Seumur hidupnya, Adrian hanya menjadi bayangan di keluarganya sendiri. Hingga suatu malam, satu kalimat menghancurkan segalanya. Ia pergi tanpa menoleh-tanpa rencana, tanpa tujuan. Tapi bisakah bayangan benar-benar menemukan cahayanya sendiri?
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Seminggu telah berlalu dengan cepat, penuh dengan kesibukan dan rutinitas yang sedikit berbeda dari biasanya. Adrian menghabiskan waktunya untuk belajar tanpa ikut membantu di stand, sementara sahabat-sahabatnya serta Fadel dan gengnya berusaha mengurus segalanya tanpa kehadirannya. Kini, hari yang dinanti telah tiba—hari di mana Adrian akan mengikuti olimpiade yang selama ini ia persiapkan.
Pagi itu, udara terasa segar dengan langit biru yang cerah. Adrian sudah bangun lebih awal dari biasanya. Ia memastikan seragamnya rapi, tasnya berisi perlengkapan yang mungkin ia butuhkan, dan pikirannya tetap fokus. Walaupun ia merasa tenang, ada sedikit rasa berdebar di dadanya. Bukan karena ia takut, tetapi lebih karena ia sadar bahwa ada banyak mata yang mengawasinya hari ini—mereka yang berharap ia gagal, dan mereka yang percaya bahwa ia bisa membuktikan sebaliknya.
Setelah berpamitan dengan sahabat-sahabatnya yang memberikan semangat singkat sebelum mereka masuk ke kelas, Adrian berjalan menuju ruang kepala sekolah, tempat di mana ia akan bertemu dengan Pak Arya yang akan menjadi walinya selama olimpiade.
Di sepanjang lorong, beberapa siswa memandangnya dengan berbagai ekspresi—ada yang penasaran, ada yang kagum, dan ada juga yang meragukan. Namun, Adrian tetap melangkah dengan tenang, tidak terlalu peduli dengan tatapan-tatapan tersebut.
Saat sampai di depan ruang kepala sekolah, ia menarik napas dalam, lalu mengetuk pintu dengan sopan sebelum memasukinya. Di dalam, kepala sekolah sudah duduk dengan ekspresi serius, sementara Pak Arya tampak lebih santai, seolah ini bukan hal yang perlu dikhawatirkan.
"Duduklah, Adrian," kepala sekolah mempersilakan dengan nada formal, tangannya bertaut di atas meja.
Adrian menurut dan duduk dengan tegap di kursi yang tersedia. Ia bisa merasakan atmosfer ruangan ini sedikit lebih berat dari biasanya.
"Apakah ada yang ingin disampaikan sebelum saya berangkat, Pak?" tanyanya, langsung ke inti pembicaraan.
Kepala sekolah menghela napas sejenak sebelum menjawab, suaranya terdengar lebih lembut daripada ekspresi wajahnya. "Saya hanya ingin mengingatkan bahwa meskipun kita tahu ada pihak yang meremehkan sekolah ini, itu bukan berarti kamu harus terbebani untuk membuktikan sesuatu. Jangan merasa harus menang hanya demi membungkam mereka. Lakukan saja yang terbaik sesuai dengan kemampuanmu."
Pak Arya menambahkan dengan nada yang lebih ringan, mencoba mengurangi tekanan yang mungkin dirasakan Adrian, "Benar. Kami semua tahu kemampuanmu, Adrian. Yang penting, tetap fokus dan jangan biarkan tekanan dari luar mengganggu konsentrasimu. Apa pun hasilnya nanti, yang terpenting adalah kamu sudah berusaha."
Adrian mendengarkan dengan seksama. Ia bisa memahami maksud mereka. Sejak awal, olimpiade ini terasa seperti jebakan—mereka hanya diberikan waktu seminggu untuk belajar, dan alasan sekolah mereka akhirnya diterima mengikuti olimpiade ini kemungkinan besar bukan karena mereka diakui, melainkan karena panitia ingin menertawakan sekolah ini saat mereka gagal.