Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Aku berbohong. Tentang kesepakatan dan tantangan yang sebelumnya aku buat, semuanya sengaja kubatalkan. Dan aku tidak memberi tahu kabar ini kepada Reagan.
Setiap hari, pikiranku terus diliputi stres yang berlebihan. Bayangan kejadian di kantor itu—saat Reagan memaksaku dengan kasar—masih terus menghantui. Nafsu makanku berkurang drastis. Aku hanya bisa makan sejumput nasi setiap hari. Bahkan saat aku tak sengaja melihat sepasang kekasih bermesraan, tubuhku gemetar dan rasa mual langsung muncul.
Aku juga sengaja tidak masuk kerja selama beberapa hari, dengan alasan kesehatan. Aku meminta bantuan Benjamin untuk menyampaikan kondisiku kepada Reagan. Aku tidak sanggup berhadapan langsung dengan pria itu.
Aku tahu, jika aku kembali ke kantor dan tampil dengan pakaian ketat di hadapan Reagan, dia akan tergoda lagi. Lalu kejadian itu bisa terulang. Kejujuran yang pahit—aku sangat trauma dengan apa yang dia lakukan terhadap tubuhku. Bagaimana ia memperlakukan tubuhku dengan begitu kasar dan tanpa belas kasih, seakan aku hanya objek pemuas hasrat. Bahkan, aku merasa jijik mengingat perlakuannya yang keterlaluan, yang merusak rasa aman dan harga diriku sebagai seorang perempuan.
Yang membuatku semakin tidak percaya, Reagan seolah menikmati setiap detil dari penderitaanku. Ia terlalu menjadikan tubuhku sebagai sasaran nafsunya, dan aku bertanya-tanya—kenapa bisa pria-pria seperti dia menganggap hal seperti itu menyenangkan?
Yang lebih parah dan menjijikkan, dia seolah tak punya batasan, terus memaksaku hingga aku benar-benar kehilangan kendali atas tubuhku. Aku bahkan baru menyadari bagian-bagian tubuhku yang selama ini tidak terlalu kupedulikan, menjadi sasaran dari semua kebejatan itu. Sungguh menjijikkan.
Tak heran jika Reagan tumbuh menjadi pria seperti itu, mengingat latar belakang keluarganya. Dulu, Paman Draco juga pernah melakukan hal yang sama terhadap Bibi Alysha. Aku benar-benar tidak menyangka bahwa keluarga Ruston ternyata menyimpan sisi kelam dan brutal seperti itu. Terlalu liar. Bandingkan dengan Ibu Skylar dan Ayah Sebastian yang kisah cintanya begitu sehat dan terhormat. Mereka bertemu di kantor, menjalin pertemanan, dan Ayah Sebastian menyatakan cintanya secara terbuka, dengan penuh rasa hormat.
Sekarang yang aku inginkan hanyalah pergi jauh dari kantor itu—menjauh dari Reagan. Aku butuh waktu untuk menyembuhkan diri. Aku tidak mau mental dan jiwaku hancur karena terus terjebak dalam lingkungan penuh tekanan ini.
Aku sungguh menyesal pernah menerima pekerjaan di perusahaan Reagan. Padahal awalnya aku sudah membatalkan interview-nya, namun Reagan malah mengatakan, "Untuk apa kamu membatalkan interview kalau aku sudah menerimamu bekerja di kantor ini, hm?"
Sial.
Pria itu memang sudah merencanakannya sejak awal. Dia sengaja memilihku sebagai sekretaris, bukan Benjamin. Padahal Benjamin sangat kompeten dan bisa diandalkan. Tapi aku yang justru dijadikan sekretaris, dan sampai sekarang aku masih merasa bersalah karenanya. Benjamin mungkin kecewa. Namun saat kami bertemu secara tidak sengaja, aku sempat tersenyum, dan dia membalasnya. Tidak ada amarah. Tidak ada kebencian. Dia tetap ramah, tetap membantu siapa pun, bahkan membantuku membuat kopi pahit untuk Reagan.
Benjamin adalah pria baik... Kenapa bukan dia saja yang menjadi CEO? Kenapa harus Reagan—pria dengan otak kotor dan sikap arogan?
Tapi sudahlah.
Daripada terus memikirkan semua itu, lebih baik aku beristirahat. Aku benar-benar butuh waktu untuk menenangkan diri. Obat sudah kuminum, teh panas juga sudah kuseduh, tapi rasanya stres ini belum juga berkurang.
