Jinyoung menahan gemeletuk giginya. Udara dingin terasa masuk ke balik piyama yang ia kenakan. Tubuh atasnya dilapisi jas formal milik Guanlin yang kemudian dibungkus mantel tebal lagi. Menyisakan sang mafia yang kini sibuk memindahkan beberapa barang dalam bagasi mobil hanya mengenakan kemeja putih panjang dan celana jeans.
Wajah tampan Guanlin terlihat datar dan kaku seperti biasa, tapi Jinyoung tahu pasti pria itu sedang cemas. Tidak, Guanlin tak takut soal musuhnya. Ia tidak takut tertangkap atau bahkan mati sekali pun, terlampau biasa baginya.
Tapi kali ini, di perjalanannya yang sekarang. Guanlin menemukan sesuatu yang baru, yang belum pernah ia hadapi. Sesuatu yang sebelumnya selalu ia anggap tabu, dusta, dan omong kosong semata. Yang membuatnya selalu bergidik jijik hanya karena mendengarnya.
“Ahjussi, memangnya tidak kedinginan..?”
Kegiatan Guanlin terhenti sejenak, tersenyum lembut pada pemuda manis yang duduk meringkuk di serambi depan rumah. Bertahun-tahun hidup dan Guanlin baru tahu kalau ada makhluk seindah ini di dunia. Perasaan inilah yang ia maksud.
Singkatnya, Guanlin mengalami sesuatu yang selama ini tidak ia percayai keberadaannya. Entah Guanlin harus bersyukur karena artinya ia manusia normal, atau menganggapnya kesialan karena ia terus-terusan ketakutan akan suatu hal yang belum pasti terjadi.
“Untuk orang yang pernah kejar-kejaran di hutan dengan telanjang dada, ini bukan apa-apa,” jawab Guanlin datar, tapi jelas pria itu hendak menyombong. Biasa, naluri pria untuk menunjukkan ketangguhan di hadapan orang yang disuka— meh.
“Aku mengerti, sebelum jadi penjahat. Ahjussi pernah jadi tarzan?”
Hah?
“Yak! Apa kau bodoh, sialan—“
“Kasar sekali.”
Ucapan Jinyoung seolah menusuk tepat di dada hingga Guanlin tercekat. Maklum saja, bicaranya memang begitu, lalu tiba-tiba ia harus menahan diri untuk tidak mengumpat bukan sesuatu yang mudah.
“Apa yang ahjussi bawa sih? Repot sekali. Katanya mau pergi, kenapa tidak segera berangkat? Untuk apa membawa barang-barang dari rumah?”
“Kau ini benar-benar cerewet ya?” balas Guanlin tajam. Tapi Jinyoung tak gentar sedikit pun.
“Semua itu butuh uang. Dunia ini tentang uang, kau tahu itu. Kabur juga memerlukan sangat banyak uang.”
“Jadi itu semua uang?”
“Nah,” Guanlin menggeleng. Ia mengeluarkan pisau lipatnya dari saku dan menusuk beberapa tumpuk barang yang baru saja ia lapisi terpal. Serbuk putih tampak mengotori pisau lipat itu.
“Narkoba!?”
“Kau kira garam dapur?” Guanlin menyeringai, tawa mengejek keluar dari mulutnya. “Ini lebih dari sekedar uang.”
“Kau.. seorang bandar—“
“Aku jahat. Orang jahat bisa jadi apa saja, apa pun itu semauku.”
Jinyoung terdiam. Matanya mengerjap tak percaya. Tertegun memikirkan bagaimana bisa ia bertemu dan bicara santai dengan seorang buron yang selama ini hanya ia lihat di televisi dan cerita-cerita Minhyun.
“Simpan ini.”
Lamunan Jinyoung buyar saat Guanlin menyodorkan sling bag kecil padanya.
“Untuk apa? Ahjussi kira kita sedang hendak liburan— wHOAAA— APA INI!?”
Ekspresi kaget Jinyoung membuat Guanlin tak bisa menahan tawa. Anak ini lucu sekali.
“Padahal cuma pistol. Bukannya sering lihat?”
Takut-takut Jinyoung mengeluarkan senjata api laras pendek itu dari dalam tas yang terkalung di lehernya.
“I— ini sungguhan?”
