“Batas bukan dinding untuk menjauh, tapi jendela agar orang lain tahu di mana mereka harus berhenti.”
Siang itu terasa terik, panas yang menyelusup di antara dedaunan dan menempel di kulit. Matahari tak beranjak dari puncak langit, memaksa udara di sekitar posko terasa berat, penuh dengan debu yang berterbangan. Sesekali, angin menerpa, memberi sedikit angin segar, tapi tetap saja, kehangatan itu tak pernah benar-benar pergi.
Kimmy, yang baru selesai membersihkan teras depan, menyandarkan tubuh di pagar, meresapi keheningan sesaat. Suara riuh dari dalam posko sudah mulai memudar, menggantikan dengan hiruk-pikuk anak-anak yang keluar masuk dengan tujuan masing-masing. Lantas, tiba-tiba ada suara yang memanggilnya dari dalam posko.
“Kim, motor lu bisa gue pinjem bentar nggak? Mau ke warung, cuma sebentar, janji!” suara Angelie terdengar dari arah ruang tengah, dan tanpa berpikir panjang, Kimmy mengangguk.
“Iya, bentar ya. Kuncinya di laci bawah TV!” jawab Kimmy, hampir tanpa sadar. Tangannya menyusuri pinggir pagar sambil matanya menatap ke luar, menyadari bahwa setiap hari, tak jarang barang-barangnya dipinjam begitu saja, seolah itu adalah hal yang wajar.
Tanpa banyak bicara, motor itu pun meluncur pergi dengan dua orang di atasnya. Seperti biasa, tanpa helm, tanpa sepatah kata lagi. Kimmy hanya menggelengkan kepala pelan, merasa itu bukan hal yang perlu dipersoalkan, setidaknya untuk saat itu.
Lanny yang melihatnya dari kejauhan hanya diam. Ia menatap motor Kimmy yang perlahan menghilang di ujung jalan, membawa serta dua orang yang bahkan tak pernah benar-benar memedulikan pemiliknya. Ada yang mengganjal di dadanya rasa tak nyaman yang perlahan merayap, mengikat pikirannya.
Bibirnya terkatup rapat, tapi matanya berbicara banyak. Ia tahu, tak seharusnya anak-anak memanfaatkan Kim begitu saja. Terlebih saat di balik punggung Kimmy, mereka dengan mudah melempar bisik-bisik murahan, membentuk narasi yang tak berakar, tak berdasar. Isu yang tak layak hidup, apalagi dilontarkan oleh mereka yang tak punya cukup keberanian untuk mengenal seseorang dengan sungguh-sungguh.
Namun, Lanny menahan diri. Belum saatnya ia menyingkap semuanya. Ia memilih mendekat pada Kimmy yang masih bersandar di pagar, tubuhnya tampak letih, namun senyumnya tetap sama ramah, ringan, dan tulus.
“Kim,” suara Lanny terdengar pelan, hampir seperti bisikan yang dibawa angin, “kamu sadar nggak sih mereka sering banget pinjem barang-barang kamu? Motor, charger-an, kadang bahkan jaket kamu. Tapi jarang ada yang ngembaliin dengan utuh, atau ngisi ulang apa yang udah mereka pakai.”
Kimmy hanya tertawa kecil, menunduk. “Iya sih tapi nggak apa-apa. Aku juga mikirnya daripada mereka kesusahan”
Lanny mengangguk pelan, tapi ada sorot mata yang tak sejalan dengan senyum tipisnya. “Aku ngerti maksud kamu. Tapi kadang, terlalu baik itu bisa jadi luka juga buat diri sendiri. Bukan berarti harus pelit atau berubah, cuma kasih batas, Kim. Barang-barang kamu itu juga bagian dari kamu. Dan kamu berhak jaga itu.”
Kimmy menatap Lanny. Kali ini, tatapan itu sedikit lebih dalam, lebih berhenti.
“Kamu bilang kasih batas?”
“Iya,” Lanny mengangguk, suaranya tetap lembut. “Ngasih batas bukan berarti nggak peduli. Tapi itu cara kamu jaga diri. Kadang, yang kelihatan tulus itu yang paling gampang dimanfaatkan.”
Dan untuk pertama kalinya, Kimmy tak membantah. Ia hanya diam, menatap mata Lanny, lalu mengalihkan pandangan ke arah jalan yang barusan dilintasi motornya. Mungkin, untuk pertama kalinya juga, ia mulai berpikir apa selama ini ia terlalu longgar membuka pintu untuk orang-orang yang bahkan tak pernah berniat masuk dengan sungguh-sungguh?
***
Langit mulai menggurat jingga tipis saat waktu perlahan menyusup ke arah senja. Cahaya matahari yang tadinya hangat kini mulai redup, seperti menyimpan resah yang tak terucap. Kimmy duduk di depan posko, tubuhnya tak lagi bersandar santai seperti tadi. Kedua matanya gelisah, berpindah-pindah ke layar ponsel, lalu ke jalanan yang kosong. Sekali, dua kali, ia mencoba menekan nama yang sama di layar.
Tak aktif.
Lagi-lagi tak aktif.
Angelie dan Gracia bilang hanya sebentar, hanya ingin keluar sebentar itu tadi dua jam yang lalu. Dan sampai sekarang, tak ada tanda-tanda mereka akan kembali.
Hatinya mulai dilanda badai kecil. “Jangan-jangan ada apa-apa,” gumamnya pelan, lebih untuk dirinya sendiri daripada siapa pun.
Lanny duduk di sampingnya, tak banyak bicara. Ia hanya mengamati, kadang menyentuh lengan Kim sebentar untuk menenangkan. Tapi bahkan ketenangan Lanny pun tak mampu meredakan kekhawatiran yang terus tumbuh di dada Kimmy.
Lalu suara motor terdengar. Dua pasang tawa ringan mendahului langkah kaki mereka.
“Kim, maaf ya lama banget,” ujar Gracia buru-buru sambil melepas helm.
“Iya, sumpah tadi kita kelaparan banget, jadi mampir cari makan dulu. Nggak kepikiran bakal selama itu,” tambah Angelie, cengengesan. “Makasih banget ya, udah dipinjemin motor!”
Kimmy hanya mengangguk pelan. “Iya nggak apa-apa.” Suaranya nyaris datar, tapi ia tetap menahan senyum kecil agar tak tampak terlalu kesal.
Keduanya buru-buru masuk ke dalam rumah posko tanpa sempat melihat lebih jauh raut wajah Kimmy yang kini kembali menunduk. Tangannya bergerak membuka jok motor, memeriksa indikator bensin.
Jarumnya sudah hampir menyentuh garis merah.
Kim hanya bisa menarik napas, dalam dan panjang. Tak ada kemarahan yang meledak, tak ada bentakan yang keluar. Hanya kelelahan yang mengendap perlahan, bercampur pasrah.
Bukan sekali ini, pikirnya.
Dan mungkin bukan yang terakhir, jika ia terus begini.
Malam turun pelan seperti selimut yang jatuh perlahan dari langit. Udara desa mulai menggigit kulit, tapi bukan itu yang membuat Kimmy diam membeku di teras posko malam itu.
Di hadapannya, motor itu terdiam. Bisu. Sama bisunya dengan rasa-rasa yang berjejal dalam dadanya.
Ia memandangi jok yang masih terbuka, sisa napasnya menembus udara dingin yang mulai mengental. Matanya singgah ke indikator bensin, lalu kembali menatap langit. Tidak ada bintang malam ini. Mungkin karena mendung. Mungkin karena ia sudah terlalu lelah berharap.
Bukan tentang bensin itu saja, pikirnya. Bukan tentang motor, atau charger yang sering hilang, atau shampoo yang entah kenapa cepat habis. Ini tentang rasa, tentang caranya diam-diam membiarkan dirinya dimanfaatkan demi dianggap berguna.
Tapi malam ini, ia tahu.
Ada saat di mana baik saja tidak cukup. Ada saat di mana memberi terus-menerus, tanpa batas, hanya membuat orang lain lupa caranya menghargai.
Perlahan, Kimmy menutup jok motornya. Lalu berdiri. Dingin menelusup ke dalam hoodie yang ia pakai, tapi dadanya terasa sedikit lebih hangat dari tadi.
Besok, ia akan mulai berkata “nggak dulu.”
