Shreya melangkah gontai menuju kelasnya. Hanya wajahnya yang dia basuh di toilet, noda jus mangga yang menodai seragamnya sengaja dia abaikan. Kalau saja toilet tadi tidak begitu ramai, dia pasti sudah meluapkan air mata yang sejak tadi menggantung. Namun, karena tidak mungkin, Shreya memilih kembali ke kelas, memutuskan untuk menahan luka itu dalam diam.
Pikirannya terus berputar pada kata-kata Garda. Kalimat yang begitu dingin dan tajam masih menggema di benaknya, menusuk jauh ke dalam hati. Shreya menelungkupkan kepalanya ke atas meja, kedua lengannya menjadi bantalan. Mungkin... mungkin sudah saatnya dia menyerah. Awalnya, dia berpikir tidak apa-apa jika perasaannya pada Garda tetap sepihak. Namun, sorot kebencian di mata Garda tadi—setitik saja, tapi cukup menusuk—membuatnya berharap perasaan sukanya bisa lenyap begitu saja. Karena memendam rasa seperti ini terasa terlalu menyakitkan.
Dia mengangkat kepalanya perlahan, menghela napas panjang. "Perlahan pasti perasaan ini akan hilang," batinnya mencoba meyakinkan diri. Meski entah kenapa, keyakinan itu masih terasa rapuh.
Getaran ponselnya memecah keheningan. Shreya mengambilnya dari atas meja dan mendapati pesan dari Rania.
Rania
Lo di mana, Sey? Gue nyusul.
Gue udah balik ke kelas, Ran.
Setelah mengirimkan pesan, Shreya meletakkan ponselnya ke dalam kolong meja. Namun, tangannya bersentuhan dengan sesuatu. Dahi Shreya mengernyit. Dia merogoh benda itu dan mengeluarkannya.
Cokelat. Sebatang cokelat cukup besar dengan pita merah yang membungkusnya. Ada secarik surat kecil terselip di antara pita itu. Jantungnya berdetak sedikit lebih cepat. Tanpa perlu berpikir lama, dia tahu pasti siapa yang mengirimkannya. Guardian.
Dengan hati-hati, Shreya membuka surat kecil itu. Tulisan tangan yang rapi menyambutnya.
-----------------------------------------------------------
Small gift for the winner, winner in my heart, hehee. Selamat, Shreya, atas juara lomba cerpennya! Juara 2 itu luar biasa. I'm proud of you.
-----------------------------------------------------------
Kedua sudut bibir Shreya terangkat, membentuk senyum kecil yang tulus. Hatinya, yang sempat terasa berat, kini sedikit lebih ringan. Guardian. Kamu benar-benar pahlawanku hari ini.
"Seya, lo nggak apa-apa kan?" tanya Rania yang menyusulnya ke kelas dengan wajah cemas.
Shreya menggeleng pelan. "Emang gue kenapa?" Dia balik bertanya, berusaha terdengar biasa saja.
"Tadi lo kelihatan sedih pas dimarahin Garda," ujar Rania, suaranya melembut, tak yakin dengan dugaan itu.
"Oh, nggak kok. Gue nggak sedih, cuma kaget aja, Ran." Shreya tersenyum tipis. Dia memang pandai menyembunyikan perasaannya. Meski sedang sedih atau kesal, wajahnya tetap terlihat tenang. "Lagian gue udah nggak kepikiran malah."
"Bagus, deh," kata Rania, meski nada suaranya menyiratkan keraguan. Dia tahu betul sahabatnya ini sering menyembunyikan emosi.
"Heran gue sama Garda. Sensi banget sama lo!" Rania mendengus sambil menarik kursi dan duduk di dekat Shreya.
"Ini udah kedua kalinya gue numpahin minuman ke baju dia. Kayaknya dia cuma nggak mau sampai kejadian yang ketiga kalinya," jelas Shreya sambil tertawa kecil, meski tawanya terdengar sedikit dipaksakan.
"Oh iya! Gue inget, yang waktu lo ketemu dia di mal, kan?" tanya Rania, diikuti anggukan dari Shreya.
"Ran, lihat ini." Shreya mengeluarkan cokelat dengan pita merah dan secarik surat yang menyertainya.
Rania membelalak takjub. "AAA, so sweet banget! Nggak perlu diraguin lagi Guardian emang suka banget sama lo."
Shreya hanya mengangkat bahu kecil. Meski dia tahu Guardian menunjukkan perhatian yang tulus, entah kenapa dia masih merasa ragu. Dia ingin tahu dulu siapa Guardian sebenarnya.
"Lo mau?" Shreya mulai membuka bungkus cokelat itu.
"Enggak, ah. Itu kan spesial, dari Guardian buat lo," tolak Rania dengan sopan.
