Jinwoo datang mengetuk pintu apartemen milik M/N beberapa kali. Menunggu jawaban yang masih belum juga terdengar dari dalam membuat kekhawatiran semakin mereyapinya. Kembali ia mengetuk, namun bila masih tidak ada jawaban maka Jinwoo tidak memiliki pilihan selain menerobos masuk, entah itu melalui balkon seperti sebelumnya atau dengan melakukan shadow exchange.
Sedang M/N didalam sana tengah menimang apakah dia harus membuka pintu ataukah tidak karena sekarang dia masih belum siap bertemu dengan Jinwoo. Namun kala ancaman dikeluarkan mungkin karena kekasihnya itu juga mulai gemas akan tingkah pengecutnya, M/N berjengit langsung berlari menuju pintu.
"Sayang, buka pintunya atau aku pastikan kau tidak akan bisa berjalan untuk satu minggu kedepan."
Panik. Meskipun suara itu terdengar tenang dan ramah tetapi M/N bisa merasakan jika kini tubuhnya merinding. Dia tahu maksud Jinwoo kearah mana, dan mengingat jika kini dirinya tengah mengandung muda, akan sangat berisiko untuk bermain dewasa saat ini. Jinwoo itu akan berubah ganas jika sudah diatas ranjang dan M/N tidak mau janinnya kenapa-napa akibat guncangan yang terjadi nanti.
Dengan selimut menutup seluruh tubuhnya, ia berjalan menuju pintu. Meskipun memang mereka sempat bertukar password apaartemen, tetapi yang membuat sulit adalah karena si cantik jika sudah mengurung diri akan memasang kunci ganda jadinya Jinwoo tidak bisa masuk sebarangan.
Pintu perlahan terbuka memperlihatkan celah kecil dan M/N yang mengintip dibaliknya dengan kepala tertutupi selimut. "A-ada apa Jinwoo-san?" Ujarnya terbata.
Jinwoo mengerutkan alisnya, kali ini apa yang terjadi. Batin Jinwoo.
"Buka pintunya, sayang." Ucap Jinwoo lembut tetapi itu terdengar seperti sebuah perintah bagi M/N.
"Aku sudah membukanya." Jawab si cantik tanpa mau menatap Jinwoo.
"Lebih lebar. Jika begini aku tidak bisa masuk."
Senyuman dibibir Jinwoo terlihat mengerikan dimata M/N, apalagi kala tangan Jinwoo mendorong pelan pintu yang menghalangi mereka. Kerutan timbul disaat Jinwoo bisa merasakan bahwa M/N menahannya.
"Ada apa, sayang? Kau menyembunyikan sesuatu dari ku?" Katanya langsung mendapat gelengan.
"Tidak! Bukan seperti itu. Aku hanya... lelah. " Balasnya mencicit di kalimat terakhir.
Jinwoo tidak percaya begitu saja. Dia tahu jika sudah seperti ini, maka ada sesuatu yang mengganggu kekasihnya. "Aku dengar dari Jinah jika kau tidak keluar dari apartemen selama beberapa hari ini. Apa ada yang terjadi selama aku pergi?" Tanyanya.
M/N terdiam tidak langsung menjawab, jelas sekali menunjukkan jika pikiran sosok itu tengah penuh oleh suatu hal. Binar di manik biru itu juga terlihat meredup dan raut wajahnya berubah kosong.
Mengambil kesempatan, Jinwoo mendorong pintu itu hingga terbuka sepenuhnya membuat M/N berjengit dan gelagapan. Bibirnya terbuka seperti ingin mengatakan sesuatu namun terlalu kelu. Maniknya bergetar, dia belum siap untuk bertemu dan berbicara dengan Jinwoo sekarang.
Namun sentuhan di pipinya terasa hangat dan menenangkan benak yang dilanda gundah. Tanpa sadar air matanya turun, M/N tidak mengatakan apapun tetapi dia menangis terisak menumpahkan pikiran yang memberatkannya akhir-akhir ini. Dan Jinwoo juga tidak berniat untuk menanyakan penyebabnya. Dia hanya membawa tubuh itu untuk bisa dipeluknya tanpa mengucapkan sepatah kata pun, namun melalui perlakuannya sekarang dia tengah menyerukan sebuah ketenangan yang mungkin dicari oleh si cantik.
Mata abunya berkilat menatap pada bayangan M/N dimana ia menyembunyikan satu prajurit bayangannya untuk bisa menjaga sang kekasih. Terlihat tanpa emosi namun percayalah jika kini Jinwoo marah sampai berpikir untuk menghantam habis prajurit bayangannya sekarang juga.
Mengangkat tubuh itu, dia membawanya menuju ruang utama. Duduk di sofa dengan M/N di pangkuannya. Tangisannya sudah mulai mereda dan menyisakan isakan kecil saja sebagai jejak. Dia menunggu dengan tenang meskipun bibirnya tidak sabar ingin melayangkan pertanyaan penyebab yang membuat kekasihnya menjadi seperti sekarang.
Namun sampai beberapa berlalu hingga M/N benar-benar tenang masih belum ada juga percakapan diantara mereka. Ini semakin membuat Jinwoo tidak tenang. Ia menghela nafas, tangannya terus mengelus kepala belakang M/N. "Apa yang membuat mu seperti ini?" Tanyanya lembut.
Hening. Si cantik tidak menjawab. Jinwoo menunduk, melihat pada M/N yang menyandar di dadanya. Mendengus pelan, ternyata dia tertidur. Batinnya.
Menyandarkan punggungnya nyaman pada sofa, perintah ia berikan agar si prajurit bayangan muncul di hadapannya. Pandangannya menyorot tajam pada makhluk besar bertaring itu, "aku memerintahkan mu untuk menjaganya. Tetapi kenapa dia jadi seperti ini?" Nada yang digunakan mungkin terdengar tenang, tetapi itu menghantarkan kengerian yang pekat.
Makhluk besar itu menunduk lesu. Ingin menjawab jika itu bukan salahnya tetapi dia sudah berjanji pada M/N, selain itu untuk menjelaskannya saja ia tidak bisa. Mulutnya hanya mengeluarkan suara abstrak yang tidak bisa dimengerti.
"Katakan! Kau ingin aku murnikan?" Ancam Jinwoo. Sang pemimpin memang sangat mengerikan. Dia sampai tidak berkutik.
Dengan mengucapkan kata maaf di dalam hati, ia masuk tanpa permisi ke kamar M/N dan kembali dengan sebuah map coklat ditangan, menyerahkannya pada Jinwoo yang mengernyit akan kelancangannya.
Logo rumah sakit menjadi perhatian utamanya. Dia ingat jika Jinah mengatakan M/N sempat pergi keluar, apa mungkin untuk melakukan pemeriksaan? Apa sebenarnya M/N belum sembuh makanya dia jadi seperti ini? Ah, ini membuatnya semakin cemas, takut jika penyakit M/N ternyata lebih parah dari yang diduga.
Seharusnya aku tidak pergi kemarin. Batinnya menyesal.
Membuka map coklat itu dan mengeluarkan dokumen didalamnya. Mengernyit kala satu foto hitam- tidak ini hasil USG! Jinwoo menunduk melihat pada M/N sebelum kembali menilik arti dari dokumen dan foto tersebut.
"Hamil." Gumamnya berbisik.
Kembali membaca dokumen lainnya, dua kata bercetak tebal disana memberikan sebuah konfirmasi tambahan baginya. Omega dominan.
Jinwoo kembali menatap si cantik, membelai wajah yang terlihat sembab itu dan menyampirkan helaian rambut merah muda M/N ke belakang telinga, "apa ini yang membuat mu resah, hm?" Tanyanya namun tentu tidak mendapatkan jawaban apapun.
Ia mengecup puncak kepala M/N dan tersenyum tipis sebelum kembali menyandarkan diri sembari menghela nafas. Pikirannya melayang pada saat ia tiba-tiba menyentuh perut M/N tanpa alasan, mungkin ini adalah penyebabnya.
"Kau membuat ku khawatir, sayang."
.
.
.
Kini ketiga anggota keluarga Sung menatap pada betapa bentakan apartemen mereka. Jinwoo yang geram mengapit pipi adiknya, "aku meleng sedikit tapi kau sudah membuat rumah berantakan seperti ini." Katanya gemas akan tingkah sang adik yang begitu jorok.
