"Terjebak dalam lingkaran takdir yang tak bisa mereka kendalikan, dua hati saling menemukan di tempat yang paling terlarang. Mereka tahu, setiap langkah mendekat hanya akan membawa kehancuran, tetapi perasaan itu terlalu kuat untuk diabaikan. Di ant...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Tanpa diduga ternyata Rora tahu Asa di Tempat pharita dan Ruka, Rora dengan mantap menyusul asa kesana.
Asa menatap Rora yang berdiri di depan pintu dengan ekspresi yang sulit ditebak. Pharita dan Ruka hanya bisa saling pandang sebelum akhirnya Ruka berjalan mendekat dan berdiri di samping Asa, seolah memberi dukungan diam-diam.
"Asa, kita bisa bicara?" suara Rora terdengar pelan, hampir seperti bisikan, seakan takut Asa akan langsung menolaknya.
Asa tidak langsung menjawab. Sorot matanya tajam, tetapi bukan karena marah lebih ke lelah. Lelah menghadapi situasi yang sudah ia coba tinggalkan.
"Aku rasa tidak ada lagi yang perlu dibicarakan," jawab Asa akhirnya, suaranya datar.
Rora menggigit bibirnya, lalu melangkah masuk tanpa menunggu izin, melewati Pharita yang masih berdiri di ambang pintu. "Tolong... beri aku kesempatan menjelaskan," ujarnya, tatapannya penuh dengan emosi yang sulit diartikan.
"Asa sudah cukup terluka, Rora," kata Pharita, mencoba menghentikan Rora.
"Tapi aku tidak pernah berniat menyakitinya!" suara Rora sedikit meninggi. "Aku tahu aku salah, aku mengakuinya. Tapi aku mencintaimu, Asa. Aku sungguh mencintaimu."
Asa tertawa kecil, tapi tawa itu tidak mengandung kebahagiaan sama sekali. "Mencintaiku?" Asa mengulang kata itu seakan terdengar asing. "Kau menyebut itu cinta setelah semua yang kau lakukan?"