Shreya berdiri mematung di depan lemari pendingin es krim, matanya menatap sederet pilihan rasa dengan kebingungan. Tangannya sudah penuh dengan berbagai makanan ringan—keripik, cokelat, dan minuman—yang ia beli untuk persediaan karena Rania akan menginap di rumahnya malam ini. Tapi, seperti biasa, Shreya tidak bisa mengabaikan keinginan untuk menambahkan es krim ke dalam keranjang belanjanya.
"Cokelat, stroberi atau rasa ini aja, ya..." gumamnya pelan, lebih pada dirinya sendiri.
"Kenapa kebanyakan cewek selalu lama kalau milih es krim?" suara cowok yang familiar membuat Shreya tersentak kecil.
Dia menoleh cepat, dan di sana, berdiri Kaivan dengan senyuman santainya. Jersey sepak bola yang ia kenakan tampak sedikit kusut, rambutnya basah oleh keringat, menandakan dia baru saja selesai latihan.
"Karena buat sebagian cewek, beli es krim itu juga bagian dari pengalaman menikmati hidup," Shreya mencoba tersenyum, tapi rasa gugup langsung menyerangnya. "Nggak cuma pilih rasa, tapi juga pilih vibes yang cocok buat mood."
Kaivan melirik rak es krim, lalu kembali menatap Shreya. "Jadi lo bingung karena itu?"
"Nggak juga. Gue bingung antara mau nyoba rasa yang biasanya gue beli atau rasa baru yang belum pernah gue coba," kata Shreya, kali ini dengan nada yang lebih santai, meski dia masih canggung.
"Cobain rasa baru nggak ada salahnya," kata Kaivan, sambil tersenyum tipis. "Sama aja kayak nerima orang baru, kan?"
Shreya mengerutkan alis, heran. Apa maksudnya? Tapi dia memilih mengangguk kecil sambil pura-pura sibuk menatap es krim di depannya.
"Lo suka banget es krim, ya?"
Shreya menatap Kaivan sekilas, jantungnya berdebar tak karuan. Di taman kota kemarin Guardian memberinya es krim, jadi sepertinya Guardian tahu dia suka es krim. Apa mungkin... Kaivan juga tahu? Dia harus hati-hati, tapi rasa penasarannya terlalu besar untuk diabaikan.
"Iya," jawab Shreya akhirnya, sedikit ragu. "Gue suka es krim, banget"
Akhirnya, Shreya mengambil satu cup rasa cookies and cream. "Lo mau beli es krim juga?" tanyanya sambil mencoba membaca reaksi Kaivan.
Kaivan menggeleng, tangannya memegang botol minuman isotonik. "Gue lebih suka yang kayak gini. Es krim terlalu manis buat gue."
Shreya mengangguk pelan, mencoba mencari petunjuk di balik jawaban Kaivan. Tapi cowok itu tampak santai, tanpa tanda-tanda mencurigakan.
Setelah memasukkan es krim ke keranjangnya, Shreya berjalan ke arah kasir, tapi Kaivan terus mengikutinya. "Banyak banget jajan lo, mau party?" Kaivan melirik keranjang Shreya yang penuh dengan camilan.
"Enggak," jawab Shreya cepat. "Temen gue mau nginap di rumah gue nanti malam, jadi gue beli makanan ringan."
Kaivan tersenyum kecil, lalu berkata, "Oh, kirain. Eh, ngomong-ngomong, gue baca cerpen lo."
Langkah Shreya terhenti sejenak di depan kasir. "Lo baca?" tanyanya dengan nada terkejut.
Kaivan mengangguk. "Iya, 'Jejak Rasa dalam Surat'. Gue lihat di IG teater. Gue udah vote, bahkan temen-temen gue juga gue suruh buat vote cerita lo. Gue yakin cerita lo yang bakal kepilih."
Shreya agak speechless mendengar Kaivan sampai mengerahkan teman-temannya untuk vote cerpennya. "Makasih. Tapi sebenernya gue malah berharap nggak kepilih," jawabnya pelan.
"Kenapa?" tanya Kaivan, mengerutkan alis.
"Nggak apa-apa. Cuma nggak pengen aja. Tapi kalau emang kepilih juga nggak masalah," kata Shreya, mencoba terdengar santai.

KAMU SEDANG MEMBACA
Enchanted Letters
Teen FictionBagi Shreya, tidak ada yang lebih rumit daripada perasaan sukanya pada Garda, bintang voli sekolah. Kecerobohan fatal yang pernah dilakukannya pada Garda sepertinya telah menimbulkan kesan buruk di mata cowok itu, sehingga Shreya selalu pesimis pera...