抖阴社区

Day 13

109 76 8
                                        

     Keesokan harinya, aku mulai bersekolah dan diantarkan papa. Karena Hillary sekarang punya pacar, jadi dia sudah nggak menjemputku lagi. Dinda dan Zevora juga sudah tau tentang kabar Hillary yang berpacaran dengan Alio.

     "Kamu kok tumben nggak bareng Hillary, Dar?" tanya papa yang out of the blue.

     Aku mengangguk. "Iya, Hilla punya pacar," jawabku.

     "Terus pacar kamu?" tanya papa lagi. Aku belum memberitahu keluarga--kecuali Daphne--tentang aku yang sudah putus dengan Nevan. Lagipula, itu nggak terlalu penting jadi aku nggak ada niat untuk memberitahu mereka. Tapi karena papa bertanya, akhirnya aku menjawab bahwa aku sudah putus dengan pacarku. Kupikir reaksi papa hanya biasa saja, tapi ini benar-benar diluar dugaan. Papa menanyaiku dengan rentetan pertanyaan.

     "Hah kok bisa? When is it?"

     Sebelum aku menjawab pertanyaan tersebut, kami ternyata sudah berada di depan gerbang sekolah. Aku mengambil kesempatan, aku mencium tangan papa lalu keluar dari mobil, agar aku nggak perlu menjawab pertanyaan papa.

     Anehnya, saat memasuki sekolah aku sama sekali nggak mendengar orang-orang yang membicarakanku, dan semuanya mengalihkan pandangan untuk nggak menatapku. Aku bersyukur sih mereka seperti itu, tapi kalaupun mereka menatapku seperti tatapan saat aku menembak Nevan, aku nggak bakal peduli juga.

     Di koridor menuju kelas, aku berpapasan dengan Nevan tapi dia sama sekali nggak melirikku. Aku menghela nafas berat. Setelah berada di pintu kelas, aku disambut oleh pemandangan Hillary yang sedang berpacaran dengan Alio. Mereka benar-benar, ya.

     Aku lalu memasuki kelas dan duduk di samping Dinda, sedangkan Zevora berada di kursi lain karena tempatnya di duduki oleh Alio.

     "Lo kok bisa suka sama Alio, Hill?" tanyaku sembari memposisikan tasku di kursi dengan benar.

     Bukannya sang empu yang angkat bicara tapi malah pacarnya yang menjawab pertanyaan randomku barusan. "Gue ngejar-ngejar Lavina dari kelas sepuluh, mungkin dia jadi baper sama gue," ucap Alio.

     Aku memutar bola mata lalu terkeleh setelahnya, aku benar-benar nggak habis pikir.

     "Nggak kok. Gue belum suka sama Alio, gabut aja nerima dia," ucap Hillary dengan santainya, Alio ikut mengangguk lalu merangkul bahu Hillary. Gila. Mereka adalah pasangan teraneh yang pernah kukenal.

     Aku menatap mereka berdua aneh, sedangkan Zevora dan juga Dinda tertawa. "Lo beneran nggak sedih, Al?" tanya Zevora.

     "Nggak lah ngapain sedih? Gue nggak peduli dia suka sama gue atau nggak, yang penting gue udah jadi pacarnya," jawab Alio santai.

     "Gila," celetuk Dinda sambil terkekeh.

     "Terus hubungan lo sama Gibran gimana, Zev?" tanyaku yang tiba-tiba membuat Zevora panik.

     "Ntar aja ceritanya. Ada Alio tuh," ucap Zevora dan kami hanya mengangguk, kecuali Alio pastinya. Dia malah menatap Zevora dengan raut wajah penasaran.

     "Gibran anak MIA bukan sih?"

     "Eh kok tau?"

     Bukannya menjawab pertanyaan Zevora, Alio malah bertanya kembali dan menggunakan pertanyaan lain. "Dia islam, 'kan? Kenapa lo pacaran beda agama?"

     Pertanyaan Alio membuat aku dan yang lainnya menggeplak kepalanya.

     "Lo juga pacaran beda agama, bego," dan bukannya tersadar, dia menatap Hillary intens lalu bertanya. "Loh kamu Islam, Bi?"

     Mungkin orang tergila yang pernah aku kenal adalah Alio.

     "Iya, kamu kira aku Katolik?" Alio sontak mengangguk, Hillary lalu menjambak pelan rambut Alio dengan gemas yang membuat Alio merintih.

     "Oh gitu, aku kira itu rumah Darla loh, Bi," ucap Alio, bisa-bisanya dia menyukai seseorang tanpa tahu apapun tentang orang yang disukai.

     Sebelum kami mengobrol lebih banyak topik, sudah ada guru sejarah yang datang. Alio pun beranjak dari tempat duduknya dan mengucapkan permisi kepada guru tersebut sebelum keluar dari kelas.

     "Selamat pagi," sapa guru sejarah itu, pak Doni. Semua orang menjawab sapaan itu dengan serentak, termasuk aku. Pak Doni adalah salah satu guru favoritku, aku suka dengan pelajaran dan metode-metode yang diajarkan oleh Pak Doni.

     Kali ini pak Doni mengajar kami dengan metode paling disukai anak-anak kelas, menonton film. Kami semua menonton film dengan khidmat, nggak lupa sambil menikmati snack. Pak Doni memang selalu mengizinkan kami untuk membeli jajanan dari kantin sebelum pelajaran dimulai, agar nggak bosan selama pelajaran. Iya, seseru itu kok.

     Setelah satu jam berlalu, guru sejarah itu menjelaskan kembali tentang sejarah yang terjadi sesuai di film yang sejam terakhir dipertontonkan juga memberi kami beberapa kuis. Lalu, saat pelajaran berganti dan sebelum ada guru yang masuk. Aku izin kepada ketua kelas untuk pergi ke toilet.

     Aku berharap nggak bertemu siapapun, tapi mungkin nasibku sesial itu. Lagi-lagi aku bertemu Nevan di koridor, dia menatapku sekilas lalu pergi. Berbeda denganku yang nggak berhenti menatapnya sampai dia hilang dari pandanganku. Harusnya, aku nggak bertingkah seperti itu.

     Aku melanjutkan langkahku dan berjalan menuju toilet. Seperti biasa, aku ke toilet hanya untuk menggunakan lipstick dan merapikan rambutku. Aku menatap diriku yang ada di depan kaca. Kurasa aku nggak terlihat buruk.

     Bukannya aku mencoba untuk menyombongkan fisikku, tapi ayahku yang berdarah campuran dan mamaku yang asli orang Inggris membuat fisikku terlihat lebih berbeda dibanding orang Indonesia asli.

     Kulitku berwarna putih kemerahan, bukan kuning langsat. Rambutku berwarna coklat, waktu aku bayi warna rambutku sebenarnya pirang tapi semakin besar warnanya berubah menjadi kecoklatan. Aku merasa sangat cantik, tapi bagaimana bisa Nevan nggak tertarik denganku sama sekali?

     Oke, aku akan memceritakan ciri fisikku lagi haha. Jadi aku memiliki mata berwarna hazel, berbeda dengan Daphne yang memiliki iris mata berwarna biru gelap. Hidungku juga mancung. Dan pertanyaanku masih sama, kenapa Nevan nggak tertarik denganku? Aku merasa sangat sebal dengan pernyataan bahwa dia nggak menyukaiku.

     Setelah beberapa menit menatap diriku yang sempurna, aku lalu mengoleskan sedikit lipstick dan menguncir rambutku. Aku tahu mungkin guru Biologi sudah memasuki kelas sedari tadi, tetapi kenapa aku harus panik?

     Lagipula, guru Biologi jarang memasuki kelasku. Kemudian aku keluar dari toilet dan menuju ke kelasku yang ternyata sudah ada guru tersebut. Sial.

     Sialnya lagi adalah hari ini ujian mendadak dan aku terlambat masuk kelas beberapa menit. Aku tersenyum menatap guru Biologi itu dan kemudian duduk di tempatku. Aku melirik Dinda. "Lo kenapa nggak ngasih tau gue?" bisikku.

     "Hape lo ada disini, bego," umpatnya kepadaku. Iya juga, aku meninggalkan ponselku di dalam kelas.

     "Darla, kamu siapin kertas jangan ngomong sendiri," aku tersenyum manis dan segera menyobek kertas setelah mendengar peringatan guru Biologi itu. Lalu aku seperti biasa, menyalin jawaban Dinda. Aku bisa melakukan itu dengan mudah karena guru itu tidak terlalu memperhatikan kami dan asik dengan laptopnya.

     Setelah selesai menyalin semua jawaban Dinda, aku mengangkat tangan. "Sudah, bu," ucapku membuat guru itu menoleh kepadaku dan mengambil kertas jawabanku. Dinda, Zevora dan Hillary juga melakukan hal yang sama. Kami disuruh keluar agar nggak mengganggu anak-anak yang lain.

     "Kantin yuk, gue ceritain yang tadi," celetuk Zevora, kami pun mengangguk dan menuju ke kantin.

August 10, 2021
Lamongan, East Java.

DARLA : Although it's just a game (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang