Embusan angin malam seakan menusuk hingga ke tulang. Dahan-dahan pohon menari-nari di kegelapan malam. Suasana di perumahan terlihat sepi, tak ada satu pun kendaraan melintas. Penerangan di rumah-rumah padam satu persatu menyisakan lampu jalanan. Mereka mulai beristirahat setelah lelah bekerja.
Namun, tidak memungkiri jika pemilik rumahnya benar-benar tidur. Di rumah milik salah satu pasangan, tepat pada lantai satu dengan cahaya remang-remang, terdengar suara bercakap-cakap.
"Jika itu keputusanmu, aku akan memberi tahu Rafael," ucap Mia seraya menatap bulan yang terlihat kesepian tanpa ada bintang satu pun.
Tatapan Shareef terpaku pada air kolam di depannya. Saat ini, pasangan suami-istri itu menghabiskan waktu bersama selepas makan malam dengan mengobrol di kursi berbahan rotan yang berada di pinggir kolam renang. Sedangkan Hana dan Rafael mungkin sudah terlelap di kamar masing-masing.
"Beri tahu dia jika saya tidak melarangnya, hanya saja saya tidak ingin melihatnya menjadi kepribadian yang lebih tertutup."
Mendengar itu, Mia menolehkan pandangannya ke arah Shareef. Menyunggingkan senyuman yang hampir seperti orang ingin terkekeh. "Kenapa bukan kamu yang memberi tahunya langsung?"
Sebelum menjawab, Shareef mengembuskan napas kasar. Lantas membalas tatapan istrinya itu. "Kau lihat sendiri? Rafael seperti enggan berbicara denganku," katanya.
Mia terdiam mendengar hal itu. Seakan ucapan Shareef benar adanya. "Yeah ... semenjak kejadian di toilet sekolahnya, dia menjadi lebih tertutup. Aku juga menyadari hal itu. Sebenarnya banyak yang ingin kutanyakan kepadanya. Beberapa kali ketika dia pulang, aku menemukan hal janggal. Bungkus rokok itu ..., dia tidak ingin menceritakannya." Mia melanjutkan dengan intonasi yang terdengar pelan.
"Jika masalah di kantor sudah selesai, saya akan mencoba kembali ke sekolahnya. Sudah, ayo masuk," ajak Shareef mulai beranjak dari duduknya.
Mia ikut berdiri. Sambil berjalan di belakang suaminya itu, dia melontarkan pertanyaan. "Kamu mau apa ke sana?"
Shareef tidak menjawab langsung, dia terlebih dahulu mempersilakan istrinya masuk sebelum menutup pintu samping rumah yang terbuat dari kaca. "Saya sudah kehilangan rasa hormat kepada mereka."
Cahaya bulan menembus masuk—pembatas antara dapur dan kolam juga terbuat dari kaca—sebelum Shareef berpamitan untuk menyikat gigi, Mia lebih dulu dibuat bungkam oleh ucapannya itu. Tatapannya dibuat terpaku pada punggung lebar suaminya yang mulai menjauh. Dirinya tidak bisa menebak apa yang akan dilakukan Shareef kepada pihak sekolah.
Saat menaiki tangga menuju kamarnya. Perhatiannya tertuju pada celah pintu bawah kamar anak kembarnya, Mia melihat penerangan kamar itu belum padam.
Mia mengurungkan niatnya untuk mengetuk pintu kamar anak itu dan memutuskan untuk langsung masuk saja tanpa minta izin. Mungkin Rafael sudah tertidur, pikirnya.
"Bunda."
Niatnya yang hanya ingin mematikan lampu kamar, terurungkan saat mendengar Rafael memanggilnya dengan suara begitu samar.
"El?"
Tidak ada jawaban. Mia semakin melangkah ke arah kasur anak itu. Bisa saja dia butuh sesuatu. Dalam sekejap saat melihat putranya itu, Mia dibuat panik seketika mendapati wajah Rafael yang dipenuhi peluh keringat.