Akan mulai menggembok motornya.
Akan menyimpan colokan charger-nya di tempat yang hanya ia tahu.
Bukan karena marah. Bukan karena pelit.
Tapi karena ia mulai belajar, bahwa menjaga diri sendiri bukanlah sebuah dosa.
Dan di dalam posko itu, meski belum ada yang tahu keputusannya malam ini, Kimmy melangkah masuk dengan langkah ringan untuk pertama kalinya setelah sekian hari.
Ada sesuatu dalam dirinya yang mulai tumbuh.
Namanya: batas.
Pagi datang seperti biasa. Lembut. Tidak tergesa. Matahari belum sepenuhnya hangat, tapi cukup untuk mengusir sisa-sisa dingin semalam.
Di dapur posko, suara wajan yang bersentuhan dengan minyak mulai terdengar. Aroma bawang yang ditumis memenuhi udara, menyapa setiap sudut rumah sederhana itu.
Kimmy duduk di meja makan, hoodie abu yang sama seperti semalam masih membungkus tubuhnya. Tapi ada yang berbeda. Cara ia menatap sekeliling. Cara ia meletakkan ponselnya, tak lagi dibiarkan sembarangan.
Gracia masuk dengan langkah santai. Rambutnya masih basah habis keramas, dan tangan kirinya menggenggam helm yang Kim kenal betul. Helm motornya.
“Eh, Kim, pinjem motor lagi bentar ya. Mau beli kopi dulu ke depan,” ucap Gracia, seperti biasa. Seperti tak ada yang salah.
Tapi Kim tidak langsung menjawab.
Ia menatap Gracia sebentar, senyumnya tidak sepenuhnya hilang, tapi tidak pula seperti biasanya.
“Bensinnya udah mau habis. Kayaknya gue mau isi sendiri aja nanti,” jawabnya pelan, namun jelas.
Gracia mengerutkan alis, “Ohh..yaudah deh.”
Ia pergi tanpa banyak bicara, hanya sedikit heran. Sementara Kimmy tetap diam di tempatnya, menyuap sarapannya perlahan.
Beberapa menit kemudian, Angelie datang, matanya menyipit melihat Kimmy yang duduk tanpa biasanya banyak bicara. “Kim, kemarin makasih ya. Sorry banget motornya kepake lama”
Kim hanya tersenyum kecil. Tidak menjawab panjang. Tidak bertanya balik. Dan itu cukup membuat Angelie merasa sedikit kikuk, meski tak tahu kenapa.
Hari ke-12 baru dimulai, dan dunia belum berubah.
Tapi Kimmy sudah.
Lanny memperhatikan dari balik pintu dapur yang setengah terbuka. Ia melihat bagaimana Kimmy menolak dengan halus, bagaimana ia tidak lagi langsung berdiri begitu seseorang minta tolong, tidak lagi buru-buru menawarkan apa pun yang ia punya.
Ada sesuatu yang berubah. Bukan Kimmy-nya yang lain, tapi caranya menjaga dirinya sendiri. Dan entah kenapa, itu justru membuat Lanny merasa bangga.
Saat suasana mulai sepi, Lanny berjalan pelan mendekati meja. Ia membawa dua gelas teh hangat yang baru saja ia buat, lalu meletakkannya di hadapan Kimmy.
“Pagi,” ucapnya singkat.
Kimmy menoleh, menyambut dengan senyum kecil yang tulus. “Pagi juga.”
Beberapa detik hening, hanya suara sendok yang mengaduk pelan teh dalam gelas.
Lanny akhirnya bicara, suaranya pelan tapi ada nada senang yang tak bisa ia sembunyikan. “Aku lihat kamu mulai pasang batas, ya”
Kimmy tertawa kecil, lembut, lalu mengangguk. “Iya. Kayaknya aku butuh itu dari dulu.”
Lanny tersenyum. Matanya menatap Kimmy seperti sedang membaca puisi yang ia suka. “Aku senang kamu mulai sadar. Kadang, baik aja tuh nggak cukup kalau ujungnya malah nyakitin diri sendiri.”
Kimmy menatap balik, kali ini lebih lama. Ada rasa hangat yang merambat pelan ke dadanya. Rasa dihargai. Rasa dimengerti.
