Pagi itu, suasana kantor terasa lebih tegang dari biasanya—setidaknya bagi Jennaira.
Dari meja kerjanya, ia melihat beberapa karyawan bergegas menyambut kedatangan Javier. Pria itu melangkah masuk dengan aura khasnya, dingin dan penuh wibawa. Tak ada tanda-tanda bahwa ia baru saja pulih dari sakit. Namun, bagi Jennaira, ada sesuatu yang berbeda.
Tangannya sedikit gemetar saat mencoba mengetik laporan. Napasnya terasa lebih berat. Kenapa aku harus merasa begini? Ini bukan pertama kalinya aku bertemu dengannya di kantor, batinnya, frustrasi dengan dirinya sendiri.
Suara langkah kaki yang semakin mendekat membuatnya refleks merapikan posturnya. Dan benar saja, sosok Javier berhenti tepat di hadapannya.
“Jennaira,” panggilnya dengan nada datar, namun tajam.
Jennaira menelan ludah, mencoba bersikap profesional. “Ya, pak?”
Javier memperhatikan ekspresi gugupnya sejenak, lalu menyipitkan mata. “Ikut saya ke ruang rapat. Ada hal yang perlu kita bahas.”
Jennaira hanya bisa mengangguk tanpa suara, lalu segera berdiri mengikuti bosnya. Namun, dalam hatinya, ia tahu—pertemuan ini bukan hanya soal pekerjaan. Ada sesuatu yang ingin Javier tanyakan. Sesuatu yang mungkin berkaitan dengan kejadian di rumah sakit.
Dan Jennaira tidak yakin apakah ia siap menghadapinya.
Jennaira berdiri tegak di hadapan Javier, meski dalam hatinya ia sudah goyah. Ruangan rapat terasa lebih dingin dari biasanya, atau mungkin itu hanya efek dari nada suara Javier yang terus menghujaninya dengan amarah.
“Kau pikir bisa seenaknya menghindar dari tugasmu hanya karena aku sedang pemulihan?” suara Javier tajam, menusuk tepat ke jantung Jennaira.
Jennaira mengepalkan tangannya di bawah meja, menahan perasaan yang berkecamuk. “Saya tidak bermaksud begitu, pak. Saya hanya—”
“Alasan,” potong Javier cepat. “Kau bahkan tidak menyiapkan perlengkapanku pagi ini. Sejak kapan kau jadi sekertaris yang tidak bisa diandalkan?”
Jennaira mengeratkan rahangnya. Semua kekhawatiran dan kebingungannya terhadap sikap Javier beberapa hari terakhir mendadak terasa konyol. Kenapa aku sempat berpikir dia berubah?
Dia menundukkan kepala sedikit, menarik napas panjang sebelum akhirnya berkata, “Saya minta maaf, pak. Itu tidak akan terjadi lagi.”
Javier terdiam sejenak, matanya masih menatap Jennaira dengan tajam, seakan mencari sesuatu dalam ekspresinya. Tapi Jennaira tidak memberinya celah. Ia sudah menata kembali dirinya.
“Pastikan saja tidak terulang,” Javier akhirnya berkata sebelum melangkah keluar ruangan.
Begitu pintu tertutup, Jennaira menghembuskan napas yang sejak tadi ia tahan. Hatinya mencelos. Bukan karena dimarahi, tapi karena dirinya sendiri.
Javier tetaplah Javier. Aku yang bodoh karena mengira dia berbeda.
Setelah keluar dari ruangan rapat, Jennaira menarik napas dalam, menenangkan hatinya yang sempat goyah. Ia tidak akan membiarkan dirinya larut dalam kebingungan lagi. Jika Javier ingin bersikap dingin seperti biasa, maka ia pun akan tetap menjadi Jennaira yang profesional, yang tidak terpengaruh oleh emosi bosnya.
Dengan langkah mantap, ia kembali ke meja kerjanya di luar ruangan Javier. Dimas yang melihatnya hanya menghela napas pelan, seolah tahu apa yang terjadi di dalam sana.
"Dimarahi habis-habisan?" tanya Dimas dengan nada bercanda, mencoba mencairkan suasana.
Jennaira hanya tersenyum kecil. “Bukan hal baru, kan?” jawabnya ringan, meskipun hatinya masih sedikit bergetar.
Dimas menatapnya sejenak sebelum menghela napas. “Javier memang begitu, tapi…” ia menggantungkan kalimatnya, lalu menggelengkan kepala. “Lupakan. Yang penting jangan sampai dia makin emosi.”
Jennaira mengangguk, lalu mulai kembali fokus pada pekerjaannya. Ia tidak akan membiarkan kejadian ini mempengaruhi kinerjanya. Mulai sekarang, ia akan bertingkah seperti biasa, seolah tidak ada yang pernah terjadi antara dirinya dan Javier.
Jika Javier bisa berpura-pura tidak terjadi apa-apa, maka ia pun bisa.
Di dalam ruangannya, Javier bersandar di kursinya dengan ekspresi yang sulit diartikan. Tangannya terlipat di depan dada, tatapannya kosong menatap berkas-berkas di mejanya yang sejak tadi tidak tersentuh.
Dia tidak mengerti dirinya sendiri. Kenapa tadi ia begitu marah pada Jennaira? Apa karena dia merasa diabaikan selama masa pemulihannya? Atau karena dia sebenarnya kesal karena Jennaira menjaga jarak darinya?
Javier mendesah pelan, mengusap wajahnya dengan satu tangan.
Sejak kejadian di rumah sakit, ada sesuatu yang berubah. Sesuatu yang membuatnya ingin terus melihat Jennaira, ingin memastikan bahwa perempuan itu ada di dekatnya. Tapi saat tadi melihat Jennaira kembali bersikap biasa saja, berpura-pura seolah tidak ada yang terjadi, Javier justru merasa kesal.
Kenapa hanya dia yang merasa ada sesuatu yang berbeda? Kenapa hanya dia yang dibuat bingung dengan semua ini?
Javier menatap pintu kantornya. Di luar sana, Jennaira pasti sudah kembali bekerja dengan ekspresi datarnya, tanpa sedikit pun terganggu dengan apa yang terjadi.
Dan itu semakin membuat Javier frustasi.
Cowo emang gitu ya, dia yang duluan mulai pas di ladeni dia sendiri yang frustasi 🤣🤣🤣
Happy reading guyssssssssss
Jangan lupa untuk vote dan comment 💕💕💕

KAMU SEDANG MEMBACA
Not So Cold Mr.Boss (End)
ChickLitJennaira, seorang sekretaris pribadi CEO, tak pernah menyangka bahwa perjalanan cutinya ke kampung halaman akan menjadi awal dari perubahan besar dalam hidupnya. Berniat pulang untuk menghadiri pernikahan kakaknya, ia harus menghadapi sanak saudara...