“Coba saja di kepalamu kalau tidak percaya. Sengaja aku pilihkan yang paling ringan tapi paling mematikan.”
“Ahjussi!!” rengek Jinyoung takut. Tangannya terulur menyerahkan pistol itu pada Guanlin sementara kakinya mengentak-entak lantai.
“Hahaha kenapa takut? Memangnya Minhyun tidak punya?”
“Punya, tapi dia tidak pernah membiarkanku menyentuhnya.”
Guanlin tersenyum miring, disimpannya kembali pistol itu di tas Jinyoung. “Simpan. Jika terdesak kau bisa menggunakannya. Lebih baik kau melukai musuh terlebih dahulu sebelum ia melukaimu. Aku tak mau kau terluka, paham?”
Jinyoung yang masih gamang terpaksa mengangguk. Bagaimana jika ia tak sengaja menyentuhnya? Atau ia salah tarik pelatuk? Atau ketika gerakannya membuat pistol itu meledak? Ah, menyeramkan.
“Sekarang kita berangkat.”
“Tidak kunci pintu dulu?”
“Kau kira kita mau ke rumah nenek? Seperti Dora The Explorer?” balas Guanlin jengah.
Jinyoung tertawa puas, yah.. setidaknya si mafia keji ini punya masa kecil yang bisa dibilang normal.
.......
Hanya ada jalanan sepi tanpa ujung yang terlihat. Kiri dan kanan dipagari pepohonan pinus. Gelap dan dingin. Bahkan yang terdengar hanya suara mesin mobil yang Guanlin kendarai, ditemani hewan-hewan malam.
Jinyoung menggigit bibir bawahnya gusar. Rasa takut tak bisa sepenuhnya ia sembunyikan mengingat ini akan jadi hal baru untuknya. Pilihannya untuk mengubah jalan hidup yang cukup ekstrem.
“Kau menyesal?”
Pertanyaan Guanlin memecah keheningan. Jinyoung mengalihkan atensinya dari pemandangan gelap di luar sana.
“Tidak. Aku hanya, sedikit.. tak menyangka.”
“Baguslah. Karena aku sudah bilang padamu, kan?” Guanlin menyeringai. “Ketika kau setuju untuk ikut denganku, maka aku tak akan melepaskanmu. Bahkan kalau kau memohon pun, aku tak akan membiarkanmu pergi.”
Jinyoung meneguk salivanya susah payah. Teringat saat kemarin Guanlin berkali-kali bertanya padanya apakah ia sudah benar-benar yakin untuk bersama Guanlin, dan Jinyoung dengan mantap selalu menjawab iya.
“Tidak usah meragukanku. Menyetir saja yang benar. Kalau sampai menabrak kucing, aku akan menghabisimu dengan ini.” Jinyoung menyentuh pistol di dalam tas kecil yang tergantung di lehernya.
Guanlin tertawa kencang, “Lihat, siapa yang mengancam dan diancam di sini, huh?”
Jinyoung mengangkat bahu acuh. Ia harus tunjukkan kalau dirinya cukup tangguh untuk bisa bertahan.
Pandangan Jinyoung teralih pada seat belt yang terjuntai ke bawah. Ah, ia lupa memasangnya. Diliriknya Guanlin yang fokus menyetir, dengan sombong mengabaikan seat beltnya begitu saja.
“Ahjussi, seat beltmu?”
“Tidak ada gunanya. Kalau memang harus mati, pakai seat belt dari rantai besi pun juga akan mati.”
“Tapi tidak ada salahnya—“
“Diam.” Dengan lancang Guanlin menutup mulut Jinyoung dengan telapaknya.
“Ada suara mobil lain.”
Jinyoung buru-buru memutar tubuhnya ke belakang, tampak sekitar 50 meter di belakang sana, lampu mobil menyala redup.
“Mungkin hanya orang yang kebetulan satu arah?”
“Mungkin kau benar.”
Tapi itu tak cukup membuat Guanlin tenang saat perjalanan ia teruskan. Bahkan beberapa kali persimpangan yang mereka lewati, mobil di belakang sana menempuh rute yang sama. Ketika Guanlin memperlambat laju mobilnya, maka mobil di belakang melakukan hal yang sama. Jelas seseorang membuntutinya.
“Kekasihmu sepertinya datang menjemput?”
