Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Seorang pria tinggi berdiri di depan jendela besar kantornya, mengenakan setelan rapi dengan aura profesional yang tak terbantahkan. Dari lantai atas gedung pencakar langit di Madrid, matanya mengamati lalu lintas kota yang padat. Ia tersenyum kecil saat melihat seorang wanita yang nyaris tertabrak mobil saat berlari terburu-buru menyeberang jalan. Namun, senyumnya semakin melebar ketika mendengar suara gaduh dari luar ruangannya.
"Selamat pagi, Reagan... Maksud saya, Sir Reagan," ujar suara seorang wanita dari belakangnya.
Reagan menolehkan sedikit kepalanya, cukup untuk melirik wanita yang baru saja masuk. Shannon berdiri di ambang pintu, wajahnya masih sedikit terengah setelah terburu-buru ke kantor. Ia menelan ludah, berusaha merapikan dirinya agar tetap terlihat profesional meskipun sedikit berantakan.
Reagan akhirnya berbalik sepenuhnya, menatapnya dengan sorot mata tajam yang penuh permainan.
"Oh, darling, ini pertama kalinya kau datang terlambat ke kantorku, hmm? Padahal, karyawan lain bisa datang tepat waktu," ucapnya dengan nada santai namun mengandung godaan tersirat. "Kau tahu kan, batas waktu masuk kantor ini?"
Shannon kembali menelan ludah, bibirnya sedikit bergetar, seolah-olah kehilangan kata-kata. Tatapan Reagan yang tajam dan senyumnya yang menggoda membuatnya semakin gelisah.
"Maaf atas keterlambatan saya hari ini, Sir. Saya benar-benar kesiangan karena tadi malam—"
"Shh... Tidak perlu panik berlebihan seperti itu," potong Reagan sambil menatapnya lebih intens. "Takutnya kancing kemejamu terbuka karena napasmu yang naik turun. Apalagi, ukurannya juga cukup besar."
Shannon terperanjat, matanya membulat karena terkejut. Ucapan Reagan terdengar begitu lancang dan melecehkan. Memang benar tubuhnya memiliki lekukan yang mencolok, tapi tidak seharusnya Reagan mengatakannya dengan begitu terang-terangan.
Tapi apa boleh buat. Ia terpaksa bekerja di sini sebagai sekretaris, bukan sebagai karyawan biasa. Seandainya ia hanya seorang karyawan, mungkin ia sudah lama mengundurkan diri. Mereka memang pernah satu sekolah dulu, tapi sekarang Reagan bersikap seolah-olah mereka tak pernah memiliki masa lalu.
Ah, sial! Kenangan itu kembali berkelebat di kepalanya. Dulu, ia pernah jatuh cinta pada pria ini. Betapa naifnya ia saat itu! Sekarang, ia hanya merasa bodoh telah menyukai seseorang seperti Reagan Dalton Reyes. Tapi siapa yang bisa menolak? Reagan memiliki wajah yang nyaris sempurna, ditambah pesonanya yang berbahaya. Semua wanita pasti akan jatuh cinta.
"Maaf kalau saya lancang, tapi ucapan Anda barusan benar-benar tidak sopan," ujar Shannon dengan suara yang sedikit bergetar menahan amarah. "Saya tahu siapa Anda. Kita pernah satu sekolah. Tapi sekarang, Anda adalah atasan saya. Dan saya tidak bisa menghormati seseorang yang berbicara seperti itu, bahkan jika Anda adalah bos saya."
Reagan mengangkat alisnya, tampak terhibur dengan keberanian Shannon. "Oh, ayolah, Shannon. Kau tidak perlu berbicara dengan begitu formal padaku. Gunakan saja bahasa yang biasa kau pakai. Bukankah kau bilang kau mengenalku? Jadi, bersikaplah lebih santai."
Shannon menarik napas dalam, mencoba menenangkan dirinya. Sikap Reagan benar-benar mengingatkannya pada seseorang. Seseorang yang ia benci.
Ayahnya.
Atau lebih tepatnya, ayah kandung Reagan—Draco Reyes, atau yang kini dikenal sebagai Lucanos Ruston. Seorang pria yang punya reputasi buruk.