Jinah mengakui kesalahannya dengan cengengesan kaku. "Maaf."
Sedang Kyung Hye menyentuh pundak kedua anaknya sambil tersenyum tenang namun penuh tekad. "Sepertinya tugas pertama kita sudah ditentukan." Katanya membuat anak-anaknya menghela nafas.
Acara bersih-bersih pun dilakukan secara gotong royong diselingi oleh beberapa pertanyaan entah itu tentang Jinwoo yang menjadi seorang hunter kelas S atau tentang keberadaan Sung Il Hwan sang kepala keluarga yang masih belum ditemukan tanda kembalinya.
"Jadi, bagaimana dengan M/N-san?" Ujar Jinah sambil tangannya bergerak membersihkan debu dikaca lemari.
Jinwoo terlihat santai duduk di sofa sambil bertopang dagu, "dia tertidur." Jawabnya singkat.
"Tapi kau sudah berbicara dengannya kan?" Timpal sang ibunda.
Jinwoo mengangguk, "sudah."
"Itu bagus. Dalam sebuah hubungan komunikasi itu sangatlah penting. Jangan sampai ada kesalahpahaman diantara kalian yang menyebabkan hal-hal buruk terjadi di kemudian hari nantinya." Ucap Kyung Hye memberikan petuah pada sang anak.
Jinwoo yang mendengarnya tersenyum tipis, "tentu, bu."
Hingga semuanya sudah selesai kala hati berganti malam. Kyung Hye baru saja menyelesaikan masakan untuk makan malam meminta Jinah memanggil Jinwoo makan malam, sekalian mengajak M/N juga untuk bergabung. Dia tidak sabar untuk bertemu dengan sosok yang dikatakan sebagai kekasih putra sulungnya.
Sedang didalam apartemen M/N, kedua orang itu duduk berhadapan di ranjang. M/N masih menunduk dan Jinwoo menatapnya dalam.
Tangan dengan jemari lentik itu diambil untuk bisa dirinya genggam, tetapi tetap tidak ada reaksi berarti. Sampai ia mencium telapaknya, M/N akhirnya bergerak menunjukkan respon dengan menumpukan kepalanya pada lutut kakinya.
"Ini aneh kan? Apa kau membenci ku, Jinwoo-san?" Lirihnya.
"Apa ini yang membuatmu tidak mau menatap ku sekarang?"
M/N terdiam, tangannya yang terbebas meremat kuat selimut yang menutupi tubuh bagian bawahnya disaat tangisan itu kembali membasahi wajahnya. "Aku... hanya tidak sanggup untuk melihat respon mu."
Emosi dingin Jinwoo yang dulu sempat hilang di benaknya kembali dan berputar menggiringnya pada ketakutan. Perkataan sarkasnya juga bagaimana mata itu memandangnya dingin. Hatinya belum siap untuk melihatnya lagi.
"Dari perlakuan ku sekarang, bagaimana kau menafsirkannya, sayang?"
M/N menggeleng yang hal itu membuat Jinwoo menyunggingkan senyumannya, "apa aku terlihat membenci mu?" Kali ini tidak ada jawaban atau gerakan, M/N hanya terdiam.
"Kalau begitu tatap aku."
"Aku takut. Aku seorang pengecut, Jinwoo-san."
Hening menyela, Jinwoo menatap telapak tangan yang kemerahan itu dalam sebelum tindakan yang dilakukan selanjutnya membuat M/N terkejut dan menegakkan tubuhnya.
Ia menjilatnya dan menggigitnya, tidak terlalu keras namun cukup untuk menghantarkan sengatan pada saraf sensorik si cantik. Lantas seringaian puas timbul di bibirnya. "Bagus, sekarang kau menatap ku dengan benar."
"Ap-!" M/N menahan nafas kala wajah itu mendekat dengan cepat membuat hidung mereka hampir bersentuhan.
"Aku mencintai mu, sayang. Begitu juga dengan dia yang ada di perut mu. Tidak ada ruang bagi ku untuk membenci kalian berdua." Tuturnya tersenyum lembut membuat hati M/N terenyuh mendengarnya.