“Hah?” tanya Jinyoung setengah sadar. Ia tertidur, kemudian terbangun mendengar suara berat Guanlin bicara.
“Tidurlah. Aku akan bermain-main dengan si idot itu sebentar.”
Pedal gas diinjak dalam-dalam. Seketika mobil mereka melaju dua kali lebih cepat, meluncur di jalanan basah yang sepertinya habis di guyur hujan. Hutan-hutan pinus di kiri dan kanan mulai hilang, digantikan tebing terjal di sebelah kanan dan ngarai landai di sebelah kiri.
Dipacunya mobil itu bak kesetanan, menyumpahi mobil di belakangnya yang juga terpaksa mengebut. Guanlin menoleh ke belakang, sepertinya mobil di belakang cukup tertinggal. Ia tersenyum menang.
“Ahjussi, di depanmu!!!”
Dari arah berlawanan, mobil lainnya melaju kencang tepat ke arah Guanlin dan Jinyoung. Memaksa si penjahat menginjak pedal rem dan membanting setirnya ke kanan. Hal yang sama juga dilakukan pengendara mobil dari arah berlawanan hingga bagian pinggir mobil mereka bertabrakan cukup keras dan terpental ke arah tebing, menghasilkan gesekan yang besar dan membuat mobil keduanya berhenti.
Jinyoung meringis, kepalanya terantuk kaca samping mobil. Pusing beberapa saat melanda, sebelum ia menyadari kalau kondisi Guanlin cukup parah. Akibat tak mengenakan seat belt.
“AHJUSSI!?”
Terburu-buru melepas seat beltnya, Jinyoung menegakkan tubuh Guanlin dan mendapati pria itu tak sadarkan diri dengan dahi berlumuran darah.
Jinyoung menahan tangisnya sembari menepuk-nepuk pipi pria tampan itu agar segera sadar. Sosok bertubuh tinggi dan besar keluar dari mobil yang menabrak mereka. Jinyoung menggeram marah, samar-samar mengenali postur tubuh itu.
“Tunggu sebentar,” Jinyoung mengecup pipi Guanlin yang dialiri darah dari dahinya yang sobek.
Pemuda manis itu keluar mobil dengan perasaan marah teramat sangat, melihat Guanlin yang bisa tangguh kini tak sadarkan diri seperti itu.
Itu Daniel, pria itu tersenyum lega mendapati Jinyoung baik-baik saja.
“Syukurlah kau tak apa kukira kau ikut terluka—“
“APA KAU GILA!?” bentak Jinyoung marah, suaranya menggema di sana.
Dari belakang, cahaya dari lampu mobil yang sempat membuntuti tadi menyorot Jinyoung dan Daniel. Si pengendara menghentikan mobilnya. Oh, bahkan dari kaca mobil yang gelap, dan kondisi medan yang buruk tak menghalangi Jinyoung untuk mengenali sosok yang baru saja keluar dari mobil itu.
Dengan jaket hitam favoritnya, dan topi yang sering sekali pria itu kenakan, Hwang Minhyun, berlari kencang ke arah Jinyoung. Tanpa aba-aba memeluk lelaki manisnya itu erat. Tangis Jinyoung pecah begitu saja. Ia merindukan Minhyun, sama seperti pria itu merindukannya dengan teramat sangat.
Harum maskulin dari tubuh Minhyun memenuhi penciuman Jinyoung, membuatnya merasa nyaman dan aman seperti yang selalu ia rasakan, dulu.
“Aku nyaris kehilanganmu, sayang..” ucap Minhyun. Mengecupi puncak kepala Jinyoung berkali-kali.
Sementara itu Jinyoung dilanda kebimbangan terbesar yang pernah ia alami di hidupnya. Tangannya tergantung bebas, tak membalas pelukan Minhyun sedangkan ia terus menangis dalam diam. Teringat akan surat yang Minhyun kirimkan pada Guanlin, dan bagaimana Minhyun mencampakkannya hanya untuk membalas dendam.
“U— untuk apa? Kenapa kau melakukan ini?”
“Sayang, tentu saja untukmu!” jawab Minhyun tak habis pikir. “Maaf telah menempatkanmu dalam bahaya, sekarang hyung akan membawamu pulang—“
“JANGAN BERBOHONG!!” bentak Jinyoung emosi. Daniel yang mengawasi pun ikut terkejut.
