak, matanya melihat mata Ezra yang balas menatapnya.

"Apa ketemu dia bikin kamu ingat sesuatu?" Armita menggeleng. "Do you still love him?"

"Kenapa itu penting Zra? Aku bahkan nggak ingat dia."

Ezra menarik napas panjang. "Mungkin karena aku insecure."

"Aku nggak bisa jawab pertanyaan kamu, karena sekarang aku nggak ingat dia, aku nggak punya perasaan apa-apa buat dia."

"What about me? Do you love me?"

Sejujurnya, jauh di lubuk hatinya yang terdalam, Armita pun tidak bisa memberikan jawaban yang Ezra inginkan. Dia melupakan pria itu. Apakah yang dia rasakan saat ini bisa disebut sebagai cinta? Dia membutuhkan pria itu, dia membutuhkan seseorang di dunia asing ini, kebetulan saja Ezra menjadi orang pertama yang menyambutnya di tempat ini, orang pertama yang hadir di sisinya saat berada di rumah sakit.

Armita tidak menjawab pertanyaan Ezra, dia menarik kaos pria itu lalu mengecup bibirnya perlahan, ragu-ragu. Ezra termenung sesaat sebelum membalas ciuman Armita, tangan pria itu menahan tengkuknya, bibirnya menciumnya lebih dalam, lidahnya masuk ke dalam mulutnya, lidah keduanya bertautan, saling merasa satu sama lain. 

Armita merasa gamang, dia merasa bersalah kepada pria yang berada di hadapannya ini. Bisakah dia membuka semua hal ke hadapan pria ini dan memutuskan untuk mempercayainya?

***

Tidak pernah terpikirkan di dalam dirinya bahwa mereka akan berada di atas satu kasur yang sama. Bukan, mereka tidak melakukan apa pun, mereka hanya berbaring di sisi satu sama lain, wajah keduanya saling berhadapan.

Armita memperhatikan wajah suaminya, hidungnya yang mancung, bibirnya yang beberapa saat lalu dia kecup, alisnya yang tebal, hingga rambut hitamnya yang mulai memanjang. Armita mengelus puncak kepala Ezra tanpa ia sadari, merasakan halusnya gelombang rambut pria itu lalu menarik napas dalam.

"Kenapa?" Ezra bertanya kepadanya. Mereka berbaring di sisi satu sama lain, tanpa nafsu yang menggebu atau pun amarah yang memuncak. Hanya berbaring, saling menatap dan meresapi kehadiran satu sama lain di sisinya. Asing sekali rasanya di tempat ini, di kasurnya sendiri, di sebelah Armita, istrinya sendiri.

"Aku jahat sama kamu." Armita menghela napas gusar.

"Nggak, Mit. Kamu punya alasan untuk jadi jahat, aku yakin itu."

"Radi mengatakan sesuatu yang lucu tadi."

"Lucu?" Ezra menautkan keningnya. Hal lucu apa yang membuat wanita itu pulang ke rumah dengan mata sembap dan merah?

"Kalau kamu nggak tahu apa-apa." Ezra terdiam, memang ada kehidupan lain di dalam diri Armita yang tidak Ezra ketahui, tetapi sejauh mana? Ezra pun tidak tahu. "Kamu ingat memori yang waktu itu?" Ezra mengangguk ragu, tangannya menggenggam tangan Armita seolah takut bila wanita itu tiba-tiba kembali seperti waktu itu, gemetar ketakutan, jauh berbeda daripada Armita dua puluh tujuh tahun yang dia kenal selama ini. "Someone really raped me, Zra."

Armita menatap mata Ezra, cahaya di dalam sana meredup, amarah dan emosi di dalam dirinya berusaha ia tahan mati-matian. "Siapa? Radi? Brengsek. Sorry. Fuck." Seandainya dia bisa mengeluarkan seluruh umpatan dan makian untuk melepaskan rasa sesak dan bersalah di dalam dadanya ini, mungkin akan dia lakukan, tetapi melihat Armita yang menarik dirinya menjauh, Ezra tidak dapat melakukannya. Dia tidak bsia memperlihatkan sisi dirinya yang ini ke hadapan Armita.

"Kamu nggak tahu?" Armita bertanya. Ezra menggelengkan kepalanya. "Armita dua puluh tujuh tahun nggak pernah cerita ke kamu?"

Ezra menggeleng kembali. "Maaf Mit. Maaf buat kamu merasa kesepian selama ini." Ada alasan kenapa Armita dua puluh tujuh tahun membangun benteng begitu tinggi untuk dirinya. Wanita itu tidak pernah mempercayainya. Selama ini hubungan mereka hanya berlangsung satu arah, Ezra yang berusaha mati-matian memberikan apa yang ia kira Armita inginkan tanpa menyadari apa yang sebenarnya Armita butuhkan. Dia laki-laki yang egois, mengira bahwa dia telah melakukan yang terbaik tanpa benar-benar memberikan yang terbaik kepada istrinya ini. "Kamu tahu siapa pelakunya?"

Armita mengangguk ragu. "Sekarang aku ngerti kenapa badanku menegang dan kaku tiap kali lihat dia."

"Siapa?" Ezra berbisik pelan, takut mengetahui apa yang sebenarnya terjadi di depan matanya, tetapi dia terlalu buta untuk melihatnya secara langsung.

"Om Heru. Suami ibuku."

Continue Reading

You'll Also Like

1.1M 50.3K 37
⚠️ Kalau Teman-Teman tim sad ending, silakan mundur. Jangan kecewakan diri kalian dengan akhir cerita yang bahagia. Thank you. . . . . . Tiba-tiba m...
1.3M 99.3K 34
Keisari, 27 tahun, jomlo, dan pengangguran. Wow! Akhirnya dia tiba pada fase paling mengerikan bagi seorang perempuan. Ketika relasi, percintaan, k...
674K 21.9K 46
"Berapa?! Berapa yang kamu inginkan?! Sebutkan saja! Berapapun jumlahnya akan aku berikan padamu saat ini juga asalkan kamu pergi dari hidupku, wanit...
165K 5.3K 74
Di hari yang seharusnya menjadi momen paling bahagia dalam hidupnya, Ameera justru kehilangan segalanya. Calon suaminya tewas dalam kecelakaan tragis...