"Tapi, bukankah ini menjijikkan? Aku seorang lelaki tapi bagaimana bisa-"
"Shtt- cukup sayang. Terkadang cara kerja dunia memang tidak bisa dicerna oleh akal sehat." Potong Jinwoo. Kini ia membingkai wajah itu dengan tangannya, "maaf sudah membebankan ini pada mu, sayang."
M/N kembali menangis menumpukan kepalanya pada dada Jinwoo yang disambut oleh elusan oleh pria itu. Terlihat menyentuh jika saja bel tidak berbunyi nyaring menginterupsi. Jinwoo memutar bola mata malas, selalu saja hal seperti ini terjadi kala ia ingin menghabiskan waktu romantis dengan kekasihnya. Namun, M/N terkekeh melihat respon jengah Jinwoo.
"Aku akan memeriksanya." Katanya hendak bangkit sebelum ditahan oleh Jinwoo.
"Biar aku saja."
Mengintip terlebih dahulu melalui kaca bulat kecil di pintu. Dia mendengus saat melihat jika lagi-lagi adiknya yang mengganggu acara romantisnya. Membuka pintu malas, dia menatap datar pada Jinah didepannya.
"Apa?" Katanya bersungut.
Jinah mendelik mendengar nada bicara kakaknya itu, "ibu memanggil mu untuk makan malam, sekalian ajak M/N-san juga."
Menaikan sebelah alis, Jinwoo baru ingat jika ibunya itu mengatakan ingin bertemu dengan M/N. Dia berdehem, "kami akan segera kesana."
Jinah mengangguk sebelum kembali ke rumah dan Jinwoo masuk untuk menemui M/N mengatakan hal tersebut padanya. Si cantik masih duduk diam diatas ranjangnya, pandangannya mengarah keluar pada arah balkon dimana gelapnya langit malam berada.
Jinwoo mengetuk pintu untuk menyadarkannya dan mendekat, "siapa?" Tanya M/N.
"Jinah. Aku belum mengatakannya pada mu, jika ibuku sudah kembali dari rumah sakit. Dia mengatakan ingin bertemu dengan mu." Ujarnya. Ia menatap dalam pada si cantik untuk melihat responnya.
"Tapi aku belum siap. Apalagi sekarang aku terlihat berantakan." Ujarnya.
"Kau masih cantik untuk ku."
Sekejap pikirannya hilang tergantikan oleh raut terkejut, "kau melantur?"
"Tidak. Ini kenyataan yang memang dulu sempat aku tampik. Namun sekarang tidak lagi. Kau cantik, sayang."
M/N tertegun. Perlahan tapi pasti pipi itu mulai memerah antara malu dan salah tingkah. "Jangan menggoda ku." Ujarnya. Ia membuang mukanya.
Jinwoo terkekeh. Tanpa memberikan peringatan apapun, tubuhnya diangkat pada gendongan lelaki itu yang membuat M/N spontan memekik. Kelopak matanya mengedip beberapa kali.
"Kali ini kau ingin melakukan apa?" Katanya gugup.
"Tentu membawa kekasih cantik ku pada ibuku."
Dia langsung memberontak. Akan malu jika dia datang sambil digendong seperti ini. Seperti orang sakit saja. Pikirnya.
"Tidak! Turunkan aku sekarang juga! Aku akan berjalan sendiri, Jinwoo-san." Sesekali ia memukul dada si dominan namun itu nampaknya tidak berarti apa-apa.
"Kau tidak boleh kelelahan, sayang." Begitu ujarnya hingga kini dirinya harus menahan malu didepan Jinah dan wanita paruh baya yang sempat ia temui di rumah sakit dalam keadaan koma waktu lalu.
Wajahnya ia tutup dengan kedua tangan karena habis diwarna merah. M/N sungguh tidak habis pikir dengan Jinwoo yang bahkan menjadi lebih ugal-ugalan. Melirik pada kedua wanita yang membeku melihat kearahnya dengan syarat tidak percaya dari celah jemarinya. Ah, dia ingin mengubur dirinya sendiri sekarang.
Tolong siapapun, pukul lah kepala dari pria yang menggendongnya ini!
***
No comment deh sama-sama kelakuan Jinwoo sekarang _-