"Bunda, bunda." Tanpa kesadaran yang penuh, anak itu terus memanggilnya.
"Lagi? Lagi? Bangun, El. Rafael!"
Ini bukan pertama kalinya Mia mendapati Rafael dengan kondisi seperti ini. Mia hafal betul, Rafael sering kali mengingau memanggilnya jika kondisi anak itu sedang tidak baik-baik saja. Tetapi tetap saja dirinya masih dibuat panik.
Mia mengguncang tubuh putranya itu sebagai upaya membangunkannya seraya terus memanggil namanya. Rafael benar-benar sangat susah untuk dibangunkan jika sudah begini, kesadarannya seolah terjebak di alam lain. Bahkan tidak jarang juga diikuti dengan tangisan. Seperti sekarang, matanya kini basah. Tangan Mia beralih menepuk-nepuk pipi putranya itu. Untungnya, usaha Mia tidak gagal untuk membangunkan anak itu.
Mia segera membantunya untuk mengubah posisinya menjadi duduk.
"Bunda ...."
Saat tatapan mata itu balas menatapnya, Mia tidak bisa menahannya, bibirnya bergetar diikuti air matanya yang langsung luruh. Mia memeluk erat anak itu. Jantungnya baru saja terpacu dengan hebat. Dirinya terlalu takut saat ini. "El, jangan seperti ini. Bunda takut," bisik Mia dengan suara parau, tangannya terus mengusap punggung anak itu. Bahkan bajunya basah karena keringat.
"Mereka memukuliku .... "
Mia melepaskan pelukannya setelah dirasa cukup tenang. Kedua tangannya kini beralih memegangi kedua pundak anak itu kemudian menatap mata yang tersirat kegelisahan. "Bunda di sini, kamu aman. Ada Bunda di sini menjagamu, El," ucap Mia meyakinkan.
Mia tidak tahu secara pasti apa yang sebenarnya anak itu mimpikan. Namun, yang pasti itu adalah mimpi buruk. Setiap kali dirinya bertanya, Rafael tidak pernah menjawabnya. Alhasil, dia hanya bisa menenangkannya.
"Aku takut, Bunda."
"Tidak ada yang perlu ditakutkan, Bunda di sini menemanimu."
Bohong, padahal baru beberapa menit yang lalu dia juga berucap demikian. Dirinya lah yang sangat ketakutan sekarang. Saat melihat kondisi Rafael yang sakit. Kenangan-kenangan tentang putra sulungnya terus berputar di benaknya, menjadikan mimpi buruk yang paling nyata untuknya.
"Sudah cukup tenang?" tanya Mia memandangi wajah anaknya itu.
Rafael menganggukkan kepalanya dengan pelan sebagai jawaban.
Terjadi keheningan beberapa saat, Mia melirik jam digital di meja belajar Rafael. Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam.
"Ganti bajunya dulu, baru tidur kembali." Baru saja Mia ingin beranjak untuk mengambil baju ganti untuk anak itu, namun tangan Rafael yang menahan pergelaran tangannya membuatnya menolehkan pandangannya ke arah anak itu. "Ada apa?"
"Besok, aku tidak ingin ke sekolah."
Ungkapan dari Rafael membuat Mia kembali duduk di tepi kasur. Mia menggelengkan kepalanya sebelum melontarkan balasannya. "Tidak, kamu besok belum masuk sekolah. Kemarin ayahmu pergi ke sekolahmu untuk meminta izin lebih lama lagi. Sekarang tidak perlu memikirkan tentang sekolahmu dulu, yang terpenting kamu hanya perlu beristirahat sampai benar-benar sembuh, ya? Kamu akan masuk kembali setelah libur akhir tahun," jelas Mia seraya mengusap surai hitam putranya itu.
Lagi-lagi, Rafael merasa kecewa mendengar ucapan bundanya, seakan tidak mengerti apa yang dia maksud. Dengan perasaan sedikit kesal, Rafael membuka bajunya yang terasa lengket. Anak itu menarik selimut dan kembali berbaring seraya membungkus seluruh tubuhnya.
