Draf masih belum direvisi karena kesibukan kuliah penulis, mohon dimaklumi 😊
Selamat membaca!
▪︎▪︎▪︎
"Pak cepetan!" pinta Aurel pada sang supir taksi, karena jarak sekolah dengan perusahaan Papanya yang jauh membuat mereka lama untuk sampai, belum lagi ramainya kota Jakarta membuat gadis itu mendengus kesal.
Jangan tanya keadaannya, tentu saja sudah kacau. Matanya memerah karena menangis, wajahnya basah karena air mata serta keringat. Seragam sekolahnya sudah lusuh dan sedikit basah.
Matanya melihat sebuah layar billboard yang sedang menayangkan sebuah berita tentang kematian Papanya. Ia teringat Mamanya, ia segera menelpon nomor tersebut, sayangnya tak kunjung diangkat.
Jenazah Gibran sudah dibungkus dalam kantong mayat. Baru saja hendak dibawa oleh mobil jenazah, seorang gadis yang masih lengkap memakai seragam sekolah sambil menggendong tasnya baru keluar dari taksi berteriak membuat mereka mengurungkan niatnya.
"Jangan dibawa dulu!" Dengan derai air mata, Aurel berlari sekencang mungkin menghampiri jenazah Papanya, tetapi seorang petugas menahannya. "Lepasin! Saya pengen ketemu Papa!"
Dengan iba, petugas itu memberikan izinnya. Aurel berjalan pelan menghampiri tubuh Papanya yang sudah membiru, kaku, dan sudah tak bernyawa. Ia kembali menangis, tak percaya bahwa kini orang yang ia sayangi sudah pergi, bahkan namanya pun sudah buruk di mata orang lain.
Aurel sangat ingin menyentuh dan memeluk tubuh Gibran, sayangnya petugas itu melarangnya, dia berkata, "maaf, untuk saat ini keluarga korban atau siapa pun selain petugas yang menyelidiki kasus ini dilarang menyentuh korban."
Resleting kantong mayat ditutup, jenazah Gibran dimasukkan ke dalam mobil dan segera dibawa pergi untuk diperiksa lebih lanjut. Sedangkan Aurel terduduk lemas di sana sambil menangis, beruntung saja para reporter yang meliput berita sudah pergi.
Orang-orang yang melintas hanya melintas saja, tak mempedulikan dia. Ada juga yang sekedar melihatnya heran tapi tak ada niat untuk mendekatinya.
Gibran ditemukan dalam keadaan gantung diri di ruangannya. Dia ditemukan oleh seorang petugas kebersihan yang hendak membersihkan ruangannya. Saat kepolisian sudah datang, ruangan itu sangat berantakan, berkas-berkas berserakan di lantai, beberapa barang hancur, ada kepingan pecahan kaca juga.
Barang bukti yang ditemukan hanya sedikit tapi berharga. Sebuah berkas yang sama persis dengan apa yang tersebar tadi malam, secarik kertas bertuliskan tangan, dan tali tambang. Tak ada hal lain, bahkan saat Clara periksa, tak ditemukan tanda-tanda perlawanan di tubuh Gibran. Pada ponselnya pun sama sekali tak ada sesuatu yang harus dicurigakan.
Jika ia tak mendapat bukti lain lagi, kasus ini akan ditutup dengan hasil bahwa korban bunuh diri.
Seseorang menghampiri Clara dan Ferdi yang sedang berdiri di depan pintu. "Selamat siang bu Clara dan pak Ferdi. Saya sudah mengecek CCTV yang tersebar di gedung perusahaan ini, menurut keterangan petugas keamanan, di lantai ini sepenuhnya dipakai oleh korban dan tak ada satu pun CCTV yang terpasang."
"Baiklah. Terima kasih."
Clara memegang secarik kertas berisi surat yang diduga ditujukan untuk keluarganya. "Kertas ini harus segera kita berikan ke pihak keluarga. Hingga sekarang apa belum ada satu pun kerabat yang datang?" tanyanya pada Ferdi.
Rekan kerjanya itu menangguk. "Istrinya sedang berusaha dihubungi oleh Geraldi, tetapi sama sekali tak ada jawaban."
"Bagaimana dengan anaknya?"

KAMU SEDANG MEMBACA
AURA
Teen FictionKehidupan seorang gadis bernama Aurel berubah setelah dirinya kembali bersekolah di Jakarta. Sejak dia tinggal di Jakarta banyak sekali peristiwa yang membuat dirinya ketakutan, dimulai dari banyaknya siswa dibunuh serta terror yang menghantuinya se...