REAGAN'S OBSESSION
REAGAN'S POV :
Aku menghitung tanggal di kalender. Sudah lebih dari tujuh hari Shannon belum juga hadir di kantorku. Aku tahu alasan ketidakhadirannya karena sakit—Benjamin yang menyampaikan kabar itu padaku. Tapi tetap saja, aku heran. Kenapa dia tidak memberitahu langsung padaku? Kenapa harus melalui Benjamin?
Gara-gara Shannon absen, semua jadwal dan tugas-tugasku jadi menumpuk. Seharusnya sekretaris yang mengatur semua ini dan menyelenggarakan rapat, tapi apa daya jika dia sedang sakit. Aku tidak bisa memaksanya. Akhirnya aku meminta Benjamin yang menangani jadwal meeting tersebut.
Sialan kau, Shannon.
Sebenarnya aku cukup penasaran, sakit apa yang dideritanya sekarang? Apakah demam? Dia tidak menjelaskan secara rinci, hanya menyebutkan "kurang sehat".
Andai saja aku tahu di mana dia tinggal di Madrid ini, mungkin aku bisa menjenguknya.
Satu hal lagi, aku sempat begitu bersemangat ingin melihatnya mengenakan pakaian ketat nan menggoda di hadapanku. Terutama dua gumpalan indah itu—sudah pasti kejantananku langsung bereaksi.
Hari ini, pukul sepuluh pagi, aku dijadwalkan bertemu seorang CEO dari perusahaan lain untuk membahas pembangunan mall besar di Madrid. Karena Shannon masih sakit dan tidak bisa hadir, Benjamin yang menggantikannya. Meski sudah tak lagi menjabat sebagai sekretaris, Benjamin masih ingat tugas-tugasnya. Ya, walaupun aku sempat kesal padanya karena pernah mengajak Shannon makan siang—dan aku langsung cemburu saat mengetahuinya.
Benjamin banyak membantuku selama rapat. Saat aku dan CEO itu berdiskusi, Benjamin mencatat seluruh poin penting. Aku menghargainya.
"Terima kasih, Tuan Reagan, atas kerja samanya."
"Tentu saja, saya selalu siap membantu."
"Kalau ada perkembangan, nanti saya akan hubungi lewat nomor anda atau..."
"Langsung ke nomor pribadi saya saja."
"Ah, baiklah. Sekali lagi terima kasih sudah menerima kerja sama ini. Semoga proyek ini sukses ke depannya."
"Amin, saya juga berharap demikian untuk Anda."
Kami pun berjabat tangan.
"Eh, ngomong-ngomong Tuan Reagan, bagaimana kabar ayah anda? Apakah beliau masih menjabat sebagai CEO? Sudah lama saya tidak mendengar kabar tentang beliau atau perusahaannya. Yang selalu ramai dibicarakan sekarang justru perusahaan anda."
"Oh, ayah saya baik-baik saja. Tapi Anda juga tahu, usia Ayah Lucanos sudah lima puluh tahun. Penyakit lamanya kadang kambuh."
"Kalau boleh tahu, penyakit apa?"
"Masalah pada tulang punggungnya. Mungkin karena terlalu semangat bekerja. Beliau memang pekerja keras, bahkan dulu hampir tidak pernah istirahat."
"Saya maklum. Tapi maaf, bukankah dulu nama ayah anda adalah Draco Reyes?"
"Ah, pfft... Itu masa lalu. Tidak perlu dibahas."
"Baiklah, maaf."
Kami sempat terdiam beberapa detik sebelum akhirnya dia berpamitan.
"Kalau begitu, saya permisi. Terima kasih sekali lagi."
"Tidak masalah. Dengan senang hati."
Setelah CEO tua itu pergi, aku melirik Benjamin yang masih berdiri di ruang rapat. Aku melangkah mendekatinya dan menepuk bahunya sekali.
"Kerja bagus, Benjamin. Saya senang kamu mau bantuin saya hari ini. Tapi kamu nggak marah kan tetap jadi karyawan biasa saat Shannon kembali? Wanita itu... tiba-tiba banget bilang dia sakit," ujarku, menggerutu kesal.
"Tidak apa-apa, Tuan. Saya terima dengan lapang dada. Yang penting saya tidak dipecat."
Aku tertawa lepas mendengarnya. Lalu kembali menepuk bahunya.
"Baiklah, saya paham. Nanti saya tambahkan gaji kamu sedikit karena sudah bersedia jadi sekretaris sementara."