Mia tahu Rafael belum tertidur. "Besok Bunda ingin mengajakmu ke suatu tempat. Tempat yang membuatmu merasa bersyukur," ucap Mia kemudian beranjak dari sana. Sebelum keluar, dia lebih dulu memunguti baju Rafael yang terjatuh di lantai lalu mematikan lampu kamar.
Sebenarnya, Mia tahu apa yang Rafael maksud. Anak itu ingin berhenti. Namun, mengingat malam semakin larut, dia tidak ingin pembahasan lebih panjang tentang penolakan Shareef mengenai anak itu yang menginginkan untuk home schooling atau sekolah daring.
Mendengar pintu kamarnya ditutup, Rafael segera menyibakkan selimutnya kemudian menolehkan kepalanya ke arah bundanya menghilang. Mencerna ucapan terakhir yang didengarnya. Saat menatap lamat-lamat pada kasur di atasnya, satu pertanyaan muncul.
"Tempat yang membuatku bersyukur? Di mana?"
***
Pagi ini, di tengah kesibukan penduduk kota. Mia memberhentikan taksi kemudian menaiki mobil itu bersama Rafael. Setelah dari check-up, Mia memutuskan untuk mengajak anak itu ke—
"Pemakaman kota," ucap Mia kepada sopir taksi saat sudah duduk dengan nyaman di jok belakang.
Mobil itu mulai berjalan kembali ke tempat tujuan. Rafael yang duduk di sebelah bundanya menolehkan kepalanya ke arah bundanya dengan sedikit terkaget.
"Pemakaman?" tanya Rafael dengan suara nyaris seperti gumaman.
Mia mengangguk membalasnya. "Kamu belum pernah, kan, Bunda bawa ke sana? Kita bertemu kembaranmu," katanya dengan lembut seraya memperbaiki anak rambut Rafael yang sedikit berantakan.
Mendengar itu, pandangan Rafael beralih ke sepatunya. "Bukannya Kak Farel sudah tiada? Bagaimana kita bisa bertemu?"
"Setidaknya kita pergi menemui tempat terakhirnya," balas Mia lalu menghirup oksigen dalam-dalam. Sebenarnya masih banyak ingin dia ucapkan, tetapi dia tidak ingin membuat Rafael tambah bersedih.
Setelahnya, tidak ada lagi pembicaraan di dalam mobil itu sampai sopir taksi menghentikan kendaraan beroda empat itu di depan gerbang pemakaman.
Rafael segera turun mengikuti bundanya setelah membayar taksi itu. Rafael menelan ludahnya membaca sebuah tulisan di bagian atas gerbang pemakaman kota. Hargai mereka walaupun sudah tiada. Begitu tulisan di bawah kata 'Pemakaman Kota' yang sangat besar. Entah mengapa tulisan itu begitu horor, pikirnya.
Sebelum masuk, Mia menatap anak itu yang balas menatapnya. Mia mengangguk untuk meyakinkan Rafael.
Mereka mulai melangkah masuk. Gundukan tanah menyambut. Tulisan nama seseorang yang telah tiada tertulis di sana. Rafael terus berjalan di samping bundanya, namun semakin dalam mereka menyusuri, jantungnya berdegup lebih kencang. Mia merasakan tangan yang dia genggam itu terasa dingin.
Beberapa saat berikutnya, Rafael menyaksikan sendiri nama kembarannya di salah satu makam di sana. Tatapannya tertuju pada tanggal yang mereka bayangkan akan sangat indah, perayaan sederhana bersama sahabat-sahabatnya. Namun, siapa duga akan menjadi tragedi yang sangat membekas di benak orang-orang terdekatnya.
Dalam sekali kedip, air mata anak itu jatuh membasahi pipinya.
"Mungkin akan lebih banyak penyesalan ketika menaruh bunga di atas makamnya."