"Dia nggak bakal keberatan kalau gue bagi ke sahabat baik gue," kata Shreya sambil tersenyum. "Mau nggak?"
"Mauuuu!" Rania langsung nyengir lebar.
"Shreya!" panggil Heni yang baru saja memasuki kelas bersama Mira dan beberapa teman lainnya yang baru kembali dari kantin.
"Uang kas kita totalnya berapa, sih?" tanya Heni langsung.
"Bentar." Shreya mengambil buku catatan bendaharanya dari dalam tas. "Satu juta dua ratus lima puluh enam ribu."
"Wih, banyak juga!" seru Mira, mengangguk kagum.
"Oh oke. Gue sama Mira rencananya mau mulai cari katering atau orang yang bisa bikin tumpeng," jelas Heni.
"Wah iya, sebentar lagi HUT sekolah, kan?" timpal Rania.
"Cari yang sekalian include lauknya, jadi kita tinggal terima beres. Di sekolah tinggal hias aja," saran Shreya sambil menutup buku catatannya.
"Iya, gue juga maunya gitu," kata Heni. Matanya kemudian tertumbuk pada cokelat Shreya di meja. "Cokelat siapa tuh?"
"Punya Shreya," jawab Rania cepat.
"Mau dong, Sey!" pinta Heni dengan mata berbinar.
"Boleh, ambil aja." Shreya tersenyum ramah. Heni langsung memotong sepotong cokelat dengan gembira. "Makasih ya, Sey!"
"Eh, gue juga mau, Sey!" Ikram langsung melirik cokelat itu dengan wajah penuh harap.
"Gue juga!" seru Darel.
"Shreya, gue boleh juga, kan?" Hito menyahut tak mau kalah.
Shreya tertawa kecil. "Yaudah, ambil aja. Dibagi buat semuanya." Meski sedikit sayang, Shreya ikhlas berbagi dengan teman-temannya.
Ikram mengambil cokelat itu dan memonopoli sejenak, membuat situasi menjadi kacau karena teman-teman lainnya mulai berebut.
"Shreya, lo terlalu baik deh. Semua cokelat lo dipalak sama mereka!" ujar Heni sambil tertawa kecil, dia mendekat dan merekam kericuhan itu dengan ponselnya.
"Bener tuh kata Heni. Lo pasti nggak enak bilang 'nggak boleh' ke mereka," timpal Rania, melirik Shreya dengan sorot tajam.
Shreya hanya mengangkat bahu. "Ya udah sih, Ran. Nggak apa-apa."
"Tapi itu kan dari Guardian," protes Rania dengan suara pelan.
"Biar juga jadi amal buat Guardian," jawab Shreya santai sambil terkekeh kecil.
"Tapi, Sey..." Rania masih ingin menimpali, namun Shreya sudah membuka buku Fisikanya.
"Udah, Ran. Gue mau baca-baca dulu. Nanti kan ada ulangan Fisika," potong Shreya, menutup pembicaraan.
***
-----------------------------------------------------------
Enough for sharing, Shreya. Keep for yourself.
-----------------------------------------------------------
Shreya mengerjapkan mata. Lagi-lagi, ada cokelat dari Guardian. Kali ini bukan cuma satu batang, tapi tiga!
"Dari mana dia tau" gumamnya pelan diikuti dengan seulas senyum yang terbit. Guardian begitu peduli padanya.
Shreya lalu mengambil jaketnya lalu menutup lokernya. Pikirannya berputar, Guardian nggak mungkin teman sekelasnya, kan? Meskipun, kadang-kadang ada hal-hal tentang dirinya yang sepertinya cuma teman sekelas yang tahu. Tapi entah kenapa, Shreya yakin, Guardian bukan salah satu dari mereka.
Lalu sebuah ingatan meilintas. Heni. Video yang direkam tadi, saat cowok-cowok berebut cokelatnya, diunggah Heni ke story Instagramnya. Berarti ada kemungkinan Guardian melihat video itu.
"Mungkin dia salah satu followers-nya Heni..." gumam Shreya lagi. Ini bisa jadi petunjuk penting.
"Ayo, Sey!" panggil Vita, tampak Vita dan Damar menunggunya dari depan pintu kelas mereka XII IPA 3.
"Eh, iya!" Shreya buru-buru menjawab sambil mengayunkan tasnya ke bahu. Mereka bertiga pun melangkah menuju ruang ekskul mading.
***
Setibanya di ruang eskul, suasana cukup ramai. Ada Damar, Firman, Olla, Seli, dan beberapa anggota lainnya yang sudah berkumpul. Mereka berkumpul untuk mengadakan rapat.
"Olla, selamat ya! Juara satu nih," kata Shreya, menyapa Olla.
Olla terkekeh, "Makasih, Kak Shreya. Selamat juga buat kakak!" jawabnya ceria.
"Semester depan, jadi ketua divisi konten ya, gantiin aku," bujuk Shreya.
Di eskul mading ini, Shreya mengemban tugas sebagai ketua divisi konten. Dia melihat potensi Olla yang luar biasa, bahkan bisa mengalahkannya di lomba cerpen dan terus menunjukkan kinerja progresif selama jadi anggota eskul. Jadi dia merasa Olla cocok untuk mengantikannya.
"Gamau ah. Aku mau tetap di PDD aja. Seru jadi admin IG!" tolak Olla sambil nyegir.
"Periode selanjutnya setiap anggota harus tukar divisi, sih," kata Damar membuat senyum Olla memudar.
"Yah, Kak Damar kok gitu!" Olla mencebik, sambil pura-pura kesal. Shreya dan Vita langsung tertawa puas melihat ekspresi Olla.
Akhirnya, Damar membuka rapat. Semua anggota terlihat antusias, menunggu apa yang akan dia sampaikan.
"Jadi, teman-teman, aku dapat info dari OSIS. HUT tahun ini setiap eskul wajib mendemonstrasikan kegiatan mereka di acara puncak HUT sekolah," kata Damar, memberikan informasi penting. "Bu Andin kasih saran supaya kita buat pameran mini karya. Gimana, kalian setuju nggak?" tanyanya, menyampaikan ide dari Bu Andin, pembina eskul mading.
"Setuju!" jawab seluruh anggota eskul mading serentak.
Rapat pun berlanjut dengan diskusi santai tentang bagaimana menyiapkan pameran tersebut. Akhirnya, mereka sepakat untuk menampilkan berbagai karya, seperti poster, artikel, cerpen, dan juga dokumentasi kegiatan eskul mading di pameran mereka.
"Sey, sini bentar," panggil Damar pada Shreya yang sibuk memilah-milah arsip karya bersama anggota divisinya. Mereka sedang mencari karya yang cocok untuk ditampilkan di pameran mini karya nanti.
"Kenapa, Mar?" tanya Shreya sambil menghampirinya.
"Gue mau lo wawancara Alina, anak kelas XI IPA 1, untuk artikel terbaru kita. Garis besarnya gue mau lo ngulik persiapan dia menuju olimpiade matematika. Gue mau artikel itu dipajang juga di pameran nanti," kata Damar sambil melipat tangannya di dada.
Shreya terdiam sejenak. Nama itu—Alina. Sekarang, nama itu udah nggak asing lagi di telinganya. Dan seperti biasa, setiap kali mendengar nama Alina, pikirannya otomatis melayang ke Garda.
"Kenapa Alina? Maksud gue, peserta lain nggak menarik?" tanya Shreya, sedikit ragu.
"Alina termasuk dalam jajaran siswa pintar," jelas Damar. "Dan ini pertama kalinya dia ikut olimpiade matematika, sementara Garda—wakil sebelumnya—selalu juara sampai tingkat nasional. Gue pengen lo gali, apakah dia ngerasa tertekan sama prestasi Garda sebelumnya. Gue denger juga, Garda sendiri yang mentorin dia. Itu kan menarik buat dibahas?"
Shreya mengangguk, mulai memahami arahnya. "Tapi harus gue juga yang wawancara?" tanyanya, agak malas.
"Iya dong!" sahut Damar tegas. "Gue perhatiin, lo udah lama nggak nulis artikel. Paling cuma quotes sama cerpen. Kebangetan kalau nggak mau."
Shreya meringis kecil. "Iya deh, iya," jawabnya pasrah.
"Tuh, ajak Seli. Dia kan paling semangat kalau disuruh wawancara," saran Damar sambil melirik ke arah Seli yang lagi ngobrol dengan anggota lain.
"Apaan nih namaku disebut-sebut?" Seli langsung menoleh, telinganya memang seperti radar.
"Sel, temenin aku wawancarain Alina, wakil sekolah kita di olimpiade matematika. Mau nggak?" tanya Shreya.
"Oh, siap banget, Kak!" jawab Seli dengan mata berbinar-binar.
Huh, wawancara Alina, ya? Shreya mendesah pelan dalam hati. Baru saja dia mencoba menghilangkan Garda dari pikirannya, tapi sekarang dia malah harus berurusan dengan orang yang berkaitan langsung dengan Garda. Sebuah perasaan tak nyaman menyelinap ke dalam dadanya, meski dia berusaha keras untuk menepisnya.
***
Note: Ada part sebelumnya yang digabung di part ini karena part sebelumnya jadi terlalu panjang. Happy Reading 😊