“Bu— bukannya kau sudah membuangku, hah?”
Jinyoung mengusap matanya kasar, berusaha menghentikan air matanya yang terus mendesak keluar.
Minhyun terdiam. Benar dugaan Daniel, surat yang ia kirimkan pada Guanlin— untuk meminta penjahat itu berhenti mengusik dan mencampuri urusannya dengan Jinyoung sebagai ganti— juga sudah dibaca Jinyoung. Rasa menyesal terlihat jelas di wajah yang biasanya selalu membuat Jinyoung tenang hanya dengan melihatnya. Minhyun meraih tangan Jinyoung tapi pemuda itu menepisnya kasar.
“Jinyoungie? Ada apa denganmu?”
“Kau! Hwang Minhyun, ada apa denganmu!? Seharusnya aku yang menanyakan itu!” murka Jinyoung tak terbendung lagi. “Kau yang menempatkanku dalam bahaya dan kau berniat melarikan diri begitu saja dari masalah! Kau menggunakanku sebagai bayaran!? Hikss— kupikir hanya kau yang benar-benar aku punya di dunia ini tapi—“
“Jinyoung, hyung tidak bermaksud begitu. Sungguh.” Lirih Minhyun sedih. “Memang hyung sempat— dibutakan dendam tapi tidak!—“
“Hentikan!!”
Jinyoung menutup telinganya, matanya menyorot tajam baik Minhyun maupun Daniel.
“Aku tak bisa mempercayaimu lagi. Orang yang sudah menyerahkan aku dengan mudahnya ke tangan seorang mafia besar yang ringan tangan dalam membunuh. Aku— aku tak bisa percaya padamu lagi, hyung. Kau.. mengerikan..”
Langkah Jinyoung perlahan membawanya menjauh dari Minhyun. Sang detektif tentu tak membiarkannya begitu saja. Ditariknya tangan Jinyoung, memaksa pemuda itu untuk naik ke mobilnya.
“Aku tidak mau ikut denganmu!”
Minhyun mengalah, memberi sinyal pada Daniel agar membawa Jinyoung ke mobilnya. Mungkin Jinyoung memang sedang tidak ingin melihatnya, pikirnya.
“Aku tidak mau kembali,” ucap Jinyoung. Membuat kedua pria itu terbelalak kaget. Jinyoung tersenyum, miris.
“Kau sudah membuangku, kan? Dan penjahat itu menerimaku sebagai gantinya. Aku bisa apa?”
“Bae Jinyoung. Apa-apaan omong kosongmu itu!?” murka Minhyun.
“Aku sudah jadi miliknya.”
“BAE JINYOUNG!”
“Tidak lagi, hyung. Kau bahkan tak tahu seputus asa apa aku menunggumu datang dan— hikss— yang aku dapatkan hanya surat bodohmu yang membuangku demi kariermu!”
Jinyoung menggeleng pelan saat Minhyun kembali melangkah mendekat, ia memegang pistol miliknya yang masih tersimpan di dalam tas. “Jangan memaksaku, aku bisa melukaimu. Seperti yang kau lakukan padaku.”
“Jinyoung, tidak bisakah kita pulang dulu?” sahut Daniel, berusaha menangkan. “Tak masalah kau marah, karena aku pun juga marah pada Minhyun. Tapi, bisakah kita pulang—“
“Hyung, maaf,” sahut Jinyoung, menunjukkan bahwa tak ada lagi harapannya untuk kembali.
“Aku sudah berjanji, kalau aku tak akan meninggalkannya sampai ia menemukan kebahagiaan. Dan dia bilang, akulah kebahagiaannya—“
Plakk!!
Jinyoung meringis tertahan, merasakan panas tiba-tiba menyengat di pipi kanannya. Tidak, sakitnya tak seberapa dibanding mengetahui fakta kalau pelakunya adalah kekasihnya sendiri.
Minhyun mengepalkan kedua tangan hingga buku jarinya memutih, napasnya terengah menahan emosi. Ia sudah kehabisan akal dengan apa yang terjadi saat ini. Apa maksudnya ucapan Jinyoung?