“Thanks ya, Lan,” ucapnya pelan. “Bukan cuma karena kamu ngingetin tapi karena kamu nggak pernah maksa aku buat berubah. Kamu cuma nunjukin arah. Sisanya, kamu biarin aku pilih sendiri.”
Lanny tersenyum. “Ya emang gitu cara kerja temen yang sayang sama temennya, kan?”
Kalimat itu membuat dada Kimmy terasa sedikit penuh. Tapi ia hanya tersenyum lagi. Kali ini lebih lebar.
Mereka minum teh bersama dalam diam yang nyaman. Tak ada percakapan besar, tak ada janji-janji. Hanya dua orang yang saling mengerti, duduk bersebelahan dalam pagi yang perlahan mulai menghangat.
Dan dalam keheningan itu, Lanny merasa mungkin, Kimmy yang baru ini, justru lebih menawan dari yang pernah ia kira.
Matahari sudah sedikit condong ke barat saat posko kembali lengang. Anak-anak yang tadi sibuk menyiapkan perlengkapan ibadah kini mengisi sore dengan kegiatan masing-masing. Ada yang rebahan, ada yang ngelap keringat sambil bercanda, dan ada pula yang memilih diam karena lelah tak terucap.
Di antara tumpukan gelas plastik bekas makan siang, Kimmy duduk di anak tangga teras posko. Matanya menerawang jauh ke jalanan desa yang mulai sepi. Ada suara ayam berkokok sesekali, dan desir angin yang membawa bau tanah kering.
Lanny datang perlahan, seperti biasa tanpa banyak suara, tapi cukup membuat hati Kim sadar akan kehadirannya.
“Boleh duduk sini?” tanya Lanny, sambil menunjuk ke anak tangga sebelah Kim.
Kimmy mengangguk. “Boleh. Tapi jangan duduk di semut, ya.”
Lanny tertawa kecil dan duduk. Hening sebentar, hanya suara angin yang menemani.
“Kamu kelihatan tenang hari ini,” ucap Lanny akhirnya.
Kim menarik napas, lalu menghembuskannya pelan. “Mungkin karena udah mulai bisa ngerem. Nggak ngerasa harus selalu jadi penolong setiap waktu.”
Lanny menoleh, menatap Kimmy sebentar. “Kamu tahu nggak? Aku suka Kimmy yang ini.”
Kim mengerutkan kening. “Yang mana?”
“Yang bisa bilang ‘nggak’. Yang tahu kapan harus jaga diri. Yang tahu dia juga pantas dijaga,” kata Lanny, pelan tapi penuh makna.
Kimmy terdiam. Lalu tersenyum kecil, seakan kata-kata itu memeluknya diam-diam.
“Kadang aku takut kalau terlalu banyak bilang ‘nggak’, nanti orang-orang malah jauh,” bisiknya, jujur.
Lanny menggeleng pelan. “Kalau orang itu pergi cuma karena kamu nggak nurutin semua maunya berarti mereka memang nggak pernah sungguh-sungguh mau tinggal.”
Mata Kimmy berkaca-kaca, tapi ia tertawa kecil menutupinya. “Kamu bisa ya ngomong sedalam itu habis makan sayur bening sama tempe goreng?”
Lanny ikut tertawa. “Efek sambel kayaknya.”
Mereka tertawa bersama, ringan, seperti dua burung kecil yang baru sadar bahwa langit ternyata cukup luas untuk terbang tanpa takut.
Dan saat tawa mereka mereda, Lanny menyandarkan bahu pelan ke bahu Kimmy. Sebentar saja. Tapi cukup untuk membuat jantung Kim berdebar lebih dari biasanya.
Tak ada yang perlu dikatakan. Karena dalam sore yang hangat itu, kedekatan mereka tidak butuh banyak kata cukup kehadiran, cukup rasa.
TBC...
Aku janji chapter 21 bakal publish paling lambat jam 2 dini hari nanti. Maaf yah jam update nya lagi berantakan karena aku lagi ada beberapa urusan lain, tapi tenang aja aku pasti bakal luangin waktu sebisa mungkin buat update cerita ini. See u in the next chapter 👋