"Saya tetap merasa lebih baik berbicara secara profesional, Sir," jawab Shannon akhirnya.
Reagan tertawa kecil, tawa yang terdengar ringan tapi penuh makna. "Oh, aku tiba-tiba teringat sesuatu. Dulu, kau sering datang ke rumahku membawa makanan kesukaanku. Kau bahkan pernah membuatkan pancake, dessert favoritku, hanya untuk mendapatkan perhatianku. Bukankah itu manis?"
Shannon mengepalkan tangannya, menahan diri agar tidak mengeluarkan umpatan kasar. Ia tidak ingin Reagan mengungkit masa lalu itu lagi. Itu adalah kesalahan terbesar dalam hidupnya.
"Seperti di film Flipped, bukan? Kau tahu alur film itu? Gadis yang mengejar pria dengan penuh semangat. Ya, itu persis sepertimu."
"Sir Reagan, saya mohon, jangan membahas masa lalu itu lagi," kata Shannon dengan nada tegas. "Itu hanya cinta monyet yang tidak berarti apa-apa. Lagipula, Anda sebentar lagi akan bertunangan dengan sahabat Anda sendiri, Shenna."
Tawa Reagan seketika terhenti. Wajahnya yang semula penuh permainan kini berubah datar.
"Sialan kau, Shannon. Apa maksudmu?"
Shannon tersenyum miring. "Apa Anda lupa? Ibu kita bersahabat dekat. Ibu saya, Skylar, bercerita bahwa Nyonya Alysha ingin menjodohkan Anda dengan Shenna. Katanya, kalau pria Spanyol menikahi wanita Australia, keturunan mereka akan luar biasa tampan dan cantik. Itu sebabnya beliau ingin segera Anda bertunangan."
Reagan terdiam, rahangnya mengeras. Ibunya tak pernah mengatakan apa pun tentang rencana perjodohan itu. Shenna memang sahabatnya, tapi itu bukan berarti ia ingin menikahinya.
Yang ia inginkan adalah Shannon.
Dulu, Shannon yang selalu mengejar dirinya. Sekarang, semuanya berubah. Reaganlah yang justru tergila-gila padanya. Dan ia benci kenyataan itu.
Shannon menghela napas. "Kalau Anda tidak butuh bantuan, saya akan—"
Sebelum sempat menyelesaikan kalimatnya, Reagan tiba-tiba mendorong tubuhnya ke dinding. Kedua tangannya menempel di dinding, mengurung Shannon di antara lengannya. Shannon terperanjat, jantungnya berdegup kencang.
"Sir—"
"Call me Reagan. Not sir." Suaranya dalam, nyaris seperti bisikan. "Kenapa kau tidak mengejarku lagi, Shannon? Ke mana perginya gadis kecil yang dulu begitu manja? Yang selalu memperhatikanku saat aku berolahraga?"
"Sir, tolong jangan lakukan ini—"
"Kenapa? Kau lebih suka aku melakukan sesuatu yang lebih... keras?" Reagan menyeringai, wajahnya mendekat ke leher Shannon.
Shannon menahan napas, mencoba tetap tenang. Tapi ketika Reagan mengeluarkan kalimat berikutnya, dunia seakan berhenti berputar.
"Setiap kali aku melihat tubuhmu, aku selalu... tegang."
Tangannya bergerak turun, nyaris menyentuh bagian sensitif Shannon.
Plak!
Tamparan keras mendarat di pipi Reagan, membuatnya terdiam. Wajahnya kini memerah karena benturan telapak tangan Shannon.
"Berengsek kau, Reagan!" seru Shannon penuh kemarahan. "Inilah alasanku tidak mengejarmu lagi. Karena kau sama seperti ayahmu—pria bajingan yang suka melecehkan wanita!"
Dengan tubuh yang masih bergetar, Shannon berbalik dan pergi.
Reagan menyentuh pipinya yang masih terasa panas akibat tamparan itu. Bibirnya melengkung, bukan dalam kemarahan, melainkan dalam ketertarikan yang semakin dalam.
Oh, Shannon. Rupanya kau ingin bermain denganku, ya?
Baiklah.
Lihat saja nanti. Aku akan membuatmu merangkak di bawah kakiku, memohon ampun kepadaku.