Brak!
Suara tumpukan map yang dilempar kasar ke atas meja mengejutkan semua dewan asatidz di ruang rapat.
"Bukan hanya teori dan laporan yang saya inginkan. Mendidik anak butuh sebuah tindakan, anak-anak butuh contoh. Sekarang apa gunanya menulis laporan si A melakukan pelanggaran ini, si B pelanggaran ini, poin negatifnya sudah limited, harus dikeluarkan, apa gunanya?!"
"Pesantren adalah bengkel, pesantren tempat para orang tua menitipkan anak mereka dengan tujuan anak-anaknya menjadi putra-putri salih-salihah. Dewan pengajar berkewajiban mewujudkan itu. Dengan cara apa, mendidik dan memberi contoh!"
"Ingat, memberi contoh! Jangan hanya mulut yang bekerja, jangan hanya membuat peraturan ketat tapi kalian sendiri melanggarnya. Santri tidak boleh telat jamaah, ustaznya sudah iqamah malah baru bangun tidur."
Baik ustaz maupun ustazah terdiam, mereka terbungkam oleh amarah sang pimpinan, Afkar Zakaria Afriliansyah.
Selama ini lelaki itu cukup bersabar melihat perilaku beberapa dewan pengajar yang seenaknya sendiri, namun sekarang Afkar sudah muak. Semua amarahnya terluapkan di rapat hari ini.
"Masing-masing intropeksi, sudahkah pantas mengajar? Jika belum, mulai berbenah. Cukupkan rapat hari ini," tutup Afkar tergesa-gesa, bahkan tidak sempat mengucap salam.
Umar mengikuti Afkar keluar dari ruangan rapat. "Gus?" panggilnya takut-takut. Afkar menoleh, mengangkat sebelah alis seakan bertanya ada apa?
"Masalah tuntutan wali santri ... "
"Tidak usah sampean pikirkan, nanti saya yang menemui mereka."
Umar mengangguk mendengar jawaban Afkar. "Gus, jangan terlalu dibawa beban, Gus bisa fokus ke masalah wali santri, masalah para ustaz ustazah biar saya yang mengurus."
"Hm," dehem Afkar singkat. "Ada lagi?"
"Mboten, Gus."
"Kalau begitu saya permisi pulang," pamit Afkar.
Lelaki yang telah memasuki usia 35 tahun itu berjalan cepat menuju rumah. Dia ingin mencurahkan segala kecamuknya pada sang istri. Dia ingin mengadu betapa lelah fisik dan pikirannya belakangan ini.
"Assalamualaikum," salamnya ketika memasuki rumah.
"Waalaikumussalam warahmatullah."
Dari arah dalam, seorang wanita bergamis biru dengan rambut panjang terurai yang masih basah sehabis keramas berdiri memasang senyum manisnya menyambut kepulangan sang suami.
Afkar berjalan gontai, langsung menubruk tubuh Aina, menyembunyikan sisa kemarahannya di bahu sang istri sembari menghirup dalam-dalam aroma wangi wanitanya.
Aina yang paham situasi pun balas memeluk tubuh tegap Afkar yang sedang rapuh. Dibelainya dengan lembut belakang kepala Afkar.
"Duduk dulu," ucap Aina, lebih dulu mendudukkan diri di sofa agar Afkar bisa berbaring dan berbantalan pangkuannya.
Afkar berbaring menyamping, memeluk erat-erat pinggang Aina. Matanya terpejam dengan kedua alis yang mengerut dalam.
Perlahan, Aina mengangkat wajah Afkar agar menghadapnya. Jemari Aina bergerak lembut meluruskan kerutan di alis sang suami. Afkar tersenyum menikmati sentuhan nyaman Aina.
"Mau cerita?" tanya Aina, membuat Afkar membuka mata lalu menggeleng dengan senyuman.
Sebelah tangan Afkar terulur merangkum wajah cantik istrinya. Mulai alis, mata, pipi, hidung, bibir, Afkar tersenyum.

KAMU SEDANG MEMBACA
Terlanjur Yours!
Teen Fiction[TAMAT. PART LENGKAP] Dari sekian banyak gadis yang takut menikah karena kepercayaannya akan cinta telah dikecewakan oleh ayahya sendiri, beberapa justru enggan menikah karena khawatir tidak bisa menemukan cinta setulus cinta ayahnya. Dan Aina ada d...