“Hwang Minhyun, kau gila?!” bentak Daniel tak percaya. Ditariknya Minhyun agak menjauh dari Jinyoung, takut kalau temannya itu kembali lepas kendali.
Jinyoung tertawa miris, menyedihkan. Tangannya masih memegangi pipinya yang habis ditampar. Apa harus Minhyun mendatanginya hanya untuk membuat hidup Jinyoung semakin menyedihkan? Tidak cukupkah Minhyun menyakitinya selama ini hingga butuh sebuah tamparan untuk melampiaskan amarah? Memangnya Jinyoung hanya sebuah objek yang bisa ia jadikan jaminan, bayaran untuk sesuatu yang Minhyun inginkan? Objek yang dijadikan pelampiasan atas kesalahan yang bahkan Minhyun sendirilah penyebabnya?
“Aku.. benar-benar membencimu, Hwang Minhyun,” ujar Jinyoung. Kata per kata yang keluar dari mulutnya penuh penekanan. Ia bersungguh-sungguh.
Sedetik setelah Jinyoung selesai bicara, suara tarikan pelatuk dan tembakan melesat dekat sekali dan berhenti tepat sasaran pada tubuh Minhyun.
Jinyoung terbelalak kaget, menyaksikan bagaimana Minhyun tiba-tiba bersimpuh memegangi dada kirinya. Tempat jantung bersemayam.
“H— hyung..”
Jinyoung terduduk lemas, memangku kepala Minhyun sementara Daniel berusaha menutup lubang amunisi di dada temannya itu. Seharusnya mereka membawa pasukan polisi bersenjata seperti yang Daniel usulkan, tapi entah karena suatu alasan, Minhyun menolak.
Tap
Tap
Tap
Langkah kaki itu berhenti tepat di belakang Jinyoung.
“Ke— kenapa kau melukainya!?” tangis Jinyoung tersedu-sedu
.
Guanlin ikut bersimpuh di samping Minhyun yang bahkan kesulitan untuk bicara.
“Karena si idiot ini berani-beraninya menyakiti milikku.”
Dengan sengaja, tepat di depan mata Minhyun yang berusaha tetap terjaga, Guanlin meraih tengkuk Jinyoung dan mencium pemuda manis itu dalam. Tangan Minhyun menggapai bahu Guanlin, meremasnya kencang. Tak terima kekasihnya disentuh dengan begitu lancang.
“Dia milikku. Kalau kau lupa, kau sudah memberikannya padaku. Dan aku tak berniat membunuhnya. Karena aku, mencintainya. Menyesal?”
Guanlin bangkit, meninggalkan Jinyoung yang menangisi Minhyun ikut berlumuran darah dan berusaha membuat pria itu tak kehilangan kesadaran.
“Percuma kau menelepon bantuan, temanmu akan mati lebih dulu sebelum mereka sampai,” cemooh Guanlin pada Daniel.
“Bukannya lebih baik ia mati? Akan jadi kesempatanmu untuk memiliki anak lugu itu.”
Daniel menggeram kesal, diacungkannya pistol yang sedari tadi ia simpan di saku jaketnya.
“Serahkan dirimu. Tak ada gunanya menambah daftar kejahatanmu, Lai Guanlin!”
“Bukannya si bodoh Hwang itu menikungmu? HAHAHAHA dia merebut anak itu darimu, kan?”
“Kau—“
“Minhyun hyung, tidak!! Kumohon, jangan tutup matamu— hikss— jangan..”
Guanlin melirik adegan menyedihkan di belakangnya, tersenyum evil seperti kelakukannya selama ini. “Lihat, bahkan dia masih sangat menyayangi si bodoh Hwang itu setelah semua yang idiot itu lakukan.”
“Ahjussi— hikss—“
Jinyoung berlari gontai ke arah Guanlin, memeluk lemah lengan pria itu dengan wajah penuh air mata.
“Tolong selamatkan Minhyun hyung, ahjussi— hikss— aku berjanji akan melakukan apapun untukmu, kumohon..”
“Tidak bisa, sayang. Aku— ”
Guanlin meringis bersamaan suara tembakan lainnya, dan dalam beberapa detik, penjahat itu ambruk ke tanah. Meringis sakit merasakan peluru yang menembus rongga dada kirinya. Tepat dimana ia menembakkan pistol ke arah Minhyun.
Tangis Jinyoung makin histeris. Dilihatnya Minhyun yang sudah sekarat, tersenyum licik dengan tangan kananya yang lemah menggenggam pistol. Jinyoung meraung kencang. Tidak mengerti apa yang tengah terjadi sekarang dan bagaimana bisa semua hal terjadi sampai sejauh ini. Jinyoung tak mau kehilangan keduanya.
Sambil merangkak lemah, Jinyoung menggenggam tangan Guanlin erat, membisikkan sesuatu untuk membuat pria itu tidak terlelap.
“Seharusnya aku bertemu denganmu lebih awal.. arghh..”
“Ahjussi, kumohon jangan tinggalkan aku juga. Hikss— aku hanya punya kau yang tersisa—“
“Aku belum sempat mencintaimu dengan cara yang benar—“
Guanlin terbatuk. Darah menyembut keluar dari mulutnya, membuat tangis Jinyoung semakin menjadi.
Pandangan Jinyoung semakin kabur, kepalanya berdenyut pusing melihat darah yang semakin jelas memenuhi kemeja putih yang Guanlin kenakan. Jinyoung merasa seperti akan pingsan lantaran kepalanya terasa semakin berat, lantas bersandar pada lengan kanan Guanlin yang segera mengecup kepala Jinyoung untuk terakhir kalinya.
......
Langit sudah terang ketika Jinyoung membuka mata, pening kembali melanda tapi ia abaikan karena itu bukan hal yang penting. Seat belt membatas pergerakannya, membuat Jinyoung menyadari kalau ia sedang berada di dalam mobil. Buru-buru ia menoleh, mendapati sosok pria yang ia kenal tengah mengendarai dengan santainya.
“H— hyung.. Minhyun hyung dan—“
“Maafkan aku, Jinyoung.. aku tak bisa menyelamatkan keduanya.”
Jinyoung menunduk dalam. Bahkan dirinya tak bisa lagi menangis lantaran air matanya telah terkuras semalaman. Jinyoung memperhatikan pakaiannya yang telah berganti, tak ada lagi noda darah yang tertinggal.
“Hyung, pakaianku—“
Daniel menoleh sekilas lalu fokus pada jalanan yang ia lalui. “Oh, aku terpaksa menggantinya dengan pakaianku. Kau benar-benar berlumuran darah. Maafkan aku..”
Jinyoung balas menggumam. Pikirannya benar-benar kacau. Ia tidak mengerti apa yang baru saja ia alami. Ia tak bisa menerimanya. Semua yang ia alami, sejak hari dimana ia diculik sukar sekali untuk dipercaya.
“Kita pulang?”
Daniel mengangguk sebagai jawaban.
“Jangan terlalu dipikirkan, semua bisa saja terjadi. Aku juga turut berduka, Minhyun temanku terbaikku,” ujar Daniel sedih.
Jinyoung menggigit bibir bawahnya kencang, tapi isakannya kembali tak tertahan meski tanpa air mata. Nyaris satu jam pemuda manis itu menangis hingga tanpa sadar ia kembali tertidur.
Daniel memperlambat laju mobilnya saat mereka sudah memasuki jalan perkotaan, diliriknya Jinyoung yang tertidur lelap.
“Ya, Minhyun teman terbaik yang pernah ada... sampai ia merebutmu begitu saja dariku.”
Seringai lebar tercetak jelas di wajah tampan nan garang khas dirinya. Daniel mengelus pipi Jinyoung dengan lembut, tanpa tahu malu mendaratkan sebuah kecupan ringan di sana, takut mengusik tidur pemuda manis itu.
“Tak kusangka, mempertemukan Hwang brengsek dengan Lai Guanlin adalah cara tercepat untuk menyingkirkannya. Jika tahu, sudah sejak dulu aku akan melakukannya. Jadi aku tak perlu menyiksa diri melihat kalian berdua bermesraan di depanku, memuakkan.”
-- END --
Gimana? Ga seru ya? Ngebosenin? Huhu
Maaf bgt buat yg ga puasa sama endingnya krn aku pun bingung ini mau gimana. Sekali lagi maafin aku huweeㅠㅠ
Btw, happy new year semuanya. Semoga di tahun 2020 ini... ng.. bakal ada momen pandeep, dah gitu doang :')