抖阴社区

Bagian LXVIII

2.3K 247 123
                                        

Xavier berdiri dari duduknya di bawah tuntunan air hujan, meneduh di saat dirinya semakin basah kuyup. Otaknya masih mencerna, bingung akan semua pertanyaan yang lagi-lagi muncul bersamaan.

Xavier sudah bagaikan sosok tanpa jiwa. Hanya berjalan linglung tanpa ekspresi.

"Duduk dulu, Ling udah ngambil handuk buat lo." Natan menuntunnya menuju bangku tak jauh darinya. Membiarkan air menetes dari pakaiannya, merembes membasahi lantai.

"Lo abis ini ke rumah dulu aja, kita ga bawa baju ganti. Kalo lo sampe sakit bisa repot juga." Ling berjalan mendekat dengan handuk di tangannya. Memberikan itu pada Xavier yang masih menunduk.

Jatungnya berdetak cepat. Semua rasa takutnya menguat begitu saja. Dan sekali lagi, hanya kata kenapa yang menggambarkan setiap pertanyaannya.

"Biar kita yang ngomong sama Yin, lo dateng lagi besok." Natan mencoba membujuk walau tidak ada jawaban yang ia dapat. Pikirannya sangat kacau di sana, berisik tanpa henti.

Natan paham, sangat paham bagaimana rasanya takut ditinggalkan. Tapi, "Yin di sini, dia ga akan kemana-mana. Kalo dia belom mau ketemu sama lo, lo dateng lagi besok, besok, dan besok, sampe dia mau ketemu sama lo."

"Supirnya udah di depan, lo bakal dianterin ke rumah." Granger kembali setelah menelpon supirnya.

"Oke, sana keluar duluan, kita pulang nanti." Natan menepuk pundaknya dua kali, mulai meninggalkan Xavier di sana dengan diikuti kedua temannya.

"Gapapa ninggalin dia sendirian?" Granger menatap khawatir. Rasa-rasanya bisa saja Xavier akan bunuh diri disaat dirinya tidak ada yang mengawasi. Tapi enyahkan pikiran itu, ia harus terus berpikir positif.

Karena nyatanya, yang memikirkan akan tindakan Yin bukan hanya Xavier. Dirinya, Natan, juga Ling, mereka semua khawatir.

"Dia ga bodoh buat ngelakuin hal gila." Ling menjawab. Matanya menatap pintu yang tertutup rapat. Menerawang jauh ke dalam di mana Yin akan meringkuk di kasurnya.

Mereka memandangnya, pintu yang tetap tertutup walau ketiganya memanggil si penghuni.

Tidak ada sahutan, tidak ada suara langkah kaki barang kali Yin akan membukakan pintu untuk mereka.

"Yin." Natan kembali memanggil, kali ini ia terus berbicara tanpa menunggu balasan dari Yin.

Tangannya menggapai kenop pintu, masih terkunci.

"Yin, gue tau lo denger kita manggil. Bisa bukain pintunya?"

Mereka menunggu, terus menunggu dengan harapan pintu itu akan terbuka dan menampakkan sosok teman yang sangat mereka rindukan.

Kemana semua tingkah konyolnya? Kemana semua tawa yang selalu berhasil mengibur mereka kala sedih menghampiri? Kemana lengan kokoh yang selalu membela mereka dari masa lalu yang terus menghantui? Kemana manik madu yang akan menyipit saat senyum lebar nampak di wajahnya?

Kemana binar mata itu pergi?

"Yin-" Natan menyandarkan dahinya pada pintu. Membiarkan Ling dan Granger menunduk di belakangnya. 

Yin temannya, sahabatnya, saudaranya, keluarganya. Tidak akan pernah berubah bahkan jika seluruh ingatannya diambil. Saat dirinya kehilangan, Yin akan selalu di sana, di sampingnya. Memberitahu bahwa dirinya ada, tidak akan membiarkan Natan kesepian.

"Bukannya lo bilang ga bakal biarin gue kesepian? Lo sendiri yang bilang kalo bakal ramein setiap hari gue? Kemana lo sekarang?" Emosinya naik, Natan menggigit bibir, menahan seluruh air matanya yang sudah menumpuk di pelupuk mata.

"Yin." Sekali lagi, panggilan tanpa jawaban itu terlontar. Begitu lirih, begitu lemah. Membuat Yin yang terduduk di dekat pintu membungkam mulutnya rapat-rapat. Menutup setiap kemungkinan dirinya akan terisak.